KOMPAS.com - Tragedi ambruknya musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban dan masyarakat luas.
Operasi pencarian dan penyelamatan (SAR) di lokasi runtuhnya bangunan pondok di Desa Buduran, Sidoarjo, resmi ditutup pada Selasa (7/10/2025).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memastikan 63 jenazah korban telah ditemukan.
Usai proses evakuasi rampung, perhatian publik kini beralih pada pertanyaan besar, siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban atas insiden mematikan tersebut?
Sebagian pihak menilai, peristiwa ini tak bisa semata disebut kecelakaan, melainkan mengandung unsur kelalaian yang berpotensi pidana.
Baca juga: 61 Orang Meninggal dalam Ambruknya Musala Ponpes Al Khoziny, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Tragedi Ponpes Al Khoziny masuk kategori peristiwa hukum pidana
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai ambruknya bangunan Ponpes Al Khoziny bukan sekadar kecelakaan teknis, tetapi sudah memenuhi unsur peristiwa hukum pidana karena menimbulkan korban jiwa.
Menurut Fickar, kasus ini dapat dikategorikan sebagai kelalaian atau kegagalan konstruksi apabila terbukti ada pihak yang tidak memenuhi standar teknis maupun administratif dalam proses pembangunan.
“Dengan adanya korban meninggal, peristiwa ini sudah memenuhi kriteria peristiwa hukum pidana,” ujar Fickar saat dimintai pandangan Kompas.com, Rabu (8/10/2025).
Baca juga: Tragedi Ambruknya Musala Ponpes Al Khoziny dan 61 Nyawa yang Tak Kuat Menopang Dosa Konstruksi
Saat disinggung ada pihak yang menyebut runtuhnya bangunan tersebut sebagai takdir Tuhan dan sebagian orang tua santri memilih untuk tidak menuntut secara hukum, Fickar menegaskan bahwa pandangan itu sah secara pribadi, namun tidak menghapus kewajiban hukum negara.
Menurut dia, peristiwa ini tergolong pidana umum, bukan pidana aduan. Artinya, proses hukum tetap harus berjalan meskipun tanpa laporan dari keluarga korban.
“Tidak apa-apa jika keluarga menyebutnya takdir. Namun, karena sudah ada peristiwa dan korban jiwa, kasus ini termasuk pidana umum yang wajib diusut dan disidangkan,” ujarnya.
Dengan demikian, aparat penegak hukum memiliki kewenangan penuh untuk melanjutkan penyelidikan, sebab tragedi yang menimbulkan korban jiwa dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum publik, bukan sekadar urusan pribadi antara pihak yang dirugikan dan pelaku.
Baca juga: Rangkuman Tragedi Ponpes Al Khoziny: dari Hari Ambruknya Musala hingga Akhir Pencarian Korban
Kontraktor, pengawas, dan pemda bisa dimintai pertanggungjawaban
Fickar menegaskan, tanggung jawab utama secara fisik berada pada pihak yang membangun dan mengerjakan proyek, yakni pengembang, kontraktor, serta pengawas konstruksi.
Namun, pemerintah daerah juga memiliki peran penting sebagai pengawas akhir, terutama dalam penerbitan dan pengawasan izin bangunan.
Ia menjelaskan, kelalaian dalam konteks konstruksi berarti tidak terpenuhinya standar kecukupan material dan kekuatan struktur yang semestinya.
“Bangunan setidaknya harus mampu bertahan dalam jangka waktu tertentu, misalnya 50 tahun,” terang Fickar.
Apabila bangunan terbukti belum memiliki izin, maka tanggung jawab hukum jatuh pada pihak pelaksana pembangunan, termasuk pemilik atau pengelola pondok pesantren.
Lebih lanjut, jika pengelola ponpes terbukti misalnya tidak menunjuk penyedia jasa desain yang bersertifikasi, hal ini memperkuat bahwa pengelola ponpes bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
“Kelalaian itu berarti tidak memenuhi kewajiban kelengkapan konstruksi sesuai ukuran umum bangunan yang aman,” ujarnya.
Aparat penegak hukum juga dapat menggunakan Pasal 359 dan 360 KUHP untuk menjerat pihak yang lalai hingga menyebabkan kematian atau luka-luka dalam tragedi tersebut.
Dalam pasal 359 KUHP, diketahui sanksi yang diberikan bagi pelaku dapat berupa 5 tahun hukuman penjara.
“Minimal dengan pasal 359 KUHP jika korbannya ada yang terluka atau mati,” kata Fickar.
Langkah Polda Jatim
Polda Jawa Timur memastikan proses hukum terkait tragedi ambruknya musala Ponpes Al Khoziny akan terus berlanjut.
Proses penyelidikan akan dilakukan setelah seluruh identifikasi korban oleh tim DVI Biddokkes rampung.
“Tentu kami akan melakukan langkah awal penyelidikan, dan selanjutnya meningkatkan ke tahap penyidikan,” ujar Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast, dalam konferensi pers, Selasa (7/10/2025), dikutip dari Kompas.com.
Ia menegaskan, langkah tersebut merupakan bentuk tanggung jawab moral dan empati terhadap keluarga korban yang masih berduka.
“Saya percaya kami akan melakukan proses ini sebaik-baiknya. Mudah-mudahan penegakan hukum bisa segera dilakukan,” katanya.
Sebelumnya, kepolisian telah mengamankan sejumlah barang bukti dari lokasi runtuhan musala, antara lain delapan potongan beton core drill dan 20 batang tulangan dengan berbagai diameter.
Tim penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jatim juga telah memeriksa satu saksi santri selamat, Shaka Nabil Ichsani, untuk memberikan keterangan terkait peristiwa tersebut.
Musala tiga lantai yang berfungsi sebagai tempat ibadah di area asrama putra Ponpes Al Khoziny ambruk saat para santri tengah melaksanakan salat Asar, Senin (29/9/2025) pukul 15.00 WIB.
Analisis tim SAR gabungan menyebut penyebab runtuhnya bangunan diduga akibat kegagalan konstruksi karena struktur tidak mampu menahan beban sesuai kapasitas yang seharusnya.
Tim Basarnas resmi menutup proses pencarian dan pertolongan pada Selasa (7/10/2025).
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang