KOMPAS.com - Proses evakuasi korban dan pembersihan reruntuhan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, telah mencapai sekitar 80 persen per Minggu (5/10/2025) pukul 23.30 WIB.
Tim SAR gabungan terus bekerja menggunakan alat penghancur beton dan ekskavator untuk mengangkat serta membersihkan puing-puing bangunan, demi mempermudah pencarian dan evakuasi korban.
Di tengah upaya tersebut, beredar sejumlah unggahan di media sosial yang memperlihatkan situasi di lokasi kejadian.
Dalam beberapa foto dan video yang tersebar, tampak petugas evakuasi mengenakan pakaian hazmat, seperti yang biasa digunakan saat pandemi Covid-19. Pemandangan ini pun menimbulkan rasa penasaran di kalangan warganet.
“Mau izin tanya, kenapa petugas memakai baju hazmat seperti saat pandemi Covid-19?” tulis akun Instagram @sunu*** di kolom komentar, Senin (6/10/2025).
Sementara itu, hingga Senin (6/10/2025) pukul 14.45 WIB atau tujuh hari setelah ambruknya Ponpes Al Khoziny, tercatat 53 santri dinyatakan meninggal dunia, sementara 10 lainnya masih dalam proses pencarian.
Sebanyak 104 santri berhasil selamat, dengan rincian 6 masih dirawat, 97 telah selesai menjalani perawatan medis, dan 1 orang diperbolehkan pulang tanpa perawatan.
Lalu, apa alasan sebenarnya petugas evakuasi Ponpes Al Khoziny mengenakan baju hazmat saat bertugas?
Alasan petugas evakuasi pakai hazmat
Periset Mikrobiologi Virus Terapan dari BRIN, Sugiyono Saputra, menjelaskan penggunaan baju hazmat oleh petugas saat mengevakuasi jenazah merupakan prosedur standar dalam penanganan korban meninggal.
“Itu sudah prosedur umum, karena hazmat berfungsi sebagai alat pelindung diri (APD) untuk melindungi petugas dari paparan bahan biologi berbahaya atau agen infeksi yang mungkin dibawa jenazah akibat proses pembusukan,” ujar Sugiyono saat diwawancarai Kompas.com, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, hazmat bertindak sebagai lapisan pelindung (barrier) agar petugas tidak mengalami kontak langsung maupun terpapar melalui udara (inhalasi) dari tubuh jenazah.
Pasalnya, jenazah yang telah mengalami pembusukan bisa saja mengandung virus, bakteri, atau mikroorganisme berbahaya yang berpotensi menular jika terhirup.
Baca juga: Warganet Nilai Evakuasi Korban Ponpes Al Khoziny Lama, Pakar Konstruksi: Langkah Tim SAR Sudah Benar
Menanggapi warganet yang mengaitkan penggunaan hazmat dengan pandemi Covid-19, Sugiyono menegaskan hazmat tidak hanya digunakan untuk kasus Covid-19, melainkan untuk setiap penanganan jenazah penderita penyakit menular lainnya, seperti tuberkulosis (TBC) dan HIV.
“Risiko penularan pada kasus orang meninggal karena penyakit menular memang lebih tinggi, sebab jasad mungkin masih membawa virus atau bakteri aktif,” jelasnya.
Meski begitu, ia menambahkan, sebagian bakteri atau virus memang dapat mati setelah seseorang meninggal. Namun, lama waktu bertahannya tidak bisa dipastikan secara pasti.
Dalam kasus ambruknya Ponpes Al Khoziny, Sugiyono mengatakan bahwa belum diketahui apakah para korban membawa penyakit menular atau tidak. Karena itu, penggunaan APD seperti hazmat dilakukan sebagai langkah pencegahan.
“Hazmat digunakan untuk mencegah paparan langsung dengan jenazah. Jika sudah terjadi pembusukan, jasad memang harus diisolasi agar tidak mengontaminasi lingkungan dan tidak menimbulkan gas atau bau,” ungkapnya.
Baca juga: Update Korban Meninggal Ponpes Al Khoziny Jadi 16 Orang, Ini Nama yang Berhasil Diindentifikasi
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang