KOMPAS.com - Pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa dipisahkan dari peristiwa jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin pada 1948.
Saat itu, Amir Syarifuddin menandatangani Perjanjian Renville yang ternyata hasil perundingannya sangat merugikan Indonesia.
Dalam buku Lubang-Lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990) karya Maksum, berikut latar belakang pemberontakan PKI di Madiun:
Perjanjian Renville
Salah satu hal paling utama terjadinya pemberontakan di Madiun karena Perjanjian Renville. Di mana dalam perjanjian tersebut Indonesia sangat dirugikan.
Belanda dianggap menjadi pihak yang paling diuntungkan, dan pihak Kabinet Amir menjadi jatuh. Banyak sekali rakyat dan pemerintah yang menyalahkan Amir karena pada saat itu dia yang menjadi perwakilan Indonesia.
Baca juga: Perjanjian Renville: Latar Belakang, Isi, dan Kerugian bagi Indonesia
Dengan kemunduran Amir, Presiden Sukarno menyuruh Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk kembali menyusun kabinet baru. Saat itu Kabinet Hatta tersusun tanpa keikutsertaan golongan sosialis maupun golongan kiri.
Pembentukan FDR
Saat itu Amir turun dari kabinetnya dan diganti oleh Kabinet Hatta. Merasa kecewa, Amir dan kabinetnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948.
Saat itu, Amir menjadi bagian dari partai oposisi di kabinet susunan Hatta. FDR merupakan golongan yang menyatukan komunis dan golongan sosialis kiri.
Partai Komunis Indonesia (PKI) berasal dari satu kekuatan Front Demokrasi Rakyat. PKI adalah partai yang memperjuangkan visi dan misinya untuk mendirikan negara sosialistis di Indonesia sesuai dengan apa yang tertera dalam anggaran dasar partai.
Pembentukan FDR tidak hanya terdiri dari sekelompok masyarakat yang tergabung, melainkan juga melibakan partai lainnya, seperti:
- Partai Sosialis Indonesia
- Partai Komunis Indonesia
- Pemudia Sosialis Indonesia
- Partai Buruh Indonesia
- Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia
Baca juga: Muso, Pimpinan Pemberontakan PKI di Madiun
Beberapa partai yang tergabung dalam FDR memperkuat aksi yang dilakukan oleh Amir Syarifuddin dan kelompoknya untuk merebut kekuasaan kabinet pada sistem pemerintahan yang sedang berjalan pada waktu itu.
Lihat Foto
Yanto Eko Cahyono, warga Kabupaten Bantul, Yogyakarta menunjuk nama kakeknya, Insp Pol Suparbak yang terukir di Monumen Kresek (Monumen kekejaman pembantaian PKI) yang berada di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa (0/10/2019). Yanto bersama istrinya mencari keberadaan makam kakeknya, Insp Pol Suparbak yang menjadi korban pembantaian PKI tahun 1948 di Madiun.
Muncul doktrin baru
Muso dan Amir mendeklarasikan pimpinan dibawah mereka. Muso dan Amir menggoyahkan kepercayaan masyarakat dengan menghasut dan membuat semua golongan menjadi bermusuhan dan mencurigai satu sama lain.
Menolak Rasionalisasi Kabinet Hatta
Kabinet Hatta melakukan rasionalisasi dan reorganisasi dalam upaya peperangan yang berisi:
Baca juga: Pemberontakan PETA di Blitar
- Pembubaran dari pemegang pimpinan TNI beserta gabungan angkatan perang.
- Staf angkatan umum perang dan wakilnya diangkat untuk sementara waktu
- Panglima angkatan perang mobil ditetapkan oleh presiden untuk diberikan kepada Jenderal Sudirman
- Staf markas besar pertempuran juga dilakukan pengangkatan sementara
Keputusan tersebut yang membuat Muso marah dan menolak rasionalisasi tersebut. PKI saat itu didukung oleh dua kader politik besar, yaitu Masyumi dan PNI.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.