Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tumbuh bersama kekuatan mimpi perempuan Indonesia

Mengenal Inner Child, Luka Batin Masa Kecil yang Bisa Terbawa sampai Dewasa

Lihat Foto
Penulis: Ericha Fernanda
|
Editor: Arintya

Parapuan.co – Kawan Puan, pernahkah kamu mendengar istilah inner child?

Secara psikologi, inner child merupakan bagian dari diri manusia yang tidak ikut tumbuh dewasa dan tetap menjadi sisi anak-anak, berapa pun usianya.

Bagian ini akan selalu ada dalam diri manusia dan menetap dalam jiwa. Jika ada pemicunya, inner child kembali hadir dan menyebabkan suatu gejala.

Inner child menjadi bagian erat dalam diri baik ingatan dan emosi yang pernah kita alami saat masih kecil, baik itu pengalaman bahagia atau buruk.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Video Terkini

Psikolog klinis Reynitta Poerwito Bach. of Psych., M. Psi., menjelaskan, inner child adalah bagian dari diri manusia yang tetap menjadi anak-anak secara emosional dan psikologi.

"Jika kebutuhan inner child itu tidak terpenuhi maka akan memengaruhi bagaimana kita melihat dunia dan diri sendiri," kata Reynitta kepada PARAPUAN, Kamis (30/9/2021).

Baca Juga: Sering Dialami di Usia 40an, Ini Cara Mengatasi Midlife Ciris

Reynitta menyebutkan bahwa inner child yang tidak terpenuhi akan menjadi pengalaman buruk yang berpotensi menimbulkan trauma hingga dewasa.

Trauma tersebut bisa muncul kapan saja saat dewasa, dan ada gejala yang bisa diidentifikasi karena akan memengaruhi fungsi tubuh itu sendiri.

Tanda umum inner child

"Tanda-tanda trauma masa kecil itu ada hubungannya dengan bagaimana kita berfungsi sebagai orang dewasa," tambahnya.

Reynitta menjelaskan ada 3 tanda umum saat trauma masa kecil hadir kembali di kehidupan kita, antara lain:

1. Emosi

Luka batin masa lalu bisa dirasakan kembali saat dewasa dengan gejala tiba-tiba emosional, seperti menangis atau marah karena alasan tidak jelas.

"Saat trauma dirasakan, misalnya tiba-tiba suka nangis atau sulit sekali menahan emosi dan marah karena hal-hal yang bikin frustrasiu," ujar Reynitta.

2. Perilaku

Saat inner child hadir kembali dengan ingatan menyakitkan, seseorang bisa tiba-tiba malas melakukan aktivitas dan merasa tidak berenergi.

"Dari segi behavior-nya yaitu rasa males, capek, dan tidak punya tenaga," kata Reynitta.

3. Kognitif (pola pikir)

Dari segi pola pikir, saat luka batin teringat lagi, maka akan memengaruhi konsentrasi dan fokus seseseorang.

Sering kali gejalanya merasa bahwa diri tidak berguna, berpikiran negatif, bahkan putus asa.

"Kalau dari kognitif atau pola pikir, jika ada trauma itu gak bisa konsentrasi atau pikirannya jelek melulu, kayaknya aku gagal atau tidak berguna, dan putus asa," tambahnya.

Baca Juga: Bagaimana Cara Memulihkan Inner Child Terluka? Ini Saran Psikolog

Penyebab inner child

Reynitta menyebut, jika inner child itu adalah pengalaman buruk. Ada tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu kekerasan seksual, fisik, dan emosional.

Akan tetapi, ada penyebab lain yang tidak selalu agresif, tidak disadari, dan biasanya dianggap suatu nasihat baik bagi orang-orang.

"Biasanya orang-orang menginterpretasikan kekerasan dengan sesuatu yang agresif, tapi trauma masa kecil itu tidak harus selalu yang agresif," ujar Reynitta.

Reynitta mengingatkan, setiap anak pasti memiliki sisi jika dirinya tidak ingin mengecewakan orang tuanya.

Jika orang tuanya mengatakan seperti ini, "Ingat ya, kamu itu anak pertama. Jadi, adik-adikmu itu bergantung sama kamu. Kalau kamunya gagal, ya adik-adik kamu bisa mengikutimu. Kamu itu harus jadi contoh."

Menurut Reynitta, nasihat tersebut bisa terkesan baik dan mungkin sering dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Padahal, sebenarnya ini adalah beban.

"Beban-beban yang disampaikan dari orang tua kita walaupun logikanya benar atau maksudnya baik," kata Reynitta.

"Tapi dengan karakter anak tertentu, itu bisa menjadi beban yang membuat mereka tumbuh jadi punya beban psikologis," tambahnya.

Baca Juga: Inner Child yang Terluka Pengaruhi Hubungan dengan Pasangan, Ini 3 Tandanya

Akibatnya, anak menjadi khawatir, takut salah, ambisius, dan tidak bisa menikmati hidup karena beban agar tidak mengecewakan orang tua.

Selain itu, pengalaman yang menjadi trauma biasanya memiliki intensitas tinggi atau dilakukan berulang-ulang.

"Kalau trauma sudah jelas intensitasnya tinggi, namun untuk kita lihat adanya luka inner child tidak harus sesuatu yang benar-benar masif atau intens banget," kata Reynitta. (*)


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Komentar
Tulis komentar Anda...
Lihat Semua
Jelajahi