KOMPAS.com - Fenomena "borrowing from saving" atau meminjam dari tabungan sendiri belakangan jadi bahan obrolan ramai di X.
Pembahasan bermula saat seorang warganet menanyakan apakah orang-orang sudah meminjam uang dari tabungan sendiri pada bulan ini, mengingat bahwa saat ini adalah akhir bulan.
"Sudahkah anda borrowing money from your own savings bulan ini?" tanya akun @ice****ber di X, Sabtu (20/9/2025).
Baca juga: Tabungan Wanita 24 Tahun Mencapai Rp 1,5 Miliar berkat Sarapan Telur dan Roti
Cuitan tersebut menarik banyak jawaban dari warganet dan bahkan sudah ditonton lebih dari 2,4 juta pengguna X.
Banyak dari warganet mengaku "borrowing from saving" karena kondisi keuangan mereka bulan ini. Beberapa dari mereka berupaya mengembalikan "pinjaman" dari diri sendiri, tetapi sebagian ada yang menghabiskan tabungan.
"Bahkan saving-nya pun sudah habis," kata akun @ha****jsd.
"Fuhh, senang aku enggak sendirian di sini," sahut akun @nf****sdj.
"Bukan borrow lagi, udah gua rampok abis abisan," ujar akun @al****dkf.
"Wkwk udahhh tapi alhamdulillaahhnyaaa udah bisa dibalikin banggaaa banget," imbuh akun @ma****kdf.
Lantas, apa arti "borrowing from saving" menurut pengamat ekonomi? Selain itu, apa yang membuat orang sering melakukannya belakangan ini?
Apa itu "borrowing from saving" menurut ilmu ekonomi?
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada Akhmad Akbar Susamto memaparkan, istilah tersebut menggambarkan sebagai situasi ekonomi masyarakat sehari-hari.
Meskipun bukan istilah formal dalam ilmu ekonomi, "borrowing from saving" adalah meminjam uang saat masih punya tabungan.
"Ungkapan 'borrowing from saving' sebenarnya bukan istilah resmi dalam ilmu ekonomi, tetapi cukup menarik karena langsung menggambarkan situasi yang sering kita temui sehari-hari," terang Akbar saat dihubungi Kompas.com, Senin (22/9/2025).
"Maksudnya sederhana: orang bisa saja punya tabungan, tetapi tetap memilih berutang," sambungnya.
Kemudian, Direktur Riset Makroekonomi CORE Indonesia itu memberikan contoh yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
"Contohnya, sebuah keluarga punya tabungan di bank untuk kebutuhan darurat atau pendidikan anak. Ketika ada kebutuhan mendesak, misalnya renovasi rumah, mereka tidak mau mengutak-atik tabungan itu karena dianggap 'suci' atau sudah ada tujuan khusus," jelasnya.
Baca juga: BTN Bakal Hapus Biaya Administrasi Tabungan Nasabah dengan Saldo Tertentu
Ketika sebuah keluarga dihadapkan dalam kondisi tersebut, maka mereka memilih meminjam uang agar tabungan kebutuhan darurat dan pendidikan akan tidak tersentuh.
"Maka mereka memilih pinjaman dari bank atau koperasi. Jadi, walaupun mereka menabung, pada saat yang sama mereka juga berutang. Inilah yang bisa disebut borrowing from saving," ujarnya.
Lebih lanjut, Akbar mengungkap bahwa fenomena ini muncul karena orang tidak selalu membuat keputusan ekonomi secara hitung-hitungan murni. Di balik suatu tindakan ekonomi, ada faktor psikologi dan budaya yang memengaruhi langkah seseorang.
"Tabungan dianggap 'jangan disentuh,' sementara utang dipandang sebagai solusi praktis untuk kebutuhan cepat. Kadang alasannya juga teknis: bunga tabungan lebih kecil daripada penalti kalau ditarik sebelum jatuh tempo, jadi lebih mudah ambil kredit jangka pendek," terangnya.
Baca juga: Generasi Tanpa Tabungan
Sindiran situasi ekonomi dan sosial
Selanjutnya apabila berfokus pada unggahan yang sedang ramai di X, Akbar menilainya bukan sebagai istilah ekonomi formal.
Warganet menggunakan istilah "borrowing from saving" sebagai ekspresi dari kondisi sosial dan ekonomi saat ini.
"Tentang pernyataan di X, 'Sudahkah Anda borrowing money from your own savings bulan ini,' saya menduga bahwa kalimat itu bukan dimaksudkan sebagai istilah ekonomi formal, melainkan sebagai sindiran sosial," jelas Akbar.
"Maksudnya, banyak orang sekarang menghadapi situasi di mana penghasilan bulanan tidak cukup untuk menutup seluruh kebutuhan," tambahnya.
Dengan penghasilan bulanan yang tidak mencukupi kebutuhan, maka orang mengambil uang dari tabungan atau dana darurat.
"Akibatnya, mereka harus 'meminjam' dari tabungan sendiri—entah dengan mencairkan dana darurat, memakai deposito, atau menarik tabungan yang awalnya diniatkan untuk tujuan lain," paparnya.
Baca juga: Kakek 82 Tahun Asal China Wariskan Apartemen dan Tabungan bagi Pengasuh Kucingnya
Akbar berpendapat, kalimat itu menunjukkan bahwa sekarang tidak lagi berfungsi sebagai simpanan masa depan.
Malahan, banyak orang menggunakan tabungan untuk menutup pengeluaran bulanan.
"Dengan kata lain, kalimat ini menggambarkan realitas sehari-hari bahwa tabungan tidak lagi berfungsi sepenuhnya sebagai simpanan masa depan, tetapi justru dipakai berulang kali untuk menambal pengeluaran bulanan," ujarnya.
Kondisi ini diikuti dengan pandangan psikologis bahwa mereka meminjam dari diri sendiri saat memakai uang tabungan dan harus menggantinya.
"Secara psikologis, orang merasa seperti 'berutang pada diri sendiri,' karena setiap kali tabungan dipakai, ada beban moral untuk menggantinya kembali saat gajian," kata Akbar.
"Jadi, kalimat itu bisa dibaca sebagai bentuk refleksi atau kritik terhadap kondisi ekonomi masyarakat: biaya hidup meningkat, pendapatan stagnan, dan tabungan pun terpaksa dijadikan 'sumber pinjaman pribadi'," tambahnya.
Baca juga: Ingin Tahu Jumlah Tabungan Pensiun? Cek Saldo JHT BPJS Ketenagakerjaan
Tindakan ekonomi lain yang berkaitan
Melihat fenomena "borrowing from saving" di tengah masyarakat, Akbar mengungkapkan beberapa istilah yang berkaitan erat dengan tindakan ekonomi masyarakat.
"Kalau kita bicara soal borrowing from saving, sebenarnya ada beberapa istilah ekonomi yang berkaitan erat," ucapnya.
Kemudian, ia memberikan penjelasan singkat mengenai istilah-istilah yang berkaitan seperti:
1. Consumption smoothingIstilah tersebut menurut Akbar berarti bahwa seseorang berusaha menjaga pola hidupnya tetap stabil dari waktu ke waktu. Cara untuk menjaga kestabilan itu dengan berutang.
"Misalnya, ketika masih muda gaji kecil, mereka berutang; nanti saat penghasilan naik, mereka menabung. Jadi utang dan tabungan itu dipakai untuk 'meratakan' kehidupan," terang Akbar.
2. Saving–borrowing paradoxIstilah tersebut digunakan untuk menyebut keanehan ketika seseorang menabung dan berutang sekaligus.
"Secara logika, seharusnya orang pakai tabungannya dulu. Tapi dalam kenyataan, banyak yang tetap berutang walaupun punya simpanan," jelasnya.
3. Liquidity constraintAkbar menjelaskan, kondisi ini terjadi ketika seseorang punya aset atau tabungan tetapi tidak bisa dipakai sesegera mungkin. Sehingga, seseorang tetap membutuhkan pinjaman.
"Misalnya tabungan dalam bentuk deposito atau emas. Jadi walaupun terlihat kaya, secara tunai mereka tetap butuh pinjaman," paparnya.
4. Mental accountingUntuk istilah satu ini, Akbar menyebutnya lebih ke sisi psikologi.
Secara psikologis, seseorang merasa tidak bisa menyentuh tabungannya karena kebiasaan memisahkan untuk tujuan tertentu, misalnya sekolah anak, dana darurat, dan haji.
"Karena sudah diberi label, mereka enggan menyentuh tabungan itu, meskipun harus berutang untuk kebutuhan lain," jelasnya.
5. Debt-financed consumptionTerakhir, istilah ini digunakan untuk merujuk pada tindakan berbelanja dengan utang saat mempunyai tabungan.
"Misalnya beli barang dengan kartu kredit, padahal punya tabungan di rekening," pungkasnya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, motif seseorang melakukan pinjaman ternyata beragam. Dari sisi psikologi hingga keterbatasan akses dana, semua faktor itu saling terkait.
Pada akhirnya, istilah "borrowing from saving" bukan sekadar tren di media sosial, melainkan gambaran nyata tentang tantangan ekonomi di tengah kenaikan biaya hidup dan pendapatan yang stagnan
Baca juga: Tabungan Rp 330 Juta dengan Gaji UMR ala Kaluna, Sekadar Fantasi atau Bisa Terealisasi?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.