KOMPAS.com – Thomas Stamford Raffles, selaku gubernur jenderal saat itu, menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia. Namun, dalam penerapannya sistem ini mengalami kegagalan.
Inggris menguasai Indonesia pada 1811. Tepatnya setelah melakukan penyerangan lewat jalur darat dan laut terhadap wilayah kekuasaan Belanda di Pulau Jawa.
Keberhasilan Inggris dalam melakukan serangan tersebut membuat Belanda menyerah tanpa syarat dan kemudian menandatangani Perjanjian Tuntang pada 11 September 1811.
Secara garis besar, isi Perjanjian Tuntang memaksa Belanda untuk menyerahkan Pulau Jawa, Madura serta seluruh pangkalan Belanda di luar Pulau Jawa menjadi milik Inggris.
Mengutip dari Encyclopaedia Britannica, Raffles menggunakan prinsip administrasi Inggris dan prinsip ekonomi liberal, saat ia menjabat sebagai gubernur jenderal.
Baca juga: Cultuurstelsel, Sistem Tanam Paksa yang Sengsarakan Rakyat Pribumi
Selain itu, Raffles juga menghentikan penanaman wajib yang pernah diterapkan Belanda dan turut memperluas produksi pertanian Jawa. Ia meyakini jika hal tersebut bisa meningkatkan pendapatan serta menjadikan Pulau Jawa sebagai pasar barang Inggris.
Dilansir dari situs Universitas Negeri Yogyakarta, dijelaskan jika ada empat kebijakan penting yang dibuat Thomas Stamford Raffles, yakni:
- Raffles membagi daerah Pulau Jawa menjadi 16 wilayah keresidenan, agar mempermudah pengaturan dan pengawasan.
- Raffles menghapus sistem kerja rodi.
- Raffles menghapus seluruh kebijakan yang sebelumnya telah dibuat oleh Herman Willem Daendels.
- Raffles membuat sistem sewa tanah atau landelijk stelsel.
Lihat Foto
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Jawa antara 1817-1819 yang dicatat oleh P.H. van der Kemp
Sistem sewa tanah yang gagal
Raffles menerapkan landelijk stelsel atau sistem sewa tanah untuk menggantikan sistem tanam paksa yang diterapkan oleh VOC.
Dalam jurnal yang berjudul Kelas Sosial dalam Sistem Landeliijk Stelsel Masa Raffles (1811-1816) (2018) karangan Aah Syafaah, disebutkan jika sistem sewa tanah tersebut dilakukan dengan menetapkan pajak tanah kepada petani, sehingga mereka memiliki kebebasan untuk menentukan jenis tanaman yang diinginkan.
Seorang penyewa atau ryot dibebaskan untuk memilih jenis tanaman apa yang akan ditanam selama masa jangka waktu sewa tanah diberlakukan. Penyewa membayar kepada tuan tanah atau zemindar sebagai bentuk sewa tanah. Kemudian tuan tanah berkewajiban untuk membayar pajak ke pemerintah.
Dalam sistem sewa tanah, Raffles membagi tanah menjadi tiga kelas, yakni:
- Kelas I untuk tanah yang subuh. Pajak tanahnya setengah dari hasil bruto.
- Kelas II untuk tanah yang agak subur. Pajak tanahnya 2/5 dari hasil bruto.
- Kelas III untuk tanah tandus. Pajak tanahnya 1/3 dari hasil bruto.
Baca juga: Palaksanaan Tanam Paksa di Indonesia
Namun, penerapan sistem sewa tanah ini mengalami kegagalan. Salah satunya karena sistem landelijk stelsel ini belum banyak diketahui masyarakat Pulau Jawa, contohnya Sunda.
Selain itu, sebagian besar Pulau Jawa khususnya distrik timur dan tengah belum mengenal sistem perjanjian tanah antara penguasa lokal dengan petani.
Bentuk kegagalan lainnya adalah banyak petani yang tidak membayar sewa kepada zemindar. Bahkan banyak tanah yang justru dikuasai oleh para penguasa lokal.
Oleh karena Raffles melihat adanya kegagalan dalam penerapan sistem ini, ia membuat sistem baru yang dianggap lebih memihak petani.
Raffles mengubah status petani menjadi penyewa tanah melalui perjanjian kontrak antara petani dengan pemilik lahan. Sistem sewa tanah oleh Raffles ini berlaku hingga 1830.
Jika dirangkum, berikut beberapa faktor penyebab kegagalan penerapan sistem tanam paksa atau sistem sewa tanah oleh Raffles, yakni:
- Masih ada banyak masyarakat Indonesia, khususnya Pulau Jawa yang belum mengenal sistem sewa tanah melalui perjanjian.
- Banyak masyarakat Indonesia yang belum mengenal uang.
- Ukuran tanah belum bisa diukur dengan tepat.
- Sulit untuk menentukan tingkat kesuburan tanah serta tingkatan pajak tanah.