Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisakah Langkah Menkeu Kucurkan Dana Rp 200 Triliun ke Bank Himbara Dorong Ekonomi? Ini Kata Ekonom

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/ISNA RIFKA SRI RAHAYU
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menarik dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun untuk ditempatkan di bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) pada Jumat (12/9/2025).

Purbaya menjelaskan, dana tersebut diambil dari total simpanan pemerintah di Bank Indonesia (BI) yang saat ini mencapai Rp 440 triliun.

“Kemarin saya janji akan menambahkan Rp200 triliun ke perbankan. Ini sudah diputuskan. Siang ini disalurkan dan sore sudah masuk,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat.

Lantas, bagaimana pendapat pengamat ekonom terkait langkah Menteri Keuangan Indonesia yang baru ini?

Baca juga: Ini Enam Bank yang Terima Rp 200 Triliun Dana Kemenkeu, Mana Saja?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Belum tentu dorong pertumbuhan ekonomi

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kebijakan pemindahan dana pemerintah dari BI ke bank Himbara belum tentu mampu mendorong pertumbuhan ekonomi jika sejumlah prasyarat tidak terpenuhi.

Pertama, perlu adanya kejelasan proyek apa yang akan dibiayai Himbara dengan dana pemerintah tersebut.

Menurut dia, jika diarahkan ke program makan bergizi gratis (MBG) atau koperasi desa (kopdes MP), risikonya cukup tinggi.

Terlebih lagi, serapan MBG masih di bawah 15 persen, yang menunjukkan adanya masalah implementasi, bukan sekadar keterbatasan anggaran.

"Jangan sampai juga Himbara tidak selektif menyalurkan kredit program dan meminimalisir moral hazard kredit fiktif," kata Bhima kepada Kompas.com, Sabtu (13/9/2025).

Kedua, ada kekhawatiran dana pemerintah yang dipindahkan justru lebih banyak dipakai untuk pembiayaan sektor fosil, dibandingkan mendukung pendanaan iklim dan pengembangan energi terbarukan.

"Pak Purbaya harus lebih berhati-hati, tidak bisa sekadar diserahkan ke bank Himbara dalam pembiayaan kas pemerintah, karena langkah ini berisiko terjadinya aset terlantar (stranded asset)," jelasnya.

Ketiga, sebagai langkah mitigasi risiko, Kementerian Keuangan perlu membuat aturan spesifik.

Misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan, agar dana pemerintah benar-benar dikelola sejalan dengan misi Presiden Prabowo untuk mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan.

"Likuiditas tambahan bagi Himbara seharusnya tidak hanya mendorong pertumbuhan kredit, tetapi juga diarahkan secara tepat sasaran pada sektor pencipta lapangan kerja," ucap Bhima.

Energi terbarukan, misalnya, berpotensi mendorong terciptanya 19,4 juta green jobs dalam 10 tahun mendatang. Namun hingga kini, porsi penyaluran kredit Himbara ke sektor energi terbarukan masih di bawah 1 persen.

"Oleh karena itu, peralihan dana kas pemerintah dari BI ke Himbara sebaiknya dijadikan momentum mempercepat transisi ekonomi hijau," tambahnya.

Baca juga: Tidak Dilakukan Sri Mulyani, Tepatkah Menkeu Purbaya Guyur Dana Rp 200 T ke Bank Himbara?

Potensi tekanan inflasi

Lebih lanjut, Bhima juga menyinggung soal potensi tekanan inflasi, meskipun risikonya kecil.

"Soal inflationary pressures (tekanan inflasi) tentu ada tapi kecil karena gelontoran uang itu pun tidak akan langsung disalurkan kredit tahun ini," ucap dia.

Sebagai pembanding, Bhima mengingatkan pengalaman masa pandemi ketika eks Menteri Keuangan Sri Mulyani menarik dana dari bank sentral melalui skema burden sharing.

Saat itu, muncul risiko inflasi karena peningkatan jumlah uang beredar (M2), tergerusnya independensi BI, dan menurunnya kepercayaan investor.

Menurut Bhima, persoalan saat ini bukan perbedaan strategi antara Sri Mulyani dan Purbaya, melainkan perbedaan pemahaman mengenai risiko.

"Sekarang Pak Purbaya lebih mendorong lagi sisi moneter, sementara dari sisi stimulus pajak belum disentuh. Akibatnya apa? Pasokan uang bertambah karena himbara dapat uang kaget, sementara permintaan kredit belum tentut naik," kata dia.

"Daya beli sedang turun, pengusaha mau pinjam uang ke bank buat apa? Kalau ditekan pemerintah agar cepat salurkan kredit, maka Himbara nya bisa sembrono menyalurkan pinjaman ke sektor berisiko tinggi, bahkan bisa naik NPL nya (rasio kredit bermasalah). Itu kan harus jadi pertimbangan," sambungnya.

Menurut Bhima, pendekatan yang dilakukan Purbaya memang tidak biasa, namun belum teruji efektivitasnya.

Baca juga: KPK Isyaratkan Eks Menteri Agama Diduga Terima Aliran Dana Korupsi Kuota Haji

Perlu perbaiki sisi demand dan supply bersamaan

Senada, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kebijakan penarikan dana pemerintah Rp 200 triliun ditujukan untuk bank Himbara tidak serta-merta akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, saat ini perbankan justru tengah kelebihan likuiditas. Pertumbuhan kredit sangat lambat karena kondisi ekonomi kurang kondusif, sehingga dunia usaha enggan melakukan ekspansi.

“Kalau likuiditas (sisi supply) digelontorkan tanpa memperbaiki sisi demand, maka dampaknya terhadap pergerakan ekonomi tidak akan signifikan,” jelas Wijayanto, terpisah.

Ia menambahkan, karena dana Rp 200 triliun tersebut berbunga 4 persen, bank tidak mungkin membiarkannya menganggur.

"Yang mungkin terjadi adalah perbankan melakukan refinancing kredit exisiting dengan dana Rp 200 triliun tersebut, kemudian proceed hasil refinancing dibelikan SRBI atau SBN, jadi, tetap saja dana mengalir keluar dari sistim ekonomi kita," sambungnya.

Dalam situasi krisis atau perlambatan ekonomi seperti saat ini, Wijayanto menilai pendekatan Keynesian, yakni meningkatkan sisi permintaan (demand), lebih relevan dibandingkan pendekatan Monetaris yang hanya mengguyur likuiditas pasar.

Jalan tengah yang lebih efektif adalah memperbaiki sisi demand dan supply secara bersamaan.

Dalam konteks ini, pemerintah sebaiknya menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif serta memberi insentif ekonomi, sementara likuiditas digelontorkan secara bertahap.

Wijayanto juga mengingatkan, dana pemerintah di BI berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang berfungsi sebagai talangan untuk membiayai APBN di awal tahun, saat penerimaan pajak belum masuk.

Karena itu, pemerintah harus memastikan sisa dana Rp 240 triliun (dari Rp 440 triliun dikurangi Rp 200 triliun) tetap memadai, mengingat outlook pendapatan negara pada 2025–2026 sangat menantang.

“Dalam kondisi normal, kebutuhan kas bisa sekitar Rp 100 triliun per bulan. Dalam kondisi sulit, kebutuhan itu bisa jauh lebih besar,” tegasnya.

Baca juga: Baru 3 Hari Jadi Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa Sudah 3 Kali Beri Klarifikasi

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi