KOMPAS.com - Banjir di Jakarta sudah ada sejak zaman Kerajaan Tarumanegara, tepatnya saat Raja Purnawarman memimpin. Banjir di Jakarta juga terjadi saat Belanda menduduki Batavia.
Menurut Zaenuddin HM dalam buku Banjir Jakarta (2013), banjir di Batavia pada 1932 merupakan banjir terbesar terakhir pada era kekuasaan Hindia Belanda di Kota Batavia.
Lalu, bagaimana sejarah banjir di Jakarta setelah 1932?
Banjir Jakarta pada 1950
Setelah lima tahun Indonesia merdeka, Jakarta kembali direndam banjir. Wali Kota (Gubernur) Jakarta saat itu, Suwiryo harus menghadapi permasalahan banjir yang ditambah dengan permasalahan penduduk.
Banyak penduduk yang berdatangan ke Jakarta sehingga lahan kosong secara perlahan mulai diubah menjadi lahan permukiman. Daerah persawahan dan resapan air digali dan dibangun menjadi rumah, maka tak mengherankan jika daerah rendah di Jakarta lebih sering dilanda banjir.
Penyempitan dan pendangkalan sungai juga menjadi penyebab utama banjir saat itu. Air sungai menjadi lebih mudah meluap jika hujan turun deras.
Baca juga: Sejarah Banjir Jakarta dari Zaman Tarumanegara hingga Hindia Belanda
Banjir Jakarta pada 1952
Banjir Jakarta pada 1952 disebabkan oleh luapan air Sungai Grogol yang tidak lagi mampu menerima banjir kiriman dari daerah Bogor dan Depok.
Syamsurizal sebagai Wali Kota Jakarta saat itu memerintahkan aparat untuk mengevakuasi penduduk ke tempat yang lebih aman. Banjir kali ini tidak menelan korban jiwa, hanya saja beberapa warga dirawat di puskesmas karena terserang penyakit.
Banjir Jakarta pada 1960
Penyebab utama banjir pada 1960 adalah luapan air dari beberapa sungai besar, seperti Kali Grogol dan Kali Angke serta jebolnya tanggul yang telah dibuat sebelumnya.
Tidak hanya kehilangan harta benda dan terserang penyakit, banyak warga Jakarta yang trauma karena adanya serangan hewan berbisa seperti ular dan kalajengking.
Lihat Foto
Banjir di sekitar Stasiun Pasar Senen merepotkan pengguna jalan, terutama penumpang yang hendak bepergian atau datang menggunakan kereta api. Sebuah bajaj hari Selasa (29/3/1994) berusaha menerobos genangan air mengantar penumpang ke stasiun KA.
Banjir Jakarta pada 1963
Banjir besar kembali melanda Jakarta pada 1963 karena curah hujan yang sangat tinggi. Sembilan kecamatan di Jakarta terendam banjir setinggi setengah meter.
Kecamatan tersebut diantaranya Tanah Abang, Gambir, Petamburan, Krukut, Kampung Melayu, Seneng, Salemba dan Angke Duri.
Dua tahun kemudian setelah banjir besar melanda Jakarta pada 1963, Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta. Mereka ditugaskan untuk memperbaiki kanal peninggalan Belanda serta membangun enam waduk di daerah sekitar Jakarta.
Berikut merupakan hasil kerja dari Kopro Banjir Jakarta:
- Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang dan Waduk Grogol.
- Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat dan Polder Setia Budi Timur.
- Pembangunan sodetan kali di Kali Grogol, Kali Pesanggarahan, serta gorong-gorong Jalan Sudirman.
Banjir Jakarta pada 1976
Pada 1976, Jakarta kembali dilanda banjir besar. Kali ini daerah yang tidak pernah terendam banjir jadi ikut terendam banjir, contohnya ialah Jalan MH Thamrin atau depan Gedung Sarinah.
Derasnya air hujan dan luapan air beberapa sungai menjadi penyebab utama banjir Jakarta pada 1976. Banjir yang melanda hampir sebulan penuh ini menyebabkan 200 ribu warga Jakarta mengungsi dan 2 orang meninggal dunia karena kedinginan.
Selain itu, banyak penduduk yang dirawat di rumah sakit karena terserang penyakit, banyak fasilitas umum dan rumah warga yang rusak.
Baca juga: Banjir Jakarta dan Perkara Untung atau Rugi
Banjir Jakarta pada 1984
Saat masa kepemimpinan R. Soeprapto sebagai Gubernur DKI Jakarta, banjir kembali melanda kota tersebut. Curah hujan yang tinggi menjadi penyebab utama banjir di Jakarta.
Selain itu, beberapa sungai seperti Sungai Grogol dan Sungai Sekretaris juga tidak bisa menampung debut air sehingga meluap ke berbagai daerah.
Banjir Jakarta pada 1985
Banjir Jakarta pada 1985, khususnya di Jakarta Selatan disebabkan oleh luapan air Sungai Pesanggarahan yang tidak menampung banjir kiriman dari Bogor.
Gubernur DKI Jakarta saat itu, R. Soeprapto beserta pejabat lainnya merasa kewalahan menghadapi banjir kali ini. Banyak pengungsi yang kurang mendapat pasokan kebutuhan dan banyak warga yang terkena penyakit.
Banjir Jakarta pada 1994
Air Sungai Ciliwung dan beberapa sungai lainnya yang meluap menyebabkan banjir kembali terjadi pada 1994. Banjir ini hampir menggenangi tiap sudut kota Jakarta. Ketinggiannya pun atara satu meter hingga dua meter.
Banjir saat itu tidak menimbulkan korban jiwa. Hanya saja banyak warga yang kehilangan tempat tinggal dan terserang penyakit seperti muntaber, pilek dan gatal-gatal.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.