KOMPAS.com - Presiden Prabowo Subianto melakukan perombakan atau reshuffle Kabinet Merah Putih pada Senin (8/9/2025).
Dalam reshuffle itu, Prabowo menunjuk Purbaya Yudhi Sadewa untuk menggantikan Sri Mulyani Indrawati menjadi Menteri Keuangan.
Keputusan ini mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, terutama para ekonom yang menilai kurang tepat lantaran dilakukan di tengah-tengah pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.
Lantas, apa PR untuk Menteri Keuangan baru?
Baca juga: Reshuffle Sri Mulyani Disorot Media Asing, Ungkit Jejak Perselisihan dengan Prabowo
Pencopotan Sri Mulyani terkesan tanggung
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan, pencopotan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan terkesan tanggung, mengingat saat ini pemerintah sedang dalam proses pembahasan APBN 2026.
"Jadi, banyak hal yang kemudian harus dipertimbangkan begitu. Market melihat ini kan lagi pembahasan APBN, sehingga perlu stabilitas kepastian kebijakan fiskal di tahun 2026," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (9/9/2025).
Secara pribadi, ia menilai, baik Menteri Keuangan yang baru maupun Bu Sri Mulyani, sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan.
Keduanya adalah ekonom berpengalaman dengan rekam jejak masing-masing.
"Hanya saja, pasar tampaknya masih belum sepenuhnya menerima karena masih menunggu penjelasan lebih lanjut mengenai alasan di balik keputusan tersebut," kata Tauhid.
"Secara pribadi, saya belum bisa menilai apakah langkah ini tepat atau tidak. Namun, saya melihatnya lebih sebagai persoalan momentum," sambungnya.
Baca juga: Daftar Kekayaan Purbaya Yudhi Sadewa, Menkeu Baru yang Gantikan Sri Mulyani
PR Menkeu Purbaya Yudhi
Tauhid mengatakan, tugas utama Menteri Keuangan yang baru cukup berat, karena kondisi fiskal Indonesia saat ini masih belum ideal.
Hingga Juni 2025, penerimaan negara baru sekitar 40 persen dari target APBN 2025 sebesar Rp 3.000 triliun, sehingga pencapaiannya dinilai cukup sulit.
"Jadi PR pertama adalah bagaimana meningkatkan penerimaan negara," ucap Tauhid.
Dari sisi pajak, realisasi PPN tercatat turun 19,7 persen year on year, sementara pajak penghasilan badan turun 11,7 persen.
Sebaliknya, PPh orang pribadi naik 35,6 persen dan pajak bumi bangunan meningkat.
Baca juga: Ekonom Jelaskan Alasan IHSG Anjlok karena Reshuffle Kabinet, Terkait Sri Mulyani?
Hal ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat berpengaruh besar terhadap penerimaan pajak, khususnya PPN dan pajak korporasi yang justru mengalami penurunan.
Kedua, realisasi belanja negara hingga Juni baru 38,8 persen. Ini menjadi pekerjaan rumah penting untuk mempercepat penyerapan anggaran agar bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, pasar juga menunggu kepastian mengenai arah kebijakan fiskal.
Kredibilitas dan konsistensi harus dijaga, termasuk memastikan defisit tetap di bawah 3 persen PDB dan total utang di bawah 40 persen PDB.
"Karena itu, publik menantikan pernyataan tegas dari Menteri Keuangan yang baru terkait strategi pembiayaan maupun pola pembayaran utang," jelas dia.
Baca juga: Masuk Daftar Reshuffle Kabinet Merah Putih Hari Ini, Berikut Sepak Terjang Sri Mulyani
Ketiga, kebijakan perpajakan juga jadi sorotan. Meski pemerintah sudah menyampaikan tidak ada kenaikan pajak baru tahun depan, namun masyarakat masih menunggu kepastian soal kemungkinan penurunan PPN untuk mendukung daya beli.
Menurutnya, kejelasan arah kebijakan pajak menjadi kunci agar pasar tetap percaya.
Keempat, implementasi program prioritas, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, serta kebijakan subsidi juga perlu diperjelas.
"Apakah akan tetap berjalan sesuai rencana, direvisi, atau disesuaikan dengan kondisi fiskal, menjadi pertanyaan yang penting dijawab," kata dia.
Secara keseluruhan, sambungnya, publik dan pasar berharap Menteri Keuangan yang baru mampu memberikan sinyal kebijakan jelas, konsisten, dan kredibel, baik dalam menjaga keseimbangan fiskal maupun mengeksekusi program prioritas pemerintah.
Baca juga: Perjalanan Karier Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan Baru yang Gantikan Sri Mulyani
Menkeu baru harus punya gebrakan yang berbeda
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai penyegaran di posisi Menteri Keuangan penting dilakukan.
Menurutnya, Sri Mulyani sudah mengalami kejenuhan, sehingga inovasi menjadi minim setelah terlalu lama menjabat.
"Pak Purbaya sebagai Menkeu baru harus buktikan apa saja gebrakan yang berbeda dari Sri Mulyani, termasuk soal pajak, utang, dan evaluasi efisiensi belanja pemerintah," ujarnya saat dihubungi terpisah, Selasa.
Karena itu, dalam sepekan ke depan, publik akan mencermati langkah-langkah kebijakan yang diambil.
Kendati demikian, ada sejumlah pekerjaan rumah yang mendesak untuk segera ditangani.
Baca juga: Kenang Lukisannya yang Raib Saat Rumahnya Dijarah, Sri Mulyani: Tak Ternilai Harganya
Pertama, memastikan strategi penerimaan pajak dilakukan dengan memperhatikan daya beli kelompok menengah dan bawah, seperti menurunkan tarif PPN menjadi 8 persen dan menaikkan PTKP menjadi Rp 7 juta per bulan.
"Kebijakan pajak juga harus menyasar sektor ekstraktif melalui pajak produksi batubara, dan pajak windfall profit (anomali keuntungan)," kata Bhima.
Selain itu, penerapan pajak kekayaan sebesar 2 persen bagi aset orang super kaya mendesak dilakukan untuk menekan ketimpangan sekaligus memperkuat penerimaan
Kedua, efisiensi anggaran juga wajib dilakukan dengan dasar kajian makroekonomi yang transparan, tidak menganggu pelayanan publik, dan infrastruktur dasar.
Tak hanya itu, efisiensi kurang tepat yang dilakukan oleh Sri Mulyani harus dievaluasi ulang karena telah menimbulkan guncangan pada dana transfer daerah dan kenaikan pajak daerah yang merugikan masyarakat.
Ketiga, restrukturisasi utang pemerintah harus segera dilakukan.
Baca juga: Permintaan Maaf Sri Mulyani dan Ajakan untuk Tak Pernah Lelah Mencintai Indonesia
Hal ini termasuk menekan beban bunga utang serta membuka ruang debt swap for energy transition (penukaran utang dengan program transisi energi), debt swap for nature (penukaran utang dengan konservasi hutan, mangrove, atau karst), hingga debt cancellation.
Keempat, mencopot pejabat Kementerian Keuangan yang merangkap jabatan di BUMN.
Sebab, praktik tersebut bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Kelima, mengevaluasi seluruh belanja perpajakan (stimulus dan insentif fiskal) yang merugikan keuangan negara.
Perusahaan penerima tax holiday dan tax allowance juga harus diaudit, baik laporan keuangan maupun dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja.
Bhima menuturkan, insentif fiskal tidak boleh lagi memperburuk ketimpangan antara perusahaan besar dan UMKM. Transparansi pemberian insentif fiskal juga harus dipublikasikan secara berkala.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.