KOMPAS.com - Kepolisian Federal Australia (AFP) memperingatkan bahwa gadis-gadis muda kini menjadi target kelompok pria yang memburu mereka secara daring.
Para pelaku menggunakan jaringan online untuk memaksa korban melakukan tindakan kekerasan terhadap diri sendiri, saudara kandung, atau hewan peliharaan mereka.
Dilansir dari ABC, Selasa (28/10/2025), Komisioner AFP, Krissy Barrett akan mengumumkan pembentukan sebuah satuan tugas (satgas).
Satgas ini dibentuk untuk menindak jaringan kriminal daring dan menekan bahaya dunia maya yang kian berdampak pada kehidupan nyata.
Baca juga: Karyawan Bank di Australia Menang Gugatan, Bisa WFH Tanpa Batas Waktu
Modus yang dilakukan pelaku
Dikutip dari 9news, Rabu (29/10/2025), AFP telah mengidentifikasi sedikitnya 59 individu sebagai bagian dari jaringan ini dan menangkap tiga pelaku berusia antara 17 tahun hingga 20 tahun.
Menurut Barrett, kelompok ini bertindak tanpa belas kasihan dan menjadikan kekerasan sebagai ajang permainan.
“Mereka adalah influencer kejahatan yang dimotivasi oleh anarki dan keinginan untuk menyakiti orang lain,” kata Barrett dalam pidato perdananya di National Press Club.
Ia menambahkan, sebagian besar korban adalah gadis pra-remaja dan remaja. Para pelaku, berasal dari latar negara Barat dan berbahasa Inggris.
Mereka terlibat dalam jenis gamifikasi yang menyimpang, di mana korban diperlakukan seperti karakter dalam permainan daring.
Kelompok tersebut memiliki budaya serupa komunitas gim multipemain.
Mereka memburu, menguntit, serta memancing korban dari berbagai platform media sosial dan forum daring.
Baca juga: Puing Roket Masih Membara Ditemukan di Pedalaman Australia, Diduga Milik China
Korban harus jalani "ujian masuk"
Untuk bisa diterima dalam jaringan itu, pelaku harus melewati “ujian masuk”.
Salah satunya adalah mengunggah video berisi tindakan menyakiti diri sendiri atau konten kekerasan ekstrem lainnya. Di sinilah banyak gadis rentan menjadi korban.
Dalam sistem gamifikasi yang menyimpang ini, pelaku memperoleh “status” lebih tinggi setiap kali mereka membagikan konten kekerasan yang lebih brutal.
Beberapa di antaranya bahkan memperdagangkan korban satu sama lain, seperti menukar karakter dalam gim daring.
Setelah diperdagangkan, korban akan berada di bawah kendali pelaku baru yang melanjutkan eksploitasi tersebut.
Barrett menyebut, para pelaku termotivasi oleh hiburan pribadi dan keinginan menjadi populer secara daring.
Jaringan kriminal ini tidak memiliki struktur hierarki atau ideologi tunggal.
Namun, mereka sering kali tertarik pada ekstremisme kekerasan, nihilisme, sadisme, serta ideologi seperti Nazisme dan Satanisme.
Baca juga: Australia Protes China Usai Jet Tempur Lepas Suar di Laut China Selatan
Alasan kelompok kriminal incar gadis muda
Menurut Barrett, para pelaku tidak termotivasi oleh uang atau hasrat seksual, melainkan oleh dorongan untuk mencari hiburan dan popularitas di dunia maya.
Mereka kerap kali tidak memahami sepenuhnya konsekuensi serius dari tindakan mereka.
Barrett menyebut perilaku ini sebagai masalah global yang mendesak.
Ia mengatakan bahwa kelompok penegakan hukum internasional Five Eyes kini bekerja sama untuk menargetkan jaringan pelaku dan memperkuat upaya bersama.
“Sebagai prioritas utama, AFP akan membentuk Satgas Pompilid untuk menggunakan seluruh kewenangan kami menindak pelaku," kata Barrett.
"Kami akan melindungi korban, menangkap pelaku, membongkar fasilitator, dan menghapus anonimitas yang melindungi mereka dari hukum,” tegasnya.
Barrett menyerukan para orang tua dan wali agar lebih waspada terhadap tren ini.
Baca juga: Daftar Mi Instan Terbaik di Australia Tahun 2025, Indomie Nomor 1
Ia mendorong mereka untuk rutin berbicara dengan anak-anak tentang aktivitas daring, mengajarkan berpikir kritis, dan menciptakan ruang aman bagi mereka untuk melapor tanpa takut dihukum.
“Perhatikan tanda-tanda bahaya seperti perilaku menyakiti diri sendiri, perubahan pola makan dan tidur, penarikan diri dari keluarga atau teman, hingga penggunaan bahasa ekstrem,” ucap Barrett.
“Anak-anak perlu tahu bahwa mereka tidak sendiri dan selalu bisa mencari bantuan,” lanjut dia.
Selain penegakan hukum, AFP juga berkolaborasi dengan perusahaan teknologi untuk mengembangkan alat berbasis kecerdasan buatan (AI).
Alat ini dirancang untuk mendeteksi simbol, emoji, dan bahasa gaul yang digunakan sebagai kode oleh para pelaku dalam percakapan terenkripsi.
Upaya ini dilakukan seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap eksploitasi anak di dunia maya, yang kini kian sulit dilacak akibat penggunaan teknologi enkripsi dan platform tertutup.
Baca juga: Pesawat Piper Cherokee Lance Jatuh dan Terbakar di Australia, 3 Orang Tewas
Sumber:
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang