KOMPAS.com - Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti tingginya jumlah dana milik pemerintah daerah (pemda) yang belum dimanfaatkan dan mengendap di perbankan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan per Rabu (15/10/2025), total dana pemda yang mengendap di bank mencapai Rp 234 triliun.
Angka ini merupakan akumulasi saldo kas daerah hingga akhir September 2025.
Menurut Purbaya, besarnya dana mengendap tersebut bukan disebabkan oleh kekurangan anggaran, melainkan akibat lambatnya realisasi belanja dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Pemerintah pusat sudah menyalurkan dana ke daerah dengan cepat. Sekali lagi, (untuk) memastikan uang itu benar-benar bekerja untuk rakyat,” ujarnya dikutip dari Kompas.com, Senin (20/10/2025).
Lantas, apa dampak jika dana pemerintah daerah terlalu lama disimpan di bank?
Baca juga: 15 Pemda dengan Jumlah Dana Mengendap di Bank Paling Banyak, DKI Jakarta Teratas
Dampak daerah menyimpan dana terlalu banyak di bank
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa praktik pemda memarkir dana di perbankan terjadi karena beberapa alasan.
Pertama, terdapat indikasi permainan bunga deposito oleh oknum pemerintah daerah.
"Semakin besar dana yang diparkir di bank, semakin besar pula bunga yang diterima. Ini masalah klasik yang belum pernah benar-benar diselesaikan,” ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (21/10/2025).
Kedua, sebagian pemerintah daerah khawatir terhadap kelanjutan efisiensi anggaran, terutama menjelang tahun 2026, ketika akan terjadi pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 20 persen.
Baca juga: Dari Mana Asal Deposito Rp 285,6 Triliun Milik Pemerintah di Bank? Ini Penjelasan Purbaya
Menurutnya, jika pemda tidak menyimpan dana cadangan di bank, risiko kekurangan anggaran dalam APBD 2026 bisa menjadi nyata.
Ia juga menilai, hal ini merupakan bentuk kesalahan dalam kebijakan efisiensi yang belum dikoreksi oleh Menteri Keuangan.
Bhima memperingatkan bahwa praktik menyimpan dana di bank secara terus-menerus berpotensi menghambat perputaran ekonomi daerah.
“Jika praktik parkir dana ini terus dilanjutkan, ekonomi daerah bisa macet. Tingkat pengangguran pun bisa meningkat karena dana dari pajak tidak kembali ke masyarakat dalam bentuk belanja pemerintah,” kata dia.
Sementara itu, Ekonom Senior Universitas Paramadina sekaligus praktisi kebijakan publik, Wijayanto Samirin menyatakan, sebagian besar dana yang diparkir oleh pemda bersifat siklikal.
"Kita harus lihat bahwa sebagian cukup besar dana tersebut sifatnya siklikal, artinya naik-turun tergantung bulan. Pemda membutuhkan dana tersebut untuk cadangan saat TKD pusat belum turun tetapi pengeluaran sudah jalan," jelasnya secara terpisah, Selasa.
Ia menilai, banyak dana daerah yang tidak terserap karena perencanaan pembangunan yang kurang optimal.
Jika dana tersebut berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), biasanya akan disimpan dalam bentuk deposito.
Baca juga: Mengenal Family Office, Proyek yang Ditolak Menkeu Purbaya jika Pakai APBN
Sementara, jika bersumber dari pemerintah pusat, dana tersebut cenderung ditempatkan dalam bentuk giro dan hanya bersifat sementara.
Ia juga menyoroti adanya potensi konflik kepentingan dalam praktik ini. Pasalnya, pemda memiliki fleksibilitas dalam memanfaatkan bunga dari deposito tersebut.
"Hal lain, ada unsur konflik kepentingan juga, pemda punya fleksibilitas dalam memanfaatkan bunga hasil deposito tersebut," terangnya.
"Banyak di antaranya akhirnya menjadi insentif bagi pimpinan daerah, baik itu eksekutif maupun legislatif, bentuknya bisa dana taktis atau fasilitas lainnya," sambungnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang