KOMPAS.com - Mendapatkan pekerjaan di era sekarang bukan perkara mudah. Persaingan ketat, tuntutan keterampilan baru, hingga maraknya penipuan lowongan kerja membuat banyak pencari kerja berada dalam posisi sulit.
Kesulitan itu salah satunya dialami oleh Amisha Datta dan Brenda Smith dari Amerika Serikat (AS).
Keduanya terjebak dalam tawaran kerja palsu, pengalaman yang menggambarkan betapa peliknya perjuangan mencari pekerjaan di tengah pasar kerja yang tidak menentu.
Baca juga: Kenapa Cari Kerja Makin Sulit saat Situasi Politik Tidak Stabil?
Tertipu lowongan kerja di LinkedIn
Dilansir dari Business Insider, Selasa (23/9/2025), Amisha Datta (26) mengalami penipuan lowongan kerja pada 2023, tak lama setelah lulus kuliah dengan IPK sempurna 4,0.
Amisha, yang tinggal di Detroit, AS, saat itu mencari pekerjaan paruh waktu. Ia menemukan iklan lowongan transkripsi audio pendidikan khusus di LinkedIn atas nama Five Star InterLocal Cooperative di Oklahoma.
Untuk meyakinkan diri, ia mengecek situs lembaga tersebut, melihat kantornya di Google Maps, hingga membaca ulasan di Glassdoor dan Indeed. Semuanya tampak normal.
Beberapa jam setelah melamar, ia dihubungi seseorang yang mengaku perekrut. Alamat emailnya mirip dengan resmi lembaga itu, hanya berbeda tanda baca. Amisha tak menaruh curiga.
Proses wawancara berlangsung singkat, hanya pertanyaan umum seperti cara mengelola waktu dan menyelesaikan konflik.
Tak lama, ia dinyatakan diterima dan diminta menandatangani kontrak. Sang ibu pun ikut memeriksa kontrak itu, tanpa menemukan hal aneh.
Perekrut kemudian mengirim cek senilai 4.300 dollar AS (sekitar Rp 71 juta) untuk membeli laptop kerja dari vendor tertentu. Saat uang dari cek itu masuk ke rekening, Amisha merasa aman dan langsung mentransfer ke vendor sesuai instruksi.
Baca juga: Sulit Cari Kerja, Ini Kisah Pengangguran Sarjana di Indonesia dan China
Namun, laptop tak pernah datang. Beberapa hari kemudian, bank menarik kembali dana karena cek tersebut palsu. Uang yang sudah ditransfer justru berasal dari rekening pribadinya.
Amisha pun kehilangan Rp 71 juta. Tak berhenti di situ, identitasnya kemudian digunakan untuk mengajukan pengembalian pajak palsu ke Internal Revenue Service (IRS).
“Saya merasa benar-benar sendirian, syok yang cepat berubah jadi marah, lalu rasa malu yang luar biasa,” kata Amisha .
Belajar dari pengalaman pahit itu, ia kemudian menempuh studi hukum di Texas A&M University.
“Inilah alasan saya akhirnya memilih sekolah hukum,” ujarnya.
Kasus Brenda Smith
Awal 2025, penipuan serupa menimpa Brenda Smith (56). Ia mengunggah CV ke akun LinkedIn yang mengatasnamakan perusahaan rekrutmen Robert Half.
Beberapa hari kemudian, ia dihubungi seseorang yang menawarkan pekerjaan paruh waktu di perusahaan bernama DataAnnotation.
Komunikasi berlangsung melalui WhatsApp, lengkap dengan tutorial kerja sederhana yang tampak meyakinkan.
Namun, Brenda kemudian diminta membuat akun kripto dan menyetor uang agar bisa mulai bekerja.
Awalnya ia menerima pembayaran kecil, tetapi untuk mencairkan keuntungan lebih besar, ia terus diminta menyetor dana tambahan.
Total kerugian Brenda mencapai 15.000 dollar AS atau sekitar Rp 250 juta.
Meski sempat malu, baik Amisha maupun Brenda berharap kisah mereka bisa menjadi peringatan agar orang lain tidak terjebak penipuan serupa.
Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan Buka 4 Posisi Lowongan Kerja, Ini Syaratnya
Penipuan kerja makin marak
Menurut data Komisi Perdagangan Federal (FTC) AS, laporan penipuan kerja meningkat tiga kali lipat dalam empat tahun terakhir, dengan kerugian melonjak dari 90 juta dollar AS (Rp 1,5 triliun) pada 2020 menjadi 501 juta dollar AS (Rp 8,3 triliun) pada 2024.
Para ahli menilai penipuan kerja akan terus marak, didorong ledakan penggunaan AI generatif dan ketatnya pasar tenaga kerja. Untuk pertama kalinya sejak 2021, jumlah pencari kerja di AS kini lebih banyak daripada lowongan yang tersedia.
“Semakin banyak orang menganggur, pasar makin bagus bagi penipu,” kata Direktur Eksekutif National Cybersecurity Alliance, Lisa Plaggemier.
Penipu biasanya menyasar kelompok rentan, seperti pengangguran jangka panjang, orang yang sedang bercerai, memiliki masalah kesehatan, atau merasa kesepian. Lulusan baru juga rentan karena minim pengalaman.
Sementara itu, LinkedIn mengeklaim telah rutin mendeteksi dan menghapus akun palsu, meski tak merinci seberapa cepat tindakannya.
“Banyak penipu bahkan membangun situs web palsu atau mendaftarkan perusahaan resmi agar tampak sah,” ujar Plaggemier.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.