KOMPAS.com - Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) menewaskan 9 perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan 1 anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Dari total 9 orang perwira yang menjadi korban peristiwa G30S, tujuh di antaranya berpangkat jenderal.
Operasi G30S diketahui memang menargetkan penculikan terhadap sekelompok jenderal TNI AD yang dianggap ingin mengkudeta Presiden Soekarno.
Baca juga: 7 Teori Dalang di Balik Peristiwa G30S, Ada Soeharto dan CIA
Namun, satu hal yang menjadi pertanyaan terkait hal itu adalah, mengapa Soeharto tidak ikut menjadi target penculikan dalam peristiwa G30S?
Padahal, pangkat Soeharto saat G30S terjadi adalah mayor jenderal dan menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) atau Pangkostrad.
Padahal, Soeharto pada saat itu berpangkat mayor jenderal dan menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) atau Pangkostrad.
Baca juga: Sejarah G30S/PKI, Ini Daftar 7 Pahlawan Revolusi yang Dibuang di Lubang Buaya
Mengapa Soeharto tidak diculik saat peristiwa G30S?
Meski saat itu Soeharto merupakan salah satu Jenderal TNI AD, ia tidak menjadi target penculikan G30S karena dianggap sebagai loyalis Presiden Soekarno.
Dikutip dari Kompas.com (27/9/2022), keterangan tersebut dibeberkan oleh salah satu tokoh kunci dibalik peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief.
Dia menyampaikan alasannya mengapa nama Soeharto tidak masuk dalam target penculikan dalam kesaksiannya kepada Mahkamah Militer.
"...karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).
Baca juga: Beda dari Film, Dokumen Otopsi Sebut Tak Ada Luka Penyiksaan pada Korban G30S
Selain itu, ada teori yang mengatakan bahwa Soeharto merestui rencana gerakan G30S karena tidak mengambil tindakan meski mengetahui rencana penculikan para jenderal TNI.
Menurut kesaksian Kolonel Latief, Soeharto disebut telah mengetahui rencana penculikan para jenderal yang dianggap sebagai Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta pada Presiden Soekarno.
Dalam buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa, Latief bersaksi bahwa ia memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan itu.
Baca juga: 5 Fakta Film G30S/PKI, Film Wajib Era Soeharto, Disetop Jenderal TNI
"Sehari sebelum kejadian itu saya melapor langsung kepada Bapak Mayjen Soeharto, sewaktu beliau berada di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sedang menunggui putranya yang ketumpahan sup panas. Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau," kata Latief.
Tak hanya sekali, Latief bahkan sebelumnya pernah membahas soal isu adanya "Dewan Jenderal" ketika di rumah Soeharto di Jalan Haji Agus Salim.
Pada pertemuan tersebut, Latief melaporkan adanya isu soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.
Baca juga: Kisah Jenderal AH Nasution dan Sukendro yang Selamat dari G30S
Tidak adanya reaksi setelah mengetahui informasi tersebut menjadi landasan bahwa Soeharto dianggap menyetujui rencana penculikan para jenderal.
Ditambah lagi, meskipun Soeharto tahu akan rencana itu, dia sama sekali tidak melapor ke atasannya.
Tak cuma itu, Latief bahkan melapor ke Mayjen Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Pangkostrad, setelah laporannya tak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.
Baca juga: Sejarah Cakrabirawa dan Peran Letkol Untung dalam Peristiwa G30S
Latief mengaku sudah beberapa kali mewanti-wanti adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal dan Soeharto hanya bergeming mendengar informasi itu.
Bahkan, di malam 30 September 1965, Soeharto mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya ingin menggagalkan kudeta.
Pengakuan Soeharto soal pertemuan dengan Latief
Di sisi lain, Soeharto sendiri pernah mengakui bahwa dia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S. Namun, dia memberikan kesaksian yang berganti-ganti.
Dilansir dari Kompas.com (30/9/2020), dalam wawancara dengan Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto mengaku ditemui Latif di RSPAD Gatot Soebroto pada malam 30 September 1965.
Soeharto tengah menjaga anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy, yang dirawat karena luka bakar akibat ketumpahan sop panas.
Baca juga: Sosok DN Aidit, Ketua PKI yang Dituding Jadi Dalang G30S
Namun, katanya, Latief tidak memberi informasi apa-apa, malah akan membunuhnya saat itu juga.
"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata Soeharto.
Namun, dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi.
Baca juga: Di Mana DN Aidit Saat Peristiwa G30S Terjadi?
Kronologi singkat peristiwa G30S
Peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI AD pada malam 30 September 1965 dipicu oleh isu adanya Dewan Jenderal.
Dewan Jenderal adalah sekelompok jenderal TNI AD yang diyakini hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.
Baca juga: Asal-usul Nama Lubang Buaya dan Alasan Jadi Tempat Pembuangan Korban G30S
Dewan Jenderal dipercaya sejalan dengan Amerika Serikat dan anti terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka ingin menyingkirkan Soekarno, yang saat itu condong ke Uni Soviet dan anti-Barat.
Dikutip dari laman Kompas.com (29/9/2023), Peter Kasenda dalam Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI (2016) mengatakan bahwa PKI mendapatkan informasi mengenai Dewan Jenderal dari rekan mereka di militer yang merupakan simpatisan PKI.
Atas dasar informasi itu, para perwira militer simpatisan PKI yang loyal kepada Soekarno bergerak secara diam-diam untuk mencegah kudeta.
Baca juga: Kenapa Para Jenderal Diculik dan Dibunuh dalam Peristiwa G30S?
Ada Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim).
Mereka bekerja bersama Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus (BC) PKI yang merupakan badan intelijen PKI, untuk menyusun daftar jenderal TNI AD yang diyakini termasuk dalam Dewan Jenderal dan dianggap berbahaya.
Rencananya, para jenderal tersebut akan diculik dan dibawa ke hadapan Presiden Soekarno. Namun, rencana itu justru kacau dalam pelaksanaannya.
Baca juga: Korban Salah Tangkap G30S, Mengapa Pierre Tendean Tetap Dibunuh?
Peristiwa G30S justru menewaskan sembilan perwira TNI AD dan satu anggota Polri, yang kemudian mendapat gelar kehirmatan sebagai Pahlawan Revolusi. Mereka adalah:
- Jenderal Ahmad Yani
- Letjen Raden Suprapto
- Letjen MT Haryono
- Letjen S Parman
- Mayjen DI Pandjaitan
- Mayjen Sutoyo Siswomiharjo
- Kapten Pierre Tendean
- Aipda Karel Satsuit Tubun
- Brigjen Katamso
- Letkol Sugiyono.
Beberapa di antara korban G30S tersebut sebenarnya tidak menjadi target, dan ada pula target operasi yang lolos, yakni Jenderal AH Nasution dan Brigjen Ahmad Soekendro.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.