Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 30 Mei 2021

18 tahun sebagai akademisi (dosen), konsultan, pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & sustainability (keberlanjutan). Saat ini mengemban amanah sebagai Full-time Lecturer, Associate Professor & Head of Centre Sustainability and Leadership Centre di LSPR Institute of Communication & Business, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Dewan Pakar Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok (PPIT), GEKRAF & HIPMI Institute

"Transvergent Leadership": Pendekatan Baru Hadapi Dunia di Era "Polycrisis"

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/RAWPIXEL.COM
Ilustrasi pemimpin serbabisa.
Editor: Sandro Gatra

PERNAHKAH kita merasa hidup di masa ketika semuanya bergerak begitu cepat dan saling tumpang tindih teknologi melaju tanpa henti, cuaca tak menentu, ekonomi tersengal, politik gaduh, dan percakapan publik semakin bising?

Di era seperti ini, krisis jarang datang sendiri, guliran berita membawa kabar tentang perang, cuaca ekstrem, kelaparan, kelangkaan energi, inflasi, pandemi, dan beragam bencana lain yang seolah datang bersamaan tanpa jeda.

Pemimpin politik kerap menyebut situasi ini sebagai “a perfect storm”, badai sempurna dari krisis global.

Berbagai krisis yang kita hadapi hari ini tidak berdiri sendiri, mereka terjalin dan saling memperkuat satu sama lain.

Krisis energi dapat memicu inflasi, yang kemudian memperburuk kemiskinan dan kelaparan. Perang mempercepat kerusakan lingkungan dan menghambat distribusi pangan. Krisis iklim memperparah konflik sosial dan migrasi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satu ledakan risiko di satu bidang memantul ke bidang lain, menciptakan efek berantai yang memperbesar skala dan kompleksitas masalah.

Adanya interdependensi vital, jalinan kausal di mana satu krisis bukan hanya memperburuk, tetapi juga mengubah sifat krisis lain.

Sepanjang tahun 2025, Indonesia menghadapi rangkaian krisis yang saling terkait, realitas polycrisis yang menuntut cara berpikir dan memimpin yang benar-benar baru.

Bencana alam seperti banjir besar di Jakarta, kebakaran hutan yang menimbulkan asap lintas negara, hingga gempa di Papua dan Sulawesi menegaskan bahwa krisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari krisis sosial dan ekonomi.

Kenaikan harga beras, fluktuasi inflasi, dan tekanan energi akibat kenaikan harga BBM serta pemadaman listrik besar di Bali memperlihatkan rapuhnya sistem ketahanan pangan dan energi nasional.

Sementara itu, eksploitasi industri nikel, deforestasi masif untuk proyek pangan dan energi, polusi udara yang menyesakkan kota besar, serta pengelolaan limbah yang kian tak terkendali menunjukkan bahwa pembangunan yang tidak berlandaskan keberlanjutan justru memperdalam luka ekologis bangsa.

Fenomena ini bukan sekadar tumpukan masalah, melainkan interkoneksi krisis yang saling memperburuk di mana satu krisis memperbesar dampak krisis lainnya, membentuk pusaran kompleksitas sosial-ekologis yang tidak lagi bisa dijawab dengan kepemimpinan linear dan sektoral.

Masalah muncul beriringan, saling memantul, dan memperkuat satu sama lain seperti gelombang yang tak sempat reda.

Para analis global menyebut fenomena ini sebagai ‘polycrisis’, kondisi di mana berbagai krisis di bidang ekonomi, politik, sosial, lingkungan, dan teknologi saling terhubung dan memperbesar dampaknya.

Satu guncangan di sektor energi bisa menimbulkan efek domino pada pangan, kesehatan, hingga kepercayaan sosial.

Dunia menjadi seperti sistem saraf yang sensitif, sentuhan kecil di satu titik bisa menimbulkan nyeri di seluruh tubuh.

Setiap krisis berfungsi seperti simpul dalam jaringan global, ditarik satu, seluruh jaringan bergetar. Inilah inti dari cara berpikir polikrisis, pandangan bahwa setiap guncangan, sekecil apa pun, bisa mengubah keseluruhan ekosistem manusia, ekonomi, dan planet.

Awal mula istilah ‘Polycrisis’

Sebagai pijakan teoretis, istilah polikrisis pertama kali diperkenalkan Edgar Morin bersama Anne Brigitte Kern dalam Homeland Earth (1999).

Dunia tidak menghadapi satu masalah vital, melainkan kesaling-terhubungan berbagai masalah, antagonisme, krisis, dan proses tak terkendali yang bersama-sama membentuk krisis utama planet ini.

Gagasan Morin ini kemudian diperluas oleh Mark Swilling (2013, 2019) sebagai “satu set krisis sosio-ekonomi, ekologis, dan kultural-institusional yang saling bertingkat dan saling berinteraksi sehingga tak bisa direduksi pada satu penyebab”, terlihat dalam interaksi perubahan iklim, ketimpangan, dan risiko krisis keuangan.

Di ranah kebijakan, bahasa polikrisis dipakai Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker (2016–2018) untuk menggambarkan berkelindannya krisis migrasi, finansial, dan Brexit yang memicu telaah lebih jauh di Journal of European Public Policy.

Di filantropi global, jejaring seperti Omega Resilience Funders Network dan konferensi “Navigating the Polycrisis” (V. Kann Rasmussen Foundation, 2022) mengadopsinya untuk menandai percepatan interaksi puluhan stresor lingkungan, sosial, teknologi, dan ekonomi.

Adam Tooze (2021) kembali mempopulerkan istilah ini setelah pandemi Covid-19. Ia menekankan bahwa yang penting bukan sekadar banyaknya krisis yang terjadi bersamaan, tetapi bagaimana krisis-krisis itu saling memperkuat satu sama lain, hingga dampaknya jauh lebih besar daripada jika terjadi secara terpisah.

Pandangan ini sejalan dengan gagasan Morin tentang keterhubungan dan saling ketergantungan berbagai masalah di dunia (inter-solidarity of problems).

Cascade Institute (2022) menjelaskan bahwa polikrisis terjadi ketika berbagai krisis global saling terhubung dan memperburuk satu sama lain, hingga dampaknya jauh lebih besar dibanding jika berdiri sendiri.

Sejak itu, istilah ini mulai digunakan secara luas. Misalnya, The Polycrisis (Phenomenal World) menyoroti hubungan antara krisis iklim dan kesenjangan global.

Sementara Forum Ekonomi Dunia (Davos 2023) menjadikannya istilah utama dalam Global Risks Report 2023, yang menunjukkan bagaimana kekurangan pangan, air, dan sumber daya alam bisa saling memicu dan memperbesar risiko bagi dunia.

Warisan pemikiran Morin bukan hanya soal memberi nama pada banyak krisis yang terjadi bersamaan, tetapi tentang cara berpikir baru.

Ia mengajak kita melihat dunia sebagai satu kesatuan yang saling terhubung di mana satu masalah bisa memicu dan memperkuat masalah lain.

Pendekatan ‘transvergen’ membantu kita memahami bahwa tantangan global saat ini tidak bisa diselesaikan secara terpisah. Kita perlu cara memimpin dan membuat kebijakan yang mampu melihat keterkaitan antarsistem dan mencari solusi yang menyeluruh.

Kepemimpinan Transvergen ‘Transvergent Leadership’

Bagi Indonesia, polycrisis bukan hanya persoalan global yang jauh di sana. Kita mengalaminya dalam wujud yang sangat nyata, misal ketimpangan sosial yang belum usai, tekanan ekonomi digital, perubahan iklim yang makin terasa, serta polarisasi opini publik yang kerap memperuncing jarak antarwarga. Semua berlangsung bersamaan, dalam sistem yang saling terkait.

Di tengah tumpang tindih realitas itulah saya mulai merumuskan konsep ‘transvergent leadership’, pendekatan kepemimpinan yang bukan sekadar “mengubah” dari dalam sistem, tetapi menyeberang, menghubungkan, dan menjahit sistem-sistem yang berbeda agar tercipta arah baru yang lebih utuh dan manusiawi.

Kepemimpinan transvergen lahir dari kesadaran bahwa dunia tidak lagi bisa dipahami secara linear. Kepemimpinan transformasional, adaptif, atau sistemik memang telah membantu banyak organisasi beradaptasi, tetapi semuanya masih berpijak di satu sistem tertentu, organisasi, sektor, atau institusi. Padahal, hari ini, tantangan kepemimpinan melintasi semua itu.

Seorang pemimpin tak cukup hanya mahir memimpin tim, ia harus bisa menavigasi ruang yang penuh kontradiksi antara manusia dan mesin, antara data dan nurani, antara efisiensi ekonomi dan keberlanjutan ekologi.

Pemimpin perlu bisa menjembatani berbagai dunia itu, menjadi penghubung yang menyatukan, bukan sekadar pengubah. Di sinilah makna dari ‘transvergent leadership’ hadir.

Kata transvergent berasal dari dua akar, “trans” (melintas) dan “vergence” (arah pertemuan). Jadi, kepemimpinan transvergen adalah kepemimpinan yang melintas batas untuk menemukan arah baru di antara berbagai sistem yang tampak berlawanan.

Pemimpin transvergen tidak berhenti pada upaya memperbaiki apa yang sudah ada, melainkan berani menenun hal-hal yang semula terpisah agar menjadi satu kesatuan yang lebih bermakna.

Ia bekerja bukan hanya di dalam sistem, tapi di antara sistem antara bisnis dan komunitas, antara teknologi dan budaya, antara global dan lokal.

Gagasan ini berakar dari perkembangan teori kepemimpinan dalam konteks kompleksitas yang telah tumbuh sejak akhir abad ke-20.

Heifetz (1994) memperkenalkan Adaptive Leadership, yang menekankan kemampuan menavigasi perubahan tanpa kehilangan kompas moral.

Uhl-Bien (2007) kemudian mengembangkan Complex Adaptive Leadership sebagai sistem interaksi dinamis antara agen dan konteks.

Crosby dan Bryson (2010) menyoroti Integrative Leadership, yaitu kepemimpinan kolaboratif lintas sektor publik, privat, dan masyarakat sipil. Sementara Senge (1990) mengajarkan pentingnya systems thinking sebagai cara pandang menyeluruh dalam memahami organisasi.

Namun, model-model tersebut cenderung berfokus pada transformasi internal sistem (misalnya organisasi atau komunitas tertentu), bukan pada kemampuan pemimpin untuk melintas di antara sistem yang berbeda, misalnya, antara dunia manusia dan kecerdasan buatan, antara ekonomi dan ekologi, atau antara struktur sosial dan makna spiritual.

Dalam konteks polycrisis, keterpisahan ini menimbulkan “fragmentasi kepemimpinan,” di mana keputusan strategis sering gagal karena tidak mempertimbangkan interdependensi sistemik yang lebih luas.

Penelitian Meng dan Berger (2019) tentang kepemimpinan dalam komunikasi menunjukkan bahwa kepercayaan dan keterlibatan menjadi kunci agar kepemimpinan berjalan efektif.

Sementara Zohar dan Marshall (2004) lewat konsep kecerdasan spiritual menekankan pentingnya kesadaran nilai dan kebijaksanaan dalam bertindak.

Kedua penelitian ini sama-sama menunjukkan bahwa kepemimpinan yang baik tidak hanya soal strategi dan logika, tetapi juga tentang bagaimana pemimpin mampu menggabungkan akal, perasaan, dan makna dalam setiap keputusan.

Dari berbagai kajian sebelumnya, masih terlihat adanya celah besar dalam teori kepemimpinan modern. Belum ada model yang benar-benar mampu menyatukan dua hal penting sekaligus: kompleksitas sistem dan kedalaman makna kemanusiaan dan spiritualitas.

Inilah yang menjadi dasar lahirnya gagasan tentang ‘transvergent leadership’, pendekatan yang mencoba menjembatani berbagai sistem dan nilai agar bisa bekerja bersama secara utuh.

Pendekatan ini menjadi sangat relevan hari ini. Abad ke-21 bukan lagi zamannya organisasi yang berdiri sendiri, tetapi zaman ekosistem yang saling terhubung.

Tantangan besar seperti perubahan iklim, disinformasi, atau kesenjangan digital tidak bisa diselesaikan hanya lewat perintah dari atas atau kerja satu lembaga saja.

Semua itu membutuhkan kepemimpinan yang bisa melintas batas, menyatukan sektor publik, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil dalam satu jejaring kolaborasi yang bermakna.

Pemimpin masa depan bukan lagi sosok yang berdiri di puncak piramida, tetapi berada di tengah jaringan, menenun hubungan, menyatukan bahasa, dan menggerakkan semua pihak ke arah tujuan bersama.

Konsep Transvergent Leadership berdiri di atas lima pilar utama yang menjadi fondasi cara berpikir dan bertindak lintas sistem.

Pertama, ‘boundary intelligence’, yaitu kecerdasan untuk membaca dan melintasi batas baik batas disiplin, sektor, budaya, maupun nilai.

Pemimpin dengan kecerdasan ini tidak mudah terjebak pada ego bidangnya; ia fasih berbicara dengan akademisi, pelaku bisnis, birokrat, maupun aktivis tanpa kehilangan arah.

Kedua, Systemic Empathy, yaitu empati yang meluas dari individu ke sistem sosial. Pemimpin seperti ini memahami emosi kolektif: keresahan pekerja, aspirasi warga, dan bahkan “suara” alam. Empati menjadi alat navigasi kebijakan yang lebih bijak.

Ketiga, ‘integrative foresight’, kemampuan mengantisipasi masa depan dengan memadukan berbagai horizon ekonomi, sosial, teknologi, dan lingkungan.

Pemimpin transvergen tidak hanya memprediksi, tetapi menciptakan masa depan bersama berbagai pemangku kepentingan melalui kolaborasi lintas disiplin.

Keempat, ‘narrative connectivity’, yakni kecakapan merangkai narasi lintas identitas dan generasi agar semua pihak merasa menjadi bagian dari cerita yang sama. Di tengah dunia yang terfragmentasi, narasi adalah perekat.

Dan terakhir, ‘ethical adaptability’, kemampuan beradaptasi dengan cepat tanpa kehilangan nilai moral. Di tengah tekanan algoritma, data, dan target efisiensi, nilai menjadi jangkar agar keputusan tidak menabrak kemanusiaan.

Lima pilar ini bukan teori kaku, tetapi cara hidup baru bagi pemimpin masa depan. Di tangan mereka, organisasi bukan lagi struktur hierarkis yang kaku, melainkan ekosistem yang saling belajar.

Mereka mengelola paradoks, bukan dengan meniadakan salah satunya, melainkan dengan mengubahnya menjadi energi inovasi.

Inilah yang saya sebut sebagai leadership flow, arus kepemimpinan yang terus bergerak, menyesuaikan diri, dan memperbarui makna.

Transvergent Leadership juga sangat penting bagi Indonesia. Dalam beberapa tahun ke depan, kita akan menghadapi banyak tantangan, mulai dari tekanan ekonomi global, transisi menuju energi bersih, perkembangan kecerdasan buatan, hingga tuntutan pembangunan berkelanjutan.

Tantangan seperti ini tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja, bukan hanya tugas pemerintah, kampus, atau perusahaan.

Kita membutuhkan kepemimpinan lintas sistem, yang bisa menjembatani perbedaan kepentingan, bahasa, dan cara kerja.

Jenis kepemimpinan yang tidak hanya mengandalkan logika dan efisiensi, tetapi juga mengutamakan hubungan, empati, dan nilai etika dalam setiap keputusan.

Dalam praktiknya, kepemimpinan transvergen bisa diterapkan di tiga arena utama, yaitu organisasi, pendidikan, dan kebijakan publik.

Dalam organisasi, misalnya, pola kepemimpinan tradisional yang berbasis “rantai komando” harus berubah menjadi “jaringan kepemimpinan”.

Keputusan tidak lagi diambil sepihak di puncak, melainkan hasil dari dialog lintas fungsi antara tim teknologi, keuangan, keberlanjutan, dan komunikasi.

Seorang pemimpin di perusahaan logistik, misalnya, harus mampu menyatukan kepentingan efisiensi rute, pengurangan emisi karbon, dan kepuasan pelanggan dalam satu keputusan strategis yang berimbang.

Ia harus bisa berbicara dengan data scientist dan aktivis lingkungan dengan bahasa yang sama: bahasa kolaborasi.

Dalam dunia pendidikan, pendekatan ini bahkan lebih relevan. Kita tidak bisa lagi mendidik calon pemimpin dengan model lama, hafal teori, kuasai public speaking, selesai.

Kepemimpinan masa depan menuntut kemampuan berpikir lintas disiplin ilmu dan lintas nilai. Mahasiswa/i harus belajar tidak hanya dari buku, tetapi dari sistem nyata yang kompleks dengan membuka diri dan bekerja sama dengan pelaku UMKM, startup, pemerintah dan komunitas.

Di perguruan tinggi, mahasiswa belajar menjadi “bridger” penghubung antarrealitas, bukan sekadar problem solver.

Sementara itu, di level kebijakan publik, kepemimpinan transvergen dapat menjadi pendekatan baru bagi pemerintah dan lembaga riset dalam merancang solusi sistemik.

Misalnya, dalam isu ketahanan pangan, pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan akademisi, startup agritech, koperasi petani, dan media lokal.

Mereka duduk bersama, saling bertukar data, menguji kebijakan dalam policy lab, dan memastikan keputusan yang diambil berdasar pada realitas lapangan sekaligus nilai kemanusiaan.

Pemimpin di sini bukan komando tunggal, tetapi fasilitator dialog yang memastikan setiap pihak merasa memiliki peran dan tanggung jawab.

Kepemimpinan transvergen juga menuntut kompetensi yang menyeluruh, kognitif, afektif, sosial, digital, dan spiritual.

Kognitif berarti mampu membaca kompleksitas, afektif berarti memiliki kepekaan terhadap dampak keputusan, sosial berarti mampu merawat kolaborasi lintas ideologi, digital berarti memahami etika teknologi dan spiritual berarti menjaga kompas nilai agar inovasi tetap berpihak pada kemanusiaan.

Di era algoritma, nurani menjadi core technology yang paling penting. Data bisa membantu kita berpikir cepat, tetapi nurani membantu kita berpikir benar.

Isu etika menjadi semakin penting di tengah integrasi manusia dan mesin. Kita melihat banyak kasus di mana keputusan berbasis AI membawa bias atau diskriminasi karena sistem belajar dari data masa lalu yang tidak netral.

Pemimpin transvergen tidak menolak teknologi, tetapi memastikan teknologi tetap tunduk pada nilai kemanusiaan.

Mereka membangun mekanisme audit, transparansi, dan akuntabilitas publik. Prinsipnya sederhana: efisiensi boleh dikejar, tapi keadilan tidak boleh ditinggalkan.

Mungkin sebagian orang mengira pemimpin transvergen terlalu teoretis. Padahal, ia sangat bisa dibumikan, bahkan di level UMKM.

Contohnya, seorang pelaku usaha kuliner lokal yang ingin naik kelas. Ia tidak bisa hanya fokus pada resep dan rasa. Ia perlu bekerja sama dengan food scientist untuk menjaga kualitas produk, menggandeng influencer untuk membangun narasi kepercayaan, berkolaborasi dengan pemerintah untuk legalitas usaha, dan bermitra dengan platform digital untuk pemasaran.

Semua simpul itu harus dijahit menjadi rantai nilai yang adil, petani tidak dirugikan, pelanggan lebih cerdas (terdidik), dan lingkungan tetap terjaga. Itulah praktik nyata kepemimpinan lintas batas.

Di dunia pariwisata, misalnya, komunitas wisata hijau bisa mempraktikkan prinsip yang sama. Warga lokal, pemerintah daerah, peneliti konservasi, dan startup digital duduk bersama untuk menentukan kapasitas kunjungan yang ideal agar alam tidak rusak.

Keputusan dibuat bukan dari ruang tertutup, tetapi dari ruang dialog. Begitu pula di ruang digital kolaborasi antara jurnalis warga, kreator konten, dan fact-checker menjadi wujud nyata 'transvergent leadership' dalam menghadapi disinformasi.

Mereka membangun narasi baru di mana kebenaran menjadi ekosistem bersama, bukan monopoli siapa pun.

Kepemimpinan transvergen juga mengajarkan bahwa setiap paradoks adalah peluang untuk berinovasi.

Kita ingin tumbuh cepat, tapi juga ingin lestari, ingin efisien tapi juga adil; ingin terdigitalisasi tapi tetap manusiawi.

Semua itu bukan pertentangan, melainkan keseimbangan yang bisa diolah menjadi kreativitas baru. Transvergent Leadership membantu pemimpin mengelola paradoks itu dengan bijak bukan memilih salah satu, tapi mengarahkan energi keduanya agar saling memperkuat.

Kuncinya ada pada perubahan bahasa. Dari “saya” ke “kita.” Dari “target saya” ke “janji bersama.” Dari “hasil departemen saya” ke “dampak ekosistem kita.”

Bahasa bukan sekadar kata, melainkan arsitektur tanggung jawab. Saat narasi berubah, perilaku pun ikut bergeser.

Pemimpin transvergen memahami bahwa komunikasi bukan sekadar penyampaian pesan, tetapi pembangunan makna bersama. Itulah mengapa mereka menggunakan bahasa yang menyatukan, bukan memisahkan.

Untuk mulai membangun praktik kepemimpinan transvergen, ada tiga langkah sederhana.

Pertama, kenali dan petakan batas-batas yang sering menghambat kerja sama. Misalnya antara pusat dan daerah, antara aturan dan inovasi, atau antara penggunaan data dan privasi.

Setelah itu, coba lakukan eksperimen kecil untuk mencari cara menjembatani batas-batas tersebut.

Kedua, buat forum lintas bidang yang mempertemukan berbagai sudut pandang, mulai dari ahli teknologi, sosiolog, ekonom, budayawan, hingga aktivis.

Dari pertemuan seperti ini, akan muncul empati yang lebih luas dan pemahaman bersama terhadap masalah yang kompleks.

Ketiga, susun kompas etika agar organisasi tetap bergerak cepat tanpa kehilangan arah. Lakukan refleksi nilai secara rutin, ukur dampak sosialnya, dan pastikan setiap langkah membawa manfaat bagi banyak pihak.

Indonesia punya peluang besar untuk menjadi pelopor pendekatan ini. Kita lahir sebagai bangsa yang plural dan berlapis budaya.

Gotong royong, musyawarah, dan keseimbangan adalah DNA kepemimpinan kita sejak lama. Transvergent Leadership hanya memberi kerangka baru bagi warisan itu agar bisa hidup di era digital.

Dengan menggabungkan nilai-nilai lokal dan perspektif global, kita bisa membentuk kepemimpinan yang glokal: berpikir global, bertindak lokal.

Akhirnya, Transvergent Leadership bukan sekadar teori baru, tetapi ajakan moral. Kita tidak bisa menghentikan badai polycrisis, tetapi kita bisa memperkuat layar dan menenun tali agar perahu ini tetap bergerak bersama.

Di tengah dunia yang kian terfragmentasi, kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang paling keras bersuara, melainkan siapa yang paling tekun menyambungkan yang tercerai.

Di negeri yang lahir dari ribuan pulau dan beragam budaya ini, mungkin sudah saatnya kita menyadari: kita ditakdirkan bukan hanya sebagai pengelola sistem, tapi sebagai perajut makna.

Mari mulai dari diri sendiri memimpin dengan empati, berpikir lintas batas, dan bertindak untuk kebaikan bersama.

Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan tentang kekuasaan, melainkan tentang keberanian untuk menghubungkan, memahami, dan memanusiakan kembali dunia yang sedang bergejolak.

*Artikel disusun bersama Jhody Arya Prabawa dan Nina Nugroho

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi