Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 13 Jul 2025

Etnomusikolog, Pengajar di Jurusan Etnomusikologi dan Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

Konferensi Musik Indonesia dan Nasib Musisi Akar Rumput

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/SUKOCO
grop cokean mbah Sampun masih sering mendapat tanggapan pemilik hajatan yang tidak mampu menyewa grop karawitan lengkap.
Editor: Sandro Gatra

GEMA Konferensi Musik Indonesia (KMI) yang baru saja berlangsung di Jakarta, dari tanggal 8 hingga 11 Oktober 2025, masih bergaung dalam ruang-ruang diskusi bab industri.

Acara yang menghimpun berbagai pelaku ekosistem musik nasional tersebut banyak membicarakan persoalan struktural, dengan royalti sebagai salah satu topik utama.

Pembicaraan tersebut menggambarkan upaya untuk menata lanskap permusikan Indonesia ke arah sistem yang lebih terstruktur dan menjanjikan keberlanjutan ekonomi.

Namun, di luar ruang konferensi berkelas itu, terdapat realitas lain yang sama sekali berbeda narasi dan kondisinya.

Dunia para musisi lokal dan tradisi, katakanlah organ tunggal, campursari, dan pengrawit gamelan di pelosok daerah berjalan dengan logika dan tekanannya sendiri, jauh dari jangkauan pembahasan industri yang formal.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Insiden penganiayaan terhadap Kirun, seorang pemain ketipung di hajatan di Klaten, Jawa Tengah, menjadi gambaran nyata dari jurang pemisah tersebut.

Peristiwa yang terjadi pada 28 September 2025 itu, mempertontonkan bagaimana seorang musisi kampung dikeroyok tamu undangan hanya karena permintaan lagu yang tidak dapat dipenuhi.

Baca juga: Database Terpusat, Mimpi Royalti Musik Adil

 

Adegan kekerasan yang terekam dan viral itu bukanlah kisah tunggal, melainkan gejala dari lingkungan kerja penuh bahaya.

Sementara KMI membincangkan hak ekonomi, Kirun dan rekan-rekannya justru mempertaruhkan keselamatan jasmani mereka hanya untuk sekadar bisa tampil dan menghidupi keluarga.

Lingkungan kerja para musisi lokal dan tradisi ini dibangun di atas fondasi rapuh. Mereka umumnya bekerja berdasarkan perjanjian lisan, tanpa kontrak tertulis yang dapat melindungi hak-haknya.

Hubungan yang dikatakan kekeluargaan justru sering berubah menjadi jerat yang mempersulit mereka untuk menolak permintaan di luar batas kewajaran.

Batas antara penghiburan dan pelecehan dalam situasi demikian menjadi sangat tipis dan mudah terlampaui.

Ketiadaan payung hukum dan lembaga advokasi menjadi persoalan mendasar yang mengakibatkan terus berulangnya insiden serupa.

Setiap musisi yang mengalami perlakuan semena-mena, dari bayaran yang dipotong secara sewenang-wenang hingga kekerasan fisik, pada akhirnya harus menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri.

Mereka terjebak dalam dilema antara melaporkan ketidakadilan untuk menuntut keadilan, atau memilih diam demi menjaga hubungan baik dan peluang kerja di masa depan.

Posisi mereka sebagai “tenaga bayaran” dalam strata sosial hajatan kerap ditempatkan pada level paling bawah, mudah untuk ditekan dan diintimidasi.

Lembaga advokasi

Dalam konteks inilah, wacana yang dibawa oleh KMI terasa masih belum menukik ke akar persoalan kerentanan ekstrem yang dialami kelompok musisi lokal di daerah.

Pembahasan mengenai distribusi royalti adil bagi musisi yang karyanya diputar di platform digital adalah kemajuan. Namun, hal itu tidak menyentuh kebutuhan mendesak para musisi tradisi yang bekerja tanpa jaminan sosial apapun.

Baca juga: Melodi Musik yang Kian Sederhana

 

Musisi tradisi membutuhkan perlindungan dari bahaya langsung yang mengancam di setiap panggungnya.

Mereka adalah pekerja seni yang mencari nafkah dengan menghibur, tapi jerih payah mereka kerap tidak dihargai setara dengan risiko yang ditanggung.

Seorang pemain kendhang yang mengalami cedera dalam perjalanan menuju lokasi pentas harus menanggung sendiri biaya pengobatannya.

Seorang vokalis yang sakit dan tidak dapat tampil akan langsung kehilangan pendapatannya tanpa ada kompensasi.

Fisik yang menurun seiring usia menjadi ancaman langsung terhadap kelangsungan hidup ekonomi mereka dan keluarga yang ditopangnya.

Persoalannya, pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi pelindung, memandang musisi tradisi sebagai pelengkap upacara seremonial belaka.

Undangan untuk memeriahkan acara-acara resmi lebih bersifat pemanfaatan tanpa diikuti dengan perhatian terhadap kesejahteraan jangka panjang mereka.

Bantuan yang diberikan bersifat insidental dan karikatif, tidak membangun sistem yang dapat menjamin lingkungan kerja aman dan bermartabat.

Para musisi dirayakan sebagai aset kebudayaan, tetapi dalam praktiknya diperlakukan sebagai pihak yang boleh dituntut segalanya tanpa imbalan memadai.

Dunia maya dan media sosial, meskipun mampu membuat beberapa kasus perlakuan semena-mena pada musisi tradisi viral, tidak cukup menjadi ruang advokasi yang berkelanjutan.

Perhatian publik yang bersifat sementara dan sensasional jarang berubah menjadi dukungan struktural nyata.

Banyak bentuk ketidakadilan lain, seperti pelecehan verbal atau sistem bayaran semena-mena, tetap tenggelam dalam hiruk-pikuk informasi dan tidak pernah terselesaikan.

Musisi lokal hidup dalam paradoks: di satu sisi dielu-elukan sebagai pelestari tradisi, di sisi lain diperlakukan dengan sikap merendahkan dan eksploitatif.

Panggung pementasan yang mereka jalani membawa beban ganda. Di pundak mereka dibebankan tanggung jawab untuk memenuhi tuntutan estetika kesenian yang mereka bawakan, sekaligus memikul beban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Konteks pembangunan industri musik nasional, sebagaimana didiskusikan dalam KMI, dengan demikian perlu diperluas agar tidak terbatas pada ekonomi kreatif berorientasi pasar.

Ada ekosistem besar di bawahnya, dunia yang hidup dalam hajatan dan perayaan di desa-desa, yang juga membutuhkan pengaturan dan perlindungan.

Baca juga: Rapuhnya Royalti Musisi Tradisi

 

Pembicaraan tentang masa depan musik Indonesia akan pincang jika hanya melihat pada grafik penjualan dan stream, tetapi mengabaikan persoalan di tingkat akar rumput.

Kebutuhan akan lembaga advokasi yang memahami dinamika dunia seni pertunjukan lokal menjadi semakin krusial.

Lembaga semacam ini dapat berfungsi sebagai mitra yang mendampingi musisi dalam menghadapi persoalan di lapangan, mulai dari mediasi konflik hingga proses hukum.

Ia dapat menjadi jembatan, menghubungkan kepentingan para seniman dengan penyelenggara acara dan pihak berwajib.

Memastikan bahwa setiap perselisihan dapat diselesaikan melalui jalur beradab, bukan dengan kekerasan.

Solidaritas internal di antara para pelaku seni sendiri merupakan fondasi yang mutlak diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut.

Wadah kolektif akan memberikan kekuatan tawar lebih besar. Memungkinkan mereka untuk menegosiasikan kondisi kerja yang lebih manusiawi dan aman.

Tanpa kekuatan kolektif, setiap musisi akan tetap menjadi pihak terisolasi dan mudah untuk dipinggikan suaranya.

Gerakan untuk membentuk lembaga semacam ini pada hakikatnya adalah upaya untuk merebut kembali martabat mereka sebagai pekerja seni.

Harus diakui, institusi pendidikan seni seperti sekolah musik atau kampus-kampus kesenian tidak menjangkau realitas kerja musisi tradisi di lapangan.

Mereka menghasilkan lulusan yang terampil secara teknis, tetapi tidak membekali dengan pengetahuan tentang hak-hak sebagai pekerja seni.

Jurang antara dunia akademis dan dunia panggung hajatan terlihat sangat lebar. Para pengrawit wayang kulit, misalnya, adalah penjaga nafas kesenian (yang konon) adiluhung, tapi dalam praktiknya bekerja tanpa kontrak jelas.

Setiap pementasan adalah perjanjian lisan yang rentan terhadap penyimpangan. Mereka juga tidak memiliki jaminan sosial apa pun, seperti asuransi kesehatan atau perlindungan kecelakaan kerja.

Pembahasan di forum-forum strategis seperti KMI harus membuka ruang lebih lebar bagi narasi-narasi dari pinggiran ini.

Suara para musisi tradisi dan lokal perlu didengar bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai bagian sentral dari peta permusikan Indonesia seutuhnya.

Baca juga: Di Balik Konflik Royalti, AI Siap Mencuri

 

Dengan memasukkan isu perlindungan kerja, jaminan sosial, dan keamanan bagi musisi non-industri ke dalam agenda besarnya, KMI dapat mentransformasi dirinya dari sekadar forum bertajuk industrial menjadi gerakan untuk memanusiakan seluruh musisi di Indonesia.

Kesenian dan penghidupan yang bermartabat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Masa depan musik Indonesia sesungguhnya tidak akan ditentukan semata oleh kesepakatan-kesepakatan industrial di ruang konferensi, melainkan oleh kemampuan kolektif kita untuk merajut ekosistem yang benar-benar setara.

Ekosistem ini harus mampu menjangkau dan memayungi setiap elemen pembentuknya, dari pusat industri di ibu kota hingga denyut yang paling tersembunyi di balik panggung hajatan desa.

Sistem yang hanya mengukuhkan keberhasilan segelintir pelaku, sambil membiarkan sebagian besar lainnya terperangkap dalam siklus kerentanan dan ketidakpastian, pada hakikatnya adalah bangunan yang rapuh.

Kesenian dapat saja bertahan dalam kondisi paling sulit, tetapi ia hanya akan benar-benar berkembang dan bermakna ketika setiap pelaku yang menopangnya, tanpa terkecuali, dapat berkarya dalam lingkungan yang menjamin keamanan jasmani, kepastian ekonomi, dan penghormatan atas martabatnya sebagai pekerja seni musik.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi