Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

CSR Tower Bersama Dorong Pembatik Muda Peduli Lingkungan

Baca di App
Lihat Foto
Ilustrasi batik tulis
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) telah berkembang selama beberapa dekade sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.

CSR hadir bukan hanya untuk menjawab kebutuhan sosial, tetapi juga memberikan dampak yang lebih luas, termasuk dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Salah satu perusahaan yang konsisten mengimplementasikan CSR adalah PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), induk dari Tower Bersama Group (TBG).

Melalui berbagai program, TBIG terus berupaya memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dengan cakupan yang luas, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, budaya, hingga lingkungan.

Salah satu wujud nyata komitmen tersebut adalah hadirnya Rumah Batik TBIG di Kota Pekalongan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Batik Air Blacklist Penumpang yang Bercanda Bawa Bom, Ini Alasannya

Batik sebagai identitas budaya Indonesia

Head of CSR Department Tower Bersama Group, Fahmi Sutan Alatas, menjelaskan alasan mengapa TBIG memilih batik sebagai fokus program CSR di bidang budaya.

Menurutnya, batik adalah identitas budaya bangsa Indonesia yang tersebar di berbagai daerah, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Kalimantan, Sumatera, bahkan Papua, meskipun teknik pembuatannya berbeda-beda.

“Batik adalah identitas budaya kita. Ia bukan hanya milik Jawa, tapi juga ada di Kalimantan, Sumatra, bahkan Papua,” ujarnya saat menjadi mentor dalam salah satu sesi Journalism Fellowship on Corporate Social Responsibility (CSR) 2025 Batch 2, Senin (8/9/2025).

"Metode pembuatannya mungkin berbeda-beda, tapi batik tetaplah simbol kebudayaan kita yang diakui UNESCO," tambahnya.

Namun, di balik keindahan dan nilai budayanya, industri batik juga berkontribusi pada masalah lingkungan, terutama limbah cair hasil pewarnaan.

Untuk itu, TBIG menghadirkan edukasi pengolahan limbah bagi pembatik muda.

“Kalau generasi lama sudah terbiasa membuang limbah langsung ke saluran, memang sulit diubah. Tapi anak-anak muda, misalnya yang berusia 17 tahun, masih bisa kita bentuk kesadarannya. Harapannya, akan lahir generasi pembatik yang lebih ramah lingkungan,” jelasnya.

Baca juga: Kronologi Penumpang Batik Air Mengaku Bawa Bom Dalam Pesawat

Fahmi mengatakan, salah satu inovasi yang akan diperkenalkan adalah penggunaan enzim bioplasma untuk mengurai limbah batik.

Enzim ini memiliki kemampuan menetralisir limbah, di mana satu mililiter enzim disebut mampu menetralisir satu liter limbah.

“Kemarin kami mengunjungi sebuah komunitas aktivis lingkungan di daerah Tangerang. Dari pertemuan itu, kami melihat adanya peluang kolaborasi yang bisa dijalankan pada kuartal IV 2025, khususnya terkait upaya meminimalkan dampak lingkungan dari proses membatik," ungkap Fahmi.

"Jadi, satu millimeter bio enzim itu bisa menetralisir satu liter limbah batik. Nah, ini nantinya kita mau uji coba, terus nanti hasilnya kita uji lab bener enggak gitu. Kalau benar 2026 kita jalanin," sambungnya.

Selain itu, TBIG juga mengedukasi penggunaan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) sederhana bagi sentra batik skala kecil.

Baca juga: Polisi Amankan Ribuan Anak Saat Demo, KPAI Ingatkan Bahaya Medsos

Sementara itu, Fahmi menjelaskan bahwa penggantian lilin parafin dalam proses membatik bukanlah hal yang mudah.

Pasalnya, secara definisi, batik adalah teknik pewarnaan yang menggunakan lilin panas.

Menurut dia, ada metode lain yang dikenal dengan istilah sablon malam, yaitu lilin yang dicampur zat kimia sehingga bisa digunakan tanpa dipanaskan.

“Teknik itu sebenarnya bukan batik tulis, melainkan lebih mirip printing. Justru limbahnya lebih berbahaya,” ujarnya.

Dalam batik tulis tradisional, lilin malam yang dipakai berasal dari getah pinus sehingga lebih alami.

Adapun permasalahan muncul ketika lilin malam dicampur dengan bahan kimia pengencer agar tidak perlu dipanaskan. Inilah yang kemudian disebut sablon malam.

Namun, Fahmi menegaskan bahwa pengrajin binaan TBIG tetap konsisten memproduksi batik tulis asli, bukan menggunakan teknik sablon malam.

Upaya yang dilakukan lebih difokuskan pada pengurangan dampak lingkungan tanpa menghilangkan keaslian tradisi batik.

"Jadi sebenarnya sablon, bukan batik tapi printing, cuma dia pakai malam dingin, jadi sebuah teknik yang lebih cepat kali ya, saya juga nggak tahu. Tapi kita nggak produksi itu. Pengrajin kita produksinya batik tulis," jelasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi