KOMPAS.com - Sebuah unggahan video di Instagram menyebutkan bahwa rumah bergaya kolonial sebenarnya bukanlah arsitektur khas Belanda.
"Tahu enggak rumah belanda yang ada di Indonesia itu sebenarnya bukan desain Belanda asli?" ungkap keterangan video yang diunggah akun @t********e, Kamis (4/9/2025).
Menurut unggahan, orang Belanda awalnya membawa rumah bergaya Eropa ke Indonesia.
Namun, arsitektur rumah tersebut tidak cocok dengan cuaca tropis sehingga dibuatlah Indische Woonhuis, yaitu gabungan desain Eropa dengan adaptasi tropis.
Lantas, benarkah rumah peninggalan kolonial sebenarnya bukan arsitektur asli Belanda?
Baca juga: Belanda Minta Warga Jangan Tanya AI Siapa yang Harus Dipilih Saat Pemilu, Memang Apa Jawabannya?
Rumah kolonial tetap desain khas Belanda
Arsitek Ariko Andikabina meluruskan bahwa terminologi "rumah kolonial di Indonesia bukan desain Belanda asli" dapat memberikan kesan yang tidak benar.
Dia menjelaskan, Belanda membangun rumah dengan arsitektur khas negaranya saat datang ke Indonesia.
"Pada masa awal Belanda menduduki Batavia, mereka mengadopsi pengetahuan yang mereka punya di negeri asalnya," terang Ariko saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (25/10/2025).
Hal ini, kata dia, meliputi bentuk rumah, teknologi yang digunakan untuk membangun, bahan bangunan, hingga sistem perkotaannya.
"Bangunan pada periode awal Batavia, bentuknya banyak menyerupai bentuk bangunan di Belanda," kata dia.
Dia menambahkan, para arsitek juga menggunakan teknik yang sudah umum digunakan di Belanda ketika itu.
"Mereka juga menggunakan teknik pasangan basah, yang menggunakan batu bata, pasir, dan kapur," tuturnya.
Ia mengatakan, pada saat itu belum ada bahan semen sebagai campuran bangunan.
Dia pun menegaskan bahwa klaim "rumah kolonial bukan asli Belanda" dapat menyesatkan.
"Sebenarnya awalnya mereka meniru bentuk dan teknik dari Belanda, kemudian disesuaikan bentuk dan tekniknya sesuai dengan kondisi geografisnya," ungkap dia.
Baca juga: Mengapa Bandung, Jogja, Semarang Lebih Kaya Bangunan Kuno Belanda Dibanding Kota Lain?
Beradaptasi dengan iklim tropis
Lebih lanjut, Ariko menjelaskan, bahwa bangunan dengan arsitektur yang diadopsi mentah-mentah dari Belanda itu tidak sesuai dengan iklim tropis di Indonesia.
"Sehingga mereka mulai membuat adaptasi bangunan dengan iklim kita," ujar Ariko.
Adaptasi bangunan tersebut tampak pada atap tambahan yang dibuat terpisah dari atap utama, beranda rumah, dan beberapa bagian rumah yang lainnya.
"Tritisan menjadi lebih lebar, beranda yang lebih besar, dan sebagainya. Tetapi masih menggunakan teknik yang serupa," jelas dia.
"Bahkan batu bata saat itu tidak diproduksi secara lokal, melainkan diimpor dari Belanda," lanjutnya.
Ariko menambahkan, hal ini juga berlaku dalam hal tata kota, termasuk kavling rumah atau tanah gaya kolonial umumnya memanjang ke dalam.
"Kavling rumah atau tanah memiliki kecenderungan memanjang ke belakang karena pajak tanah saat itu bukan berdasarkan luas, melainkan lebar tanah," tutur dia.
"Di sisi transportasi pun demikian, mereka membuat kanal-kanal di hilir aliran sungai Ciliwung karena mengadopsi sistem kota dan transportasi yang mengandalkan transportasi air," sambung dia.
Namun, sifat aliran sungai di Belanda dan Indonesia ternyata berbeda, termasuk Sungai Ciliwung yang membawa material sedimen yang cukup banyak.
"Sehingga sering terjadi pendangkalan dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya," lanjutnya.
"Sistem kanal ini mulai ditinggalkan. Tetapi sisanya masih terlihat di area Kalibesar, Tanah Sereal, dan Kota Tua," pungkas dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang