JAKARTA, KOMPAS.com- Penyanyi Dewi Yull tanggapi banyaknya perceraian yang terjadi karena hubungan tak harmonis antara mertua dan menantu.
Terkenal memiliki hubungan yang kompak dengan menantunya, Dewi Yull memberikan pandangannya tentang konflik antara mertua dan menantu.
"Aku melihat ini complicated banget, karena beda latar belakang, beda budaya, ada yang masih konvensional," ucap Dewi Yull dikutip dari YouTube Nikita Willy Official.
"Orang berpikir bahwa namanya mertua adalah ratu yang harus didengar. Orang udah punya pengalaman banyak, 'saya sudah mengerti hidup,' enggak gitu kali," tuturnya.
Baca juga: Dapat Suvenir dari Pernikahan Pangeran Abdul Mateen, Dewi Yull: Lapis Emas
Lebih lanjut Dewi Yull mengatakan bahwa banyak orangtua, terutama ibu merasa memiliki hak atas hidup putra mereka.
Sehingga mereka merasa kehadiran menantu adalah saingan dalam hidup mereka.
"Kenapa terjadi konflik mertua dan menantu? Kebanyakan mertua merasa anaknya diambil. Anaknya belum memberikan pengorbanan, belum berbakti," ungkap Dewi Yull.
"Padahal menurutku, anak juga enggak minta dilahirkan kan? Mereka enggak bisa milih mau dilahirkan di keluarga seperti apa, dari orangtua seperti apa, tapi tiba-tiba, terutama ibu, merasa 'kamu lahir dari saya, saya mau mati ngelahirin kamu.' Jadi kayak minta timbal balik," lanjutnya.
Baca juga: Tak Pernah Dimarahi, Menantu Dewi Yull: Aku Bersyukur Banget
Banyak ibu lupa bahwa kehadiran seorang anak itu adalah titipan dari Tuhan. Dan tidak seharusnya merasa memiliki itu sepenuhnya.
"Lupa kalau tidak semua orang dititipi. Ini kan masalah titipan, pemahaman terhadap sebuah titipan dari Yang Maha Kuasa," kata Dewi Yull.
"Kita sebagai orangtua, diberi keturunan, (merasa) seperti itu hak kita, itu hak kita dong, itu anak kita. Lupa, banyak orang enggak dikasih kesempatan, terus yang enggak punya bagaimana? Apa yang mau mereka hak-i?" imbuhnya.
Pemikiran bahwa anak adalah hak mereka itu yang kemudian membuat orangtua menjadikan anak sebagai obyek.
Orangtua merasa anak harus membalas semua yang sudah mereka korbankan, berikan dalam proses menuju kesuksesan.
"Begitu anak menikah, sukses karrier, orangtua bilang 'itu hak saya, enak aja udah disekolahin, udah pengorbanan luar biasa, tiba-tiba kerja, yang nikmatin istri kamu,'" ujar Dewi Yull.
"Lah, tugas kita membesarkan selesai, doanya sama Allah, semoga anak kita jadi anak bakti, soleh, solehah, udah," jelasnya.
Menurutnya, tak bisa orangtua menuntut anak berbakti atau membalas pengorbanan mereka.
Tapi tugas orangtua adalah mendoakan agar anak memiliki kesadaran itu sendiri untuk berbakti pada orangtua.
"Kalau dia inget, kita alhamdulillah, berarti doa kita didengar. Kalau mereka abai, berarti takdir kita, apa yang salah?" ucap Dewi Yull.
"Karena kan enggak semua orangtua, ada yang enggak sempurna, tapi merasa paling sempurna, kalau sudah bicara soal anak, merasa paling berjasa, paling berkorban. Enggak bisa dari point of view kita, tapi si anaknya," imbuhnya.
Karena itu, untuk bisa memiliki hubungan harmonis dengan menantu, mertua harus bisa meredam ego dan menerima hadirnya menantu seperti kehadiran teman baru.
"Anggap aja menantu itu teman baru, sahabat baru. Kita kalau kepada teman baru, kan akan respect, enggak susah kok menghargai seseorang. Enggak bisa 'kamu hargai saya ya, saya lebih tua,' enggak bisa, sekarang zaman sudah berubah," tutur Dewi.
"Tapi enggak semudah itu, balik lagi, ego. Banyak orangtua merasa banyak berkorban," sambungnya.