Petani singkong terus dihadapkan pada kondisi rentan, tak punya banyak pilihan. Bertahun-tahun bertarung sendirian tanpa perlindungan harga, dikepung kebijakan yang tak memihak petani. Kemudian, mereka menjajal peruntungan lewat mocaf. Sialnya, jalan ini pun tak sepenuhnya lempang.
KOMPAS.com – Pagi itu, keringat membasahi wajah Sunarso (70). Di atas petak lahan di Desa Lengkong, Kecamatan Rakit, Banjarnegara, Jawa Tengah tangannya ulet membersihkan gulma di sekitar bibit singkong.
Awal September lalu, ia baru saja panen. Mestinya itu menjadi masa yang menyenangkan. Tapi tidak bagi Sunarso.
Hasil kerja kerasnya 10 bulan cuma ditebus dengan Rp 500.000. Total panen singkong 1 ton lebih miliknya, hanya dihargai Rp 500 per kilogram (kg).
Ia terpaksa menjualnya ke tengkulak. Pabrik-pabrik aci di Banjarnegara dan Purbalingga yang biasa membeli panen singkongnya dengan harga yang lebih baik, kini satu per satu gulung tikar.
Dari pabrik seperti Badamita, Ketawis, Kalipelus, atau Gumiwang, para petani dulu bisa mengantongi antara Rp 1.000–Rp 1.500 per kg singkong.
Baca juga: Harga Singkong Anjlok, Pemprov Lampung Minta Petani Pindah Tanam Jagung
Namun kini, separuh harga itu saja tidak sampai.
“Harga tambah bobrok. Tahun 2023 masih Rp 800–Rp 1.000 per kg. Tahun lalu Rp 700. Sekarang tinggal Rp 500,” keluhnya, saat ditemui Kompas.com di kebunnya pada Sabtu (20/9/2025).
Padahal untuk biaya operasional, Sunarso harus menyiapkan 20–25 karung pupuk kandang seharga Rp 7.000 per karung dan tambahan 50 kg pupuk urea senilai Rp 120.000.
Sedikitnya, ia mengeluarkan Rp 295.000 hanya untuk pupuk. Artinya, setelah menanam hampir setahun, keuntungannya tidak sampai Rp 200.000.
"Kalau dihitung-hitung, tenaga sama sekali tidak ada harganya," ucapnya.
Situasi serupa dialami Daryono (60), petani dari Desa Kutawuluh, Kecamatan Purwanegara. Tak beda dengan Sunarso, panen singkongnya dibeli Rp 500 per kg. Padahal musim panen sebelumnya ia masih bisa mendapat harga Rp 800 per kg.
Dari tengkulak, Daryono hanya memperoleh Rp 1,1 juta untuk hasil panennya pada pertengahan September lalu.
Jumlah ini belum termasuk biaya tambahan seperti ongkos sewa mobil angkut panen singkong ke timbangan Rp 200.000, upah pekerja panen Rp 500.000 untuk lima orang, dan biaya pupuk yang harus ditanggung sejak masa tanam.
“Sekarang petani tidak punya banyak pilihan setelah pabrik aci banyak yang tutup. Jadi, mau tidak mau singkong dijual ke tengkulak, itu pun masih ada biaya transport tambahan,” katanya.
Bersiasat, merawat asa bertani singkong
Meski puluhan tahun merugi, para petani singkong tetap menanam. Sebab, banyak dari mereka dihadapkan pada situasi tanpa ragam pilihan. Atau juga, karena tradisi bertani adalah warisan turun-temurun.
Alhasil, mereka tetap bertahan di lahan dengan siasat masing-masing.
Sebagian petani mengakali dengan sistem tanam tumpangsari. Selain singkong, mereka juga menanam kacang tanah, pisang atau juga, kopi.
Jalan lainnya, adalah bertaruh harap pada produksi tepung mocaf atau kependekan dari modified cassava flour.
Mocaf adalah tepung ubi kayu atau singkong yang dimodifikasi dengan cara difermentasi. Dengan begitu, dapat digunakan sebagai bahan baku produk–seperti mi dan roti.
Dedi Gunawan (39) satu di antaranya yang menjajal jalan tersebut. Petani singkong asal Desa Petir, Kecamatan Purwanegara ini terhubung dengan kelompok tani yang merintis produksi mocaf di desanya.
Tak mau terus-terusan menjual panen ke tengkulak dan merugi, ia dan sejumlah petani lain mencoba peruntungan ke Kelompok Tani Sumber Rejeki.
Kelompok tani berinisiatif memproduksi mocaf dan menyerap singkong dari petani lokal dengan harga yang lebih tinggi dibanding tengkulak.
Baca juga: 2 Mahasiswa Unpad Ciptakan Biostay, Styrofoam dari Kulit Singkong
Desanya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kebumen tersebut memiliki hamparan lahan singkong yang luas. Sebagian besar tanah di sana berupa tadah hujan atau lahan kering yang cocok untuk pertumbuhan singkong.
Desa Petir menjadi penopang utama Purwanegara yang selama ini tercatat sebagai kecamatan dengan produksi singkong tertinggi di Banjarnegara.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 dan 2022 produksi ubi kayu di Purwanegara bahkan menembus lebih dari 70.000 ton, atau lebih dari setengah total produksi singkong Kabupaten Banjarnegara.
Namun, hasil melimpah itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Dedi Gunawan bercerita, singkong hasil panennya baru-baru ini hanya dihargai Rp 600 per kg oleh pengepul.
Ia kembali harus menelan kerugian dalam usaha tani singkong.
Dedi menghitung, untuk menanam singkong di lahan 8.000 meter persegi, ia menghabiskan modal hingga Rp 12,8 juta.
Biaya ini mencakup pengolahan lahan, bibit, pupuk, tenaga kerja, dan perawatan. Tapi dari panen pertengahan September, Dedi hanya mengantongi sekitar Rp 7,8 juta untuk 15 ton singkong.
Itu pun, bobot panen yang tercatat lebih rendah karena terkena potongan rafaksi, yakni pengurangan berat yang diterapkan pengepul dengan alasan adanya singkong busuk, kulit, bonggol, atau tanah yang menempel. Setelah dihitung, singkongnya hanya dianggap berbobot 13 ton.
Tak sampai di situ, Dedi masih harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar pekerja panen dan ongkos angkut. Kebunnya ada di lokasi yang tak terjangkau mobil. Sehingga pengangkutan menggunakan motor dan biayanya lebih mahal.
“Kalau dihitung-hitung, dari panen 15 ton di lahan 8.000 meter persegi, saya hanya membawa pulang Rp 4,5 juta. Jauh sekali dari kata untung,” ujarnya.
Terang saja jika Dedi begitu menumpukan asa pada mocaf. Bagaimana tidak, ia mengaku beberapa kali merasakan manfaatnya.
Pada Juli lalu, saat harga singkong di pasaran Rp 600 per kg, Kelompok Tani Sumber Rejeki di RT 003/RW 003 berinisiatif membeli Rp 650 per kg. Selisihnya memang tampak tipis. Tapi bagi Dedi, itu sudah sangat berarti.
“Yang menggembirakan bukan sekadar harga lebih tinggi, tapi adanya harapan baru bagi petani. Rasanya ada jalan untuk memperbaiki keadaan,” ungkapnya.
Baca juga: 49 Pabrik Patuhi Harga Dasar Singkong, Gubernur Lampung Dorong Larangan Impor
Meski begitu, Dedi paham bahwa kelompok tani pengolah mocaf belum mampu menyerap singkong secara rutin. Mereka biasanya hanya membeli saat ada permintaan atau stok tepung di gudang mulai menipis.
“Kami juga maklum, karena tepung mocaf ini kan belum terlalu populer di pasaran. Jadi produksi mereka masih menyesuaikan dengan permintaan,” ucapnya.
Hal senada diungkapkan Samudra (41), petani lain di Desa Petir. Ia menyambut baik upaya Kelompok Tani Sumber Rejeki yang mulai memproduksi mocaf dan konsisten membeli singkong dengan harga sedikit lebih tinggi daripada tengkulak.
“Sejak awal tahun ini, kami punya pilihan lain. Untuk saat ini, memang paling menguntungkan menjual singkong untuk produksi mocaf,” jelasnya.
Samudra pun menyesalkan kebijakan Kementerian Pertanian (Kementan) RI yang menetapkan harga singkong Rp 1.350 per kg bagi industri tepung nasional tidak pernah dirasakan petani di lapangan. Aturan harga acuan ini tak berjalan di lapangan.
“Dalam lima tahun terakhir, harga ke tengkulak tidak pernah lebih dari Rp 1.000 per kg. Kalau kenyataannya begini, bagaimana kami bisa bertahan?” kata Samudra.
“Ibaratnya, untuk bisa menukar 1 kg beras, kami harus pergi ke warung dengan memanggul 30 kg singkong. Ada selisih yang jauh sekali,” tambahnya sambil tertawa getir.
“Lahirnya mocaf karena rasa sakit petani"
Bertahun-tahun, banyak dari petani memetakan sendiri jalan keluar masalah mereka. Menyisir sendiri kemungkinan-kemungkinan untuk meretas pelbagai kebuntuan.
Mocaf ibarat pintu, tapi tak bisa begitu saja dilewati. Jalannya sudah terbuka, tapi melaluinya pun tak gampang.
Adalah Sugito (45), petani singkong yang kini juga memproduksi tepung mocaf di Desa Petir. Sebagaimana petani lain, ia resah dengan harga panen yang terus-terusan merugi.
Kemudian pada awal 2025, Sugito coba mengolah mocaf, setelah mendapat pembinaan dari Rumah Mocaf Indonesia–produsen sekaligus eksportir tepung mocaf yang berbasis di Banjarnegara.
“Lahirnya mocaf di sini karena rasa sakitnya petani,” ucap Sugito saat ditemui Kompas.com di Petir, Jumat (26/9/2025).
Sejak awal, ia berkomitmen membeli singkong dengan harga lebih tinggi dari pasaran untuk membantu petani lain.
Ia juga sebatas menerapkan rafaksi maksimal 10 persen, berbeda dengan pengepul yang bisa memotong hingga 13 persen.
Namun, Sugito mengakui belum bisa memproduksi mocaf secara rutin setiap hari lantaran harus menyesuaikan dengan permintaan pasar.
Baca juga: Panen tapi Pabrik Tapioka Tutup, Petani Lampung: Singkong Mau Dibawa ke Mana?
Hingga kini, penyerapan singkong dari Kelompok Tani Sumber Rejeki masih bergantung kerja sama dengan Rumah Mocaf Indonesia sebagai offtaker. Penjualan langsung dari konsumen ke kelompok tani masih sangat minim.
“Karena ada permintaan dari Rumah Mocaf Indonesia, kami sempat memproduksi 1 ton tepung mocaf per hari. Di luar itu, produksi tepung belum bisa menentu,” katanya.
Jumat pagi itu misalnya, tak ada aktivitas di tempat produksi tepung mocaf. Di dalamnya, terlihat masih ada 15 karung tepung mocaf, beberapa puluh plastik kemasan 1 kg, serta tiga karung besar berisi sriping atau singkong kering siap giling.
Dalam setiap produksi, Gito bercerita, sebenarnya bisa ada 12 warga yang dilibatkan.
Mereka bisa bekerja mulai dari mengupas dan mencuci singkong, memotong, merendam atau memfermentasi dengan mikroba selama 2–3 hari untuk memecah pati dan mengurangi sianida, lalu mengeringkan, menggiling menjadi tepung halus, hingga mengemasnya dalam wadah kedap udara.
“Petir punya lahan singkong luas. Per hari, singkong yang keluar dari desa bisa mencapai 50 ton. Jadi stok ada terus,” ujarnya.
Sugito meyakinkan, mereka sanggup memproduksi mocaf dalam jumlah besar bila permintaan tinggi. Modal bukan halangan, sebab petani berani berusaha selama pasar bersahabat.
“Bahan baku melimpah. Jadi diminta produksi mocaf berapa pun, kami siap. Nyatanya, banyak singkong malah dibuat pakan ternak. Apa enggak kasihan?” katanya.
Ia berharap pemerintah, baik daerah maupun pusat, memberi perhatian serius terhadap nasib petani singkong.
Menurutnya, dukungan sangat dibutuhkan agar mocaf semakin berkembang dan diterima masyarakat luas. Bentuk dukungan bisa berupa pemasaran, promosi, serta kampanye konsumsi pangan lokal di sekolah, pasar, hingga acara resmi daerah.
Aspek lain yang penting adalah standarisasi dan sertifikasi. Petani perlu difasilitasi untuk mendapatkan sertifikasi halal, sertifikasi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), dan sertifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar produk lebih dipercaya.
Pendampingan untuk menjaga mutu produksi juga diperlukan supaya tepung mocaf memiliki kualitas seragam sesuai standar industri.
Sugito menyoroti pula perlunya akses pasar yang lebih luas. Pemerintah bisa membantu jalur distribusi ke pasar modern, koperasi, hingga platform e-commerce. Selain itu, perlindungan harga melalui regulasi yang berpihak pada petani juga mendesak dilakukan.
“Jangan sampai pemerintah hanya buat aturan tanpa pelaksanaan nyata di lapangan,” tegasnya.
Ia bahkan mengusulkan agar pemerintah mendorong pemanfaatan mocaf dalam program bantuan pangan maupun pengadaan lembaga daerah. Pemberian subsidi atau insentif untuk masyarakat yang membeli mocaf juga dianggap perlu.
Baca juga: Terima Harga Rp 1.350 Per Kg, Petani Singkong: Jangan Kucing-kucingan dengan Perusahaan
Rumah Mocaf Indonesia juga lahir atas pengalaman pahit yang disaksikan langsung oleh Riza Azyumarridha Azra (34) lebih dari satu dekade silam.
Pada suatu pagi di 2014, ia melihat petani di Desa Kalitengah, Purwanegara, menangis karena harga singkong hanya Rp 200 per kg.
Banyak singkong akhirnya dibiarkan membusuk di ladang karena petani tak sanggup lagi menanggung biaya operasional.
Perjumpaan itu terjadi saat Riza mengikuti kegiatan Komunitas Sekolah Inspirasi Pedalaman bersama relawan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Dari sana, ia dan rekan-rekannya berpikir cara agar harga singkong bisa meningkat.
Setelah berkonsultasi dengan beberapa ahli dan dosen pertanian di Universitas Gadjah Mada (UGM), Riza dkk. akhirnya memilih mengolah singkong menjadi mocaf.
Dengan dukungan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Muhammadiyah Banjarnegara dan Lazismu, Riza dan tim akhirnya berhasil mengadakan pelatihan kepada 45 petani dari Desa Kalitengah, Desa Parakan di Kecamatan Purwanegara, dan Desa Pesangkalan di Kecamatan Pagedongan.
Sebulan setelah pelatihan kala itu, para petani sudah bisa memproduksi tepung mocaf. Berjalannya waktu, produksinya pun meningkat. Tapi, di situlah Riza menghadapi tantangan baru yang harus dipecahkan terkait penjualan atau pemasaran.
Untuk mengatasi hal itu, Riza mulai menggandeng sejumlah UMKM agar memanfaatkan mocaf sebagai bahan baku dagangan.
Ia berupaya mengenalkan produk olahan dari tepung mocaf seperti bakmi mocaf, roti maryam mocaf, biskuit mocaf, dawet mocaf, dan lain-lain. Perlahan, Riza bersyukur mocaf mulai diterima konsumen.
Baru pada 2017, alumnus Teknik Elektro UGM tersebut kemudian memutuskan untuk mendirikan Rumah Mocaf Indonesia agar promosi dan penjualan mocaf menjadi lebih terstruktur.
Sejak itu, jangkauan produk terus meluas, dari UMKM lokal hingga perusahaan roti di Yogyakarta, Tasikmalaya, dan Garut.
Tak berhenti di pasar dalam negeri, produk Rumah Mocaf Indonesia kini juga diminati konsumen luar negeri. Riza menyebut, rata-rata Rumah Mocaf saat ini bisa mengekspor 50 ton mocaf per tahun, bahkan pernah mencapai 300 ton.
Permintaan datang dari berbagai negara, termasuk Malaysia, Singapura, Oman, Turkiye, Inggris, Amerika Serikat, China, Perancis, Uni Emirat Arab, Australia, hingga Arab Saudi.
Lewat Rumah Mocaf Indonesia, ia juga terus berupaya memperluas pembinaan kepada masyarakat, khususnya kelompok tani atau koperasi untuk ikut memproduksi mocaf dan menyerap singkong dari petani sekitar.
Kini, dengan bermitra bersama 11 kelompok tani dan koperasi, Rumah Mocaf telah memberdayakan lebih dari 470 petani untuk meningkatkan penghasilan melalui produksi mocaf. Banyak di antaranya adalah perempuan.
Produk yang ditawarakan Rumah Mocaf Indonesia pun semakin beragam, mulai dari tepung mocaf merek "Mocafine", tepung bumbu bebas gluten, vegan cookies, premix roti, crackers sehat, hingga gula singkong.
Dengan tangan terbuka, Rumah Mocaf juga telah menyentuh pemberdayaan kelompok tani di daerah lain, termasuk di Malang, Madiun, Sukabumi, dan Lampung Tengah.
Riza mengatakan, bersama koperasi dan kelompok tani binaan, pihaknya kini dapat memproduksi rata-rata 30 ton mocaf per bulan.
“Untuk menghasilkan 1 kg mocaf, dibutuhkan sekitar 3 kg singkong. Jadi, produksi bulanan kami bisa menyerap 90–100 ton singkong dari petani,” ujar Riza, yang menjabat sebagai Direktur Rumah Mocaf Indonesia, saat diwawancarai Kompas.com, Sabtu (20/9/2025).
Meski roda produksi telah berputar, para produsen mocaf masih menapaki jalan terjal untuk tumbuh dan berdampak lebih luas. Mereka tak ingin terus berjalan sendirian. Uluran tangan negara dirasa perlu agar perjuangan tak jadi gema sunyi.
Apa solusi pemerintah?
Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjanjikan bakal menyediakan berbagai skema pembiayaan dan membangun rantai pasok bersama para pemangku kepentingan untuk memperkuat industri olahan singkong.
Sekretaris Kementerian UMKM, Arif Rahman Hakim, menyampaikan komitmen itu ketika kunjungan ke produsen mocaf UD Usaha Mandiri di Banjarnegara, Jawa Tengah pada Sabtu (18/10/2025).
“Kementerian UMKM menegaskan pentingnya pengembangan produksi mocaf sebagai salah satu langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum,” ungkap Arif, melalui keterangan tertulis yang dikirim Humas Kementerian UMKM kepada Kompas.com, Minggu (19/10/2025).
Arif menyatakan, bahwa singkong sebagai bahan baku mocaf merupakan salah satu produk unggulan daerah yang berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan petani.
Adapun Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Ketahanan Pangan Kabupaten Banjarnegara, Firman Sapta Ady dalam kesempatan berbeda mengungkapkan bahwa meski di sisi hilir harga produk olahan singkong–seperti mocaf, aci, dan berbagai turunan lainnya–relatif tinggi, tapi nilai tambah tersebut belum sepenuhnya dirasakan oleh petani singkong.
Pasalnya, industri olahan masih belum mampu menyerap hasil panen dalam jumlah besar.
“Produk olahan singkong memang mahal di hilir, tapi dampaknya ke petani ketela belum signifikan karena daya serapnya masih terbatas,” ujarnya.
Ia pun mengakui, harga singkong di tingkat petani saat ini masih berada di bawah Rp 1.000 per kg, jauh di bawah harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Kementerian Pertanian sebesar Rp 1.350 per kg. Kondisi ini, kata dia, menjadi pekerjaan rumah serius bagi pemerintah daerah.
“Kalau dari sisi harga, kami memang tidak bisa berdiri sendiri. Karena mekanisme harga sepenuhnya diserahkan ke pasar. Maka dari itu memang perlu ada pengawalan, semua pihak harus bergerak bersama,” ujar Firman saat ditemui di Banjarnegara.
Firman melanjutkan, harga yang tak kunjung membaik berdampak langsung pada penurunan luas lahan pertanian singkong di Banjarnegara.
Tahun ini, luas tanam singkong tercatat sekitar 1.700 hektare, meningkat dibanding tahun lalu, tapi masih jauh lebih rendah dibanding pada 2020 yang mencapai sekitar 4.000 hektare.
“Kalau dibandingkan 2020, justru turun signifikan. Salah satu penyebabnya, karena harga singkong yang tidak pernah terangkat, sehingga banyak petani beralih ke komoditas lain,” jelasnya.
Firman menambahkan, pemerintah daerah kini tengah berupaya memperkuat pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku olahan singkong agar mereka dapat membeli bahan baku dengan harga yang wajar.
Salah satu langkah adalah mendorong ekspor mocaf maupun olahannya agar nilai ekonomi komoditas ini bisa meningkat.
“Kami terus memantau para pelaku olahan, termasuk industri mocaf. Harapannya mereka berkembang dan bisa membeli bahan baku singkong ke petani tidak murah,” ungkapnya.
Dari sisi hulu, Dinas Pertanian Banjarnegara telah memberikan sejumlah dukungan bagi petani singkong, salah satunya melalui program subsidi pupuk yang dijalankan sesuai Permentan Nomor 15 Tahun 2025, mencakup pupuk urea dan NPK.
Baca juga: Didemo Petani, Gubernur Lampung Mirza Tetapkan Singkong Rp 1.350 Per Kg
Selain itu, Dinas terus melakukan berbagai upaya untuk memperkuat sektor singkong, antara lain dengan memberikan penyuluhan teknis budidaya, pendampingan penggunaan pupuk subsidi, serta fasilitasi akses pasar dan pengolahan produk.
Pemkab juga menjalankan monitoring dan evaluasi kualitas produk pertanian, serta pembinaan kelompok tani guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Bupati Banjarnegara, dr. Amalia Desiana, juga menyatakan dukungan penuh terhadap pengembangan mocaf sebagai produk unggulan daerah yang berpotensi ekspor.
Dukungan ini diharapkan mampu membangkitkan kembali minat petani menanam singkong sekaligus memperkuat posisi Banjarnegara sebagai salah satu sentra pengolahan mocaf di Indonesia.
“Banjarnegara masih memiliki 1.700 hektare lahan singkong. Kami berharap ekspor mocaf bisa berlanjut secara rutin dan memberi jalan keluar bagi petani singkong,” katanya.
Kabupaten Banjarnegara memiliki potensi pertanian singkong terbesar di Jawa Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), “Kota Dawet Ayu” ini konsisten berada di posisi enam besar daerah dengan luas panen ubi kayu terbesar sepanjang 2022–2024.
Pada periode tersebut, produksi singkong di Banjarnegara tidak pernah berada di bawah 80.000 ton.
Bahkan pada 2021 dan 2022, hasil panen dari 18 kecamatan masing-masing mencapai 130.274 ton dari lahan seluas 4.597 hektare serta 124.401 ton dari lahan 4.183 hektare.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total produksi singkong di tujuh kota dan kabupaten di Jawa Tengah mencapai 2,55 juta ton pada 2023. Dan Banjarnegara, menjadi salah satu sentra produksi utamanya.
Jawa Tengah sendiri tercatat sebagai lima besar penghasil singkong tertinggi di Indonesia. potensi ini bisa menjadi "bahan bakar" untuk menggenjot semangat menghidupkan keragaman pangan lokal.
Namun, potensi besar itu hingga kini belum tergarap maksimal. Salah satu penyebabnya adalah citra singkong yang masih identik dengan makanan kampung atau panganan orang miskin.
Pandangan ini membuat banyak masyarakat, terutama anak muda perkotaan enggan mengonsumsinya.
Padahal, umbi bernama latin Manihot sp. ini pernah berjaya sebagai makanan pokok. Kini, singkong kian ditinggalkan dan harganya merosot, seolah menjadi komoditas tak berharga di pasaran.
Mengapa mocaf tak kunjung berkembang?
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Ayip Said Abdullah, menilai lambatnya perkembangan tepung mocaf dibandingkan tepung terigu lantaran minimnya keseriusan pemerintah mendorong bahan pangan lokal ini.
Menurut Ayip, secara sumber daya dan potensi pengembangan, singkong sebagai bahan baku mocaf seharusnya tidak memiliki batasan karena bisa tumbuh di hampir seluruh wilayah Indonesia.
“Potensinya besar sekali, di mana pun singkong bisa tumbuh. Tapi pertanyaannya, kenapa dari waktu ke waktu mocaf ini tidak berkembang?” kata Ayip saat diwawancarai, Kamis (9/10/2025).
Ia menilai, akar persoalan utama terletak pada minimnya komitmen pemerintah untuk mengembangkan mocaf sebagai alternatif pangan.
“Kalau saya lihat, pemerintah memang tidak terlalu serius mendorong pengembangan mocaf. Padahal ini harus dikembangkan karena lihat sekarang, konsumsi tepung terigu kita luar biasa naik terus. Ini juga berbahaya bagi kita sebagai sebagai negara karena ada ketergantungan impor gandum sangat besar,” ujarnya.
Ayip menyampaikan, tepung mocaf memang tidak bisa diposisikan untuk langsung menggantikan tepung terigu, melainkan sebagai bahan pendamping terlebih dahulu.
Sayangnya, ia bahkan belum melihat adanya skenario besar yang dijalankan pemerintah untuk mendorong pemanfaatan mocaf sebagai pendamping.
“Harusnya tahap awal dijadikan pendamping tepung gandum, sambil pelan-pelan digeser sampai menstubtitusinya. Tapi sekarang kan tidak ada skenario seperti itu,” katanya.
Selain itu, biaya produksi mocaf juga masih tinggi karena infrastruktur dan teknologi pengolahan belum memadai. Hal ini membuat harga jual mocaf sejauh ini bisa mencapai dua kali lipat dibanding tepung terigu.
“Pelaku usaha tentu pilih yang lebih murah. Kalau kue dari tepung terigu laku, kenapa pakai mocaf yang dua kali lipat harganya?” ujar Ayip.
Baca juga: Mocaf dari Banjarnegara Tembus Pasar Ekspor, Bisakah Pemerintah Kurangi Impor Terigu?
Menurutnya, kondisi ini tidak bisa diatasi hanya dengan mendorong petani menanam singkong tanpa membangun pasar dan permintaan yang jelas.
“Selama ini pemerintah lebih banyak dorong di sisi supply, tapi demand-nya enggak di-create. Siapa yang akan menampung hasilnya? Itu pertanyaan besar. Kalau bilangnya ‘kami tampung’, kami itu siapa?” tambahnya.
Selain masalah struktur produksi, Ayip juga menyoroti kurangnya edukasi konsumen dan minimnya insentif bagi pelaku usaha pangan lokal.
“Kita enggak bisa berharap mocaf jadi bahan baku kuliner kalau konsumen belum diedukasi, pelaku usaha enggak dapat insentif, dan rantai pasoknya enggak nyambung dengan pasar,” katanya.
Situasi tersebut diperparah dengan kebijakan impor tepung gandum yang longgar sehingga membuat mocaf kian kalah bersaing.
“Bayangkan, tarif impor gandum kecil sekali. Sementara untuk bikin tepung mocaf dari singkong, biayanya bisa Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kg. Jelas berat,” ujar Ayip.
Pangan lokal berpotensi besar tapi dipinggirkan
Lebih lanjut, Ayip menganggap pemerintah belum memiliki kemauan politik (political will) yang kuat untuk mendorong kedaulatan pangan berbasis bahan lokal seperti mocaf.
“Kalau mau serius, harusnya pemerintah menyiapkan infrastruktur dan memberikan insentif di semua sisi, baik bagi petani maupun pelaku industri,” katanya.
Insentif tersebut, lanjut Ayip, tidak harus besar asal benar-benar diadakan. Misalnya, subsidi Rp 1.000 per kg agar harga mocaf bisa bersaing dengan tepung terigu.
“Kalau produsen jual Rp 6.000, ya sudah dijual ke pelaku usaha Rp 5.000 dengan selisih Rp 1.000 itu ditanggung pemerintah. Jadi semua diuntungkan, kena insentif,” ujarnya.
Namun, kebijakan semacam itu, kata Ayip, belum terlihat dalam praktik. Ia pun menuntut pemerintah untuk lebih serius dalam mendorong pengembangan pangan lokal.
“Kita bisa cek kalau betulan pemerintah punya komitmen. Coba lihat anggaran Kementerian Pertanian, berapa persen yang dialokasikan untuk pengembangan pangan lokal, termasuk mocaf? Kalau toh ada untuk proses swasembada, budidaya, dan seterusnya, hanya di padi, jagung, kedelai. Itu pun hanya padi yang baik, yang lain tetap impor,” ungkapnya.
Ayip menegaskan bahwa penguatan pangan lokal sangat penting untuk menjaga kedaulatan bangsa.
“Pemerintah harus punya political will yang kuat soal pangan lokal. Ini bukan soal ‘ah cuma singkong’ misalnya, bukan. Ini soal kita makin lama kian tergantung produk orang. Padahal kita punya potensi besar. Itu risikonya cukup tinggi bagi negara,” ucapnya.
Produk tepung dari olahan bahan baku singkong ini sebenarnya bukan baru-baru ini dikembangkan. Perjalanannya telah lebih dari dua dekade.
Mocaf tercatat pertama kali ditemukan oleh Prof. Ir. Achmad Subagio, M.Agr., Ph.D., Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, pada 2004.
Saat diwawancara pada Kamis (9/10/2025), ia mengungkapkan daya saing mocaf sebenarnya sangat menjanjikan, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, maupun potensi penggerak ekonomi lokal.
“Kalau dikatakan lebih sehat, ya karena gluten free. Beberapa orang diketahui tidak tahan terhadap gluten, sementara mocaf tidak mengandung itu,” ujar Subagio.
Selain bebas gluten, lanjutnya, mocaf memiliki kandungan serat tinggi yang baik untuk pencernaan.
Di luar aspek gizi, Subagio menegaskan, nilai utama mocaf justru terletak pada potensinya dalam menggerakkan ekonomi lokal.
“Ekonomi lokal itu bisa mulai dari petaninya, produsen mocaf, sampai rantai pasok di dalamnya yang panjang sekali. Kalau terigu impor, mocaf ini kan lokal, bisa menghidupkan banyak sektor,” katanya.
Baca juga: Rumah Mocaf Ajak Petani Lokal Manfaatkan Peluang Bisnis Sustainable
Apa yang bisa dilakukan?
Subagio pun menilai bahwa program MBG (Makan Bergizi Gratis) sebenarnya bisa menjadi sarana strategis untuk memperkuat ekonomi daerah melalui pangan lokal.
“Salah satu target MBG itu kan mengenerasi ekonomi lokal. Makanan disiapkan dengan bahan baku lokal, dikerjakan oleh orang lokal. Jadi MBG ini sebenarnya bisa jadi instrumen aktif untuk mengembangkan potensi daerah,” jelasnya.
Ia mencontohkan, konsep serupa telah diterapkan oleh World Food Programme (WFP) di sejumlah negara dengan prinsip “P4P Purchase for Progress”, yakni pembelian hasil petani lokal. Menurutnya, pendekatan ini bisa diadopsi di Indonesia, termasuk dengan menjadikan mocaf sebagai salah satu bahan MBG.
“SOP-nya nanti harus ditekankan supaya pangan lokal seperti mocaf bisa berkembang lewat MBG. Kalau SOP dipatuhi, kasus seperti keracunan dan sebagainya tidak akan terjadi,” tambahnya.
Meski potensinya besar, Subagio mengakui rantai pasok masih menjadi tantangan utama dalam pengembangan mocaf. Ia menilai harga jual bisa kompetitif jika rantai distribusi dipangkas dan produsen menjalin kontrak langsung dengan petani.
“Harusnya produsen langsung kontrak dengan petani, tanpa middleman. Kalau begitu, harga mocaf bisa setara dengan terigu di angka Rp 8.000 atau Rp 9.000 per kg. Artinya, makin kompetitif. Secara kesehatan, masuk. Dari segi harga, juga. Tinggal secara teknis saja, mau dijadikan mie, bakery, atau sebenarnya tidak ada masalah,” ujarnya.
Ia bilang, pola kerja sama antara produsen dan petani menjadi kunci keberlanjutan. Dalam beberapa kasus, produsen mocaf justru membeli singkong dengan harga lebih tinggi dari tengkulak, agar petani mendapat keuntungan yang adil dan pasokan bahan baku tetap terjaga.
“Pola seperti itu bagus, win-win solution. Produsen mocaf tidak ambil keuntungan besar, tapi mendapat bahan baku bagus secara kontinu,” ucapnya.
Dalam konteks tanggung jawab, Subagio menilai pemerintah tetap berperan besar, terutama untuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM) yang masih menjadi tulang punggung produksi mocaf.
“Kalau UKM (dengan produksi) di bawah 10.000 ton per bulan, pemerintah wajib turun tangan, terutama di sisi hulu seperti penyediaan benih, pupuk, dan sarana produksi. Pupuk sekarang sudah disubsidi, tapi benih belum. Saprodi (sarana produksi pertanian) juga belum tersentuh,” paparnya.
Ia membandingkan dengan komoditas lain seperti beras dan jagung yang mendapat bantuan sarana dan mesin. Sementara petani singkong, kata dia, masih harus menanggung biaya produksi sendiri.
“Kita ini seperti orang belum kaya tapi makan seperti orang kaya, karena makannya beras yang ongkos produksinya tinggi. Padahal banyak alternatif pangan lain yang bisa dikembangkan,” ujarnya.
Baca juga: Cerita Mocaf, Waktunya Singkong Naik Kelas
Lebih jauh, Subagio menilai bahwa penguatan pangan lokal juga perlu disertai perubahan pola pikir masyarakat. Program seperti MBG bisa menjadi alat untuk menumbuhkan kesadaran bahwa sumber pangan Indonesia sebenarnya sangat beragam.
“MBG bisa jadi instrumen untuk meningkatkan kesadaran kolektif bahwa makan itu bisa bervariasi. Tuhan sudah kasih kita banyak alternatif. Kita bisa makan dari pisang, sagu, singkong, ikan, sampai kacang-kacangan,” ujarnya.
Subagio pun mendorong penuh agar mocaf digunakan dalam program MBG sebagai upaya memperkuat kemandirian pangan nasional.
“Sangat setuju dan mendorong penuh. Asalkan persyaratan keamanan dan kehalalannya dipenuhi, mocaf sangat layak digunakan untuk kepentingan MBG,” tegasnya.
Liputan ini merupakan bagian dari Beasiswa "Journalist Fellowship and Mentorship Program for Sustainable Food System 2025" yang didukung oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bekerja sama dengan AJI Jakarta.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang