Demi Menghemat Biaya di Swiss, Mahasiswa Doktoral Asal China Konsumsi Makanan Kucing
KOMPAS.com - Seorang mahasiswa doktoral asal China di Swiss viral di "Negeri Tirai Bambu" setelah mengaku mengandalkan makanan kucing untuk memenuhi kebutuhan proteinnya.
Pria yang dijuluki warganet sebagai “Si Pelit yang Cerdik” itu dikenal dengan gaya hidup super hemat demi membiayai studinya sendiri.
Akun media sosialnya kini diikuti lebih dari 12.000 orang, tempat ia membagikan tips mengatur pengeluaran di tengah tingginya biaya hidup di Swiss.
Sebagaimana diberitakan South China Morning Post (SCMP), Rabu (24/9/2025), biaya hidup mahasiswa internasional di Swiss mencapai 1.000–1.500 franc Swiss (Rp 20,8–31,3 juta) per bulan.
Situasi semakin sulit karena mahasiswa internasional dilaporkan tidak diizinkan bekerja secara legal.
Agar tidak bernasib sama dengan mahasiswa lain yang terpaksa putus studi di tahun ketiga karena kehabisan dana, ia memutuskan untuk hidup super hemat.
Sebelum berangkat, ia sudah menabung 300.000 yuan (sekitar Rp 700 juta) hasil kerja di Shanghai, namun tetap merasa harus mengendalikan pengeluaran.
Baca juga: China Bakal Larang Konten Putus Asa dan Bersentimen Negatif
Strategi unik, dari makanan kucing hingga donor darah
Dalam salah satu unggahan yang paling ramai diperbincangkan, mahasiswa ini memamerkan strategi ekstremnya dengan mengonsumsi makanan kucing yang dijual di jaringan supermarket Migros.
“Satu kantong 3 kg hanya 3,75 franc Swiss (Rp 78.000) dengan kandungan protein 32 persen. Artinya, satu franc memberi 256 unit protein, lebih hemat dari sumber protein manusia mana pun di Swiss,” tulisnya.
Agar lebih mudah dikonsumsi, ia mencampur makanan kucing dengan kacang tanah supaya terasa lebih enak dan mengenyangkan, sembari memberi saran untuk tidak menambahkan susu karena menimbulkan bau tak sedap.
Ia bahkan mengeklaim rambutnya lebih sehat dibanding rekan-rekan sesama mahasiswa doktoral yang mengalami kerontokan.
“Rambut saya malah terlihat lebih indah dari sebelumnya,” ujarnya sambil bercanda.
Selain itu, ia rutin mendonorkan darah demi mendapat makanan gratis. Di Swiss, donor darah biasanya disertai suguhan seperti minuman, cokelat, roti lapis, hingga sup hangat.
“Pada dasarnya ini prasmanan gratis. Saya selalu menjadwalkan donor saat jam makan siang karena makanannya lebih lengkap,” ungkapnya, dikutip dari Hindustan Times, Sabtu (27/9/2025).
Baca juga: Usai Hantam Hong Kong dan China, Kini Topan Ragasa Terjang Vietnam
Menuju Harvard dengan filosofi hidup hemat
Meski kebiasaannya terbilang ekstrem, ia menyebut gaya hidup hemat ini justru menyehatkan.
Kini ia baru saja meraih beasiswa dan bersiap mengikuti program kunjungan di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
Meski pindah ke Boston, ia berencana tetap mempertahankan pola hidup hemat yang sudah dijalani selama di Swiss.
Kisah ini menuai beragam reaksi di media sosial China. Ada yang memuji ketekunannya bertahan hidup di negara mahal, ada pula yang mencibir pilihan ekstremnya.
“Saya coba makan makanan kucing, tapi rasanya terlalu amis,” tulis salah satu warganet. Ada juga yang berkomentar, “Kenapa repot? Pergi saja ke Jerman akhir pekan untuk stok daging lebih murah.”
Terlepas dari pro dan kontra, cerita mahasiswa ini menyoroti mahalnya biaya pendidikan di luar negeri serta berbagai cara—bahkan tak lazim—yang ditempuh mahasiswa demi bertahan hidup.
Baca juga: Jurnalis China Pelapor Awal Covid-19 Dijatuhi Hukuman Penjara untuk Kedua Kalinya
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.