Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertamina Buka Suara soal Narasi Indonesia Merugi meski Jual BBM Lebih Mahal dari Malaysia

Baca di App
Lihat Foto
WIKIMEDIA COMMONS/AKHMAD FAUZI
Ilustrasi SPBU Pertamina. Pertamina Patra Niaga buka suara terkait narasi yang beredar di media sosial mengenai harga bahan bakar dan kinerja keuangan Pertamina.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Pertamina Patra Niaga buka suara terkait narasi yang beredar di media sosial mengenai harga bahan bakar dan kinerja keuangan Pertamina.

Diketahui, alumni Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB), Alif Hijriah mengunggah video yang menyebut Pertamina mengalami kerugian meski harga BBM di Indonesia lebih mahal dibandingkan Malaysia.

Menanggapi hal tersebut, Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun, menjelaskan bahwa perbandingan tersebut tidak relevan.

Pasalnya, terdapat perbedaan signifikan dalam aspek produksi, kebutuhan, serta kondisi geografis dan distribusi di kedua negara.

“Di Malaysia, jumlah produksi BBM lebih tinggi dari kebutuhan dalam negeri. Sementara di Indonesia, situasinya berlawanan,” kata Roberth saat dihubungi Kompas.com, Jumat (26/9/2025).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Stok BBM Tiba, Pertamina dan BU Swasta Sepakat Libatkan Pengawasan Independen


Pertamina: BUMN tidak boleh rugi

Roberth juga menyampaikan, wilayah Indonesia terdiri dari daratan (dataran rendah), lautan, dan pegunungan, sehingga biaya distribusi BBM ke konsumen jauh lebih besar dibandingkan Malaysia yang mayoritas wilayahnya daratan.

"Poinnya saya pikir bukan soal untung-rugi, tapi bagaimana pelayanan dan distribusi bisa menjangkau seluruh wilayah NKRI terutama bbm bersubsidi ataupun nonsubsidi," jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa berdasarkan aturan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak boleh merugi. Hal ini terbukti dari setoran laba Pertamina kepada pemerintah dalam bentuk dividen.

Menurut Roberth, perbedaan biaya penyediaan BBM tentu ada di setiap produk, namun kontribusi Pertamina kepada negara dihitung secara konsolidasi dari total laba perusahaan, bukan berdasarkan item atau produk tertentu.

Berdasarkan penelusuran Kompas.com, data resmi perusahaan menunjukkan bahwa PT Pertamina membukukan laba bersih sebesar 3,13 miliar dollar AS atau sekitar Rp 49,5 triliun pada tahun buku 2024.

Pada periode yang sama, Pertamina juga menyumbang kontribusi Rp 401,73 triliun kepada negara.

Baca juga: Ramai soal Video Kendaraan Mati Pajak Tak Boleh Isi BBM di SPBU, Pertamina: Hoaks

Hitung-hitungan alumni ITB

Sebelumnya, Alif Hijriah memaparkan perhitungan yang menurutnya bisa menjawab alasan mengapa Indonesia dinilai merugi meski harga BBM di dalam negeri lebih mahal dibandingkan Malaysia.

Dalam video yang diunggah melalui akun Instagram @aliftowew, Alif menjelaskan bahwa persoalan utama terletak pada kapasitas produksi dan tingkat konsumsi BBM di kedua negara.

Berdasarkan data yang ia sampaikan, Indonesia sebenarnya memiliki kapasitas produksi lebih besar dibanding Malaysia.

Pertamina memproduksi sekitar 583.000 barel per hari, sedangkan Petronas Malaysia hanya sekitar 570.000 barel per hari.

Namun, masalah muncul dari sisi konsumsi, di mana Indonesia mengonsumsi sekitar 1,7 juta barel per hari, sementara Malaysia hanya 700.000 barel per hari.

Artinya, Indonesia mengalami defisit pasokan sebesar 1,1 juta barel per hari, sedangkan Malaysia hanya kekurangan sekitar 130.000 barel per hari. Kekurangan ini harus dipenuhi melalui impor.

“Jadi Indonesia mengalami defisit sekitar 1,1 juta barel per hari. Sementara Malaysia defisit 130.000 barel per hari. Nah, kekurangan inilah yang harus dipenuhi Indonesia lewat impor,” ujar Alif dalam video yang dikutip Kompas.com.

Dengan harga minyak dunia saat ini sekitar 85 dollar AS per barel, Indonesia harus mengeluarkan biaya impor yang sangat besar.

Berikut rinciannya:

  • Indonesia: 93,5 juta dollar AS per hari atau sekitar 34,1 miliar dollar AS per tahun
  • Malaysia: 11,1 juta dollar AS per hari atau sekitar 4,05 miliar dollar AS per tahun

Jika dikonversi ke rupiah, beban impor energi Indonesia mencapai sekitar Rp 566 triliun per tahun, sedangkan Malaysia hanya sekitar Rp 67 triliun per tahun.

Kesimpulannya, meski Indonesia memproduksi BBM lebih banyak, tingkat konsumsi dalam negeri jauh melebihi kapasitas produksi.

Akibatnya, Indonesia harus melakukan impor dalam jumlah besar, dan hal inilah yang membuat beban negara lebih berat dibanding Malaysia.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi