KOMPAS.com – Kecerdasan buatan (AI) saat ini tengah menjadi tren yang ramai digunakan, salah satunya adalah untuk mengedit foto.
AI memberikan kemudahan seseorang dalam berkreasi mengedit foto hanya dengan menggunakan prompt.
Foto tersebut bisa diedit misalnya seolah-olah kita berfoto dengan diri kita saat kecil, berganti gaya, mengubah latar tempat, hingga menjadi miniatur.
Namun, tak banyak yang mengetahui bahwa mengirimkan foto ke AI bisa menjadi potensi bahaya.
Baca juga: AI Jadi Menteri di Albania, Bagaimana Status Hukumnya?
Salah seorang warganet di media sosial Instagram mengatakan mengedit foto di AI bahkan bisa berisiko berakhir di dark web, berikut kutipannya.
“Foto pribadi yang diedit di AI bisa berakhir di dark web. Foto-foto itu bisa dikumpulkan lalu disalahgunakan di dark web untuk hal yang tidak pantas,” tulis akun @mo********* pada Minggu (14/9/2025).
Dark web merupakan bagian internet tersembunyi yang digunakan untuk aktivitas data ilegal, misalnya seperti pencurian data.
Hal ini tentu berisiko dan berbahaya sebab data kita bisa disalahgunakan.
Namun, benarkah mengedit foto di AI bisa berpotensi bahaya dan berakhir di dark web?
Baca juga: Pertama di Dunia, Albania Jadikan Bot AI sebagai Menteri Bernama Diella
Wajah merupakan data biometrik
Pakar siber dari CISSReC, Pratama Persadha mengatakan bahwa kekhawatiran akan bahaya dari AI bukanlah tanpa alasan.
Hal itu disebabkan, ada proses pengolahan data yang dilakukan setiap kali seseorang mengunggah foto ke aplikasi berbasis AI.
"Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, setiap kali seseorang mengunggah foto ke aplikasi berbasis AI, ada proses pengolahan data yang tidak selalu transparan, dan di situlah risiko sebenarnya berawal," kata Pratama ketika dihubungi Kompas.com pada Jumat (19/9/2025).
Lebih lanjut, Pratama mengungkapkan bahwa bahaya mengedit foto di AI adalah identitas dari wajah kita sendiri.
"Sifat foto merupakan data biometrik. Wajah seseorang adalah identitas yang sangat sensitif karena tidak bisa diganti seperti kata sandi atau nomor telepon," ungkapnya.
Baca juga: Karena AI, Pakar Peringatkan 99 Persen Pekerjaan Bisa Hilang pada 2030
Detail kebijakan pada aplikasi
Selain itu, aplikasi berbasis AI yang digunakan seringkali tidak memiliki kebijakan privasi yang jelas, terutama aplikasi dengan lokasi server yang berada di luar negeri.
"Hal ini memungkinkan data tersebut disimpan untuk tujuan lain, salah satunya termasuk melatih model AI lebih lanjut," jelas Pratama.
Menurut Pratama, hal yang menjadi masalah adalah pengguna yang jarang membaca detail kebijakan penggunaan.
"Detail kebijakan tersebut terkadang memberi izin bagi pengembang aplikasi untuk menyimpan, membagikan, dan bahkan memanfaatkan foto yang diunggah untuk kepentingan komersial. Dari titik ini, potensi penyalahgunaan menjadi terbuka lebar," jelasnya.
Baca juga: Ramai Warganet Ikuti Tren Foto Polaroid Bareng Artis Pakai AI, Bagaimana Etikanya?
Benarkah foto bisa berakhir di dark web?
Pratama mengungkapkan bahwa dark web sering menjadi tempat transaksi data hasil pencurian, mulai dari informasi finansial, dokumen pribadi, hingga kumpulan foto. Menurutnya, mungkin saja foto seseorang dapat berakhir di dark web.
"Mungkin saja, meski tidak selalu terjadi," ujarnya.
Ia menjelaskan apabila sebuah aplikasi AI tidak memiliki sistem keamanan yang memadai atau bahkan memang sengaja mengumpulkan data untuk dijual, foto-foto yang diunggah oleh pengguna dapat berpindah tangan melalui jalur ilegal.
Laporan dari berbagai lembaga keamanan siber juga menunjukkan pasar gelap digital memang menampung data biometrik seperti wajah karena.
Hal itu disebabkan data bisa dipakai untuk pembuatan identitas palsu, manipulasi deepfake, atau rekayasa sosial.
"Risiko ini nyata adanya, walau tidak semua aplikasi edit foto otomatis mengarah ke penyalahgunaan," kata Pratama.
Baca juga: Pegawai Bank di Australia Dipecat Usai Kerja 25 Tahun, Diganti Chatbot AI yang Dilatihnya
Selain itu, ada bahaya lain yang kerap diabaikan, yakni potensi pencurian metadata.
Saat seseorang mengunggah foto, terkadang informasi tambahan seperti lokasi pengambilan gambar atau perangkat yang digunakan ikut tersimpan.
Data tambahan tersebutlah yang bisa menjadi tambahan informasi penting bagi pelaku kejahatan siber untuk melacak identitas dan aktivitas pengguna.
"Belum lagi adanya kemungkinan aplikasi menyisipkan izin akses berlebihan, seperti kontak, kamera, atau mikrofon, yang jika disalahgunakan bisa memperluas dampak kebocoran data," pungkasnya.
Baca juga: 2 Cara Bikin Foto Diri Jadi Action Figure Keychain Pakai AI
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.