Oleh: Yopi Nadia, Guru SDN 106/IX Muaro Sebapo, Muaro Jambi, Provinsi Jambi
KOMPAS.com - Salah satu tokoh besar Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan bangsa asing adalah Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama Douwes Dekker.
Douwes Dekker lahir pada tanggal 8 Oktober 1879 di Pasuruan. Beliau merupakan keturunan indo berdarah campuran Belanda dan Jawa. Namun, beliau tidak pernah mengakui ke-indo-annya karena merasa sebagai orang Indonesia sepenuhnya.
Nama Douwes Dekker berganti selepas Indonesia merdeka menjadi Danudirja Setiabudi pemberian oleh Soekarno. Kata “Danu” artinya benteng, sedangkan “Dirja” artinya kuat dan tangguh.
Mulanya beliau lebih akrab dipanggil DD, singkatan dari Douwes Dekker. Akan tetapi, setelah Soekarno mengganti namanya, panggilan DD itu lebih dikenal dengan singkatan dari Danu Dirja.
Baca juga: Biografi Eduard Douwes Dekker, Penentang Sistem Tanam Paksa
Pendidikan dan Karier
Douwes Dekker mampu menempuh pendidikan dasar di Pasuruan. Kemudian, beliau melanjutkan pendidikannya di Hogere Burger School (HBS) Surabaya.
Ketika Douwes Dekker lulus sekolah, beliau pun bekerja di perkebunan kopi “Soember Doeren” Malang, Jawa Timur.
Seakan menjadi jodoh bagi perjuangan Douwes Dekker, di tempat itu beliau banyak menyaksikan ketidakadilan yang dilakukan oleh Belanda kepada kaum pribumi.
Banyak pekerja kebun yang diperlakukan sewena-wena. Hal itu yang membuat Douwes Dekker dipecat dari pekerjaannya karena membela mereka.
Setelah beliau dipecat, kemudian beralih profesi menjadi guru kimia. Pekerjaan itu tidak lama dijalankan, hingga akhirnya memutuskan untuk merantau ke luar negeri, tepatnya di Afrika Selatan.
Baca juga: Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, dan Penyimpangannya
Di Afrika Selatan, Douwes Dekker terlibat dalam Perang Boer melawan Inggris, tetapi posisi beliau kalah dan harus menanggung risiko untuk dipenjara.
Selepas Douwes Dekker dibebaskan, beliau pun memutuskan untuk kembali ke tanah air dan berjuang bersama para pahlawan lainnya untuk merebut kemerdekaan Indonesia.
Penulis dan wartawan yang kritis
Kembalinya Douwes Dekker ke Indonesia tidaklah sia-sia, beliau membuka harian De Express Selatan.
Kemampuannya menulis laporan pengalaman perjuangannya di surat kabar terkemuka membuatnya ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah Douwes Dekker mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi.
Baca juga: Indonesia di Bawah Penjajahan Perancis
Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial.
Ketika menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad pada tahun1907, tulisan Douwes Dekker menjadi makin pro pada kaum Indo dan pribumi.
Rumah Douwes Dekker yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi.
Budi Utomo adalah organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Douwes Dekker bahkan menghadiri kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta.
Baca juga: Budi Utomo: Sejarah Berdiri dan Peranannya
Tulisannya yang paling terkenal dirangkum dalam buku yang berjudul Max Havelaar. Dibukunya, Dekker menceritakan tentang penderitaan rakyat Indonesia dalam menghadapi sistem tanam paksa yang diadakan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Douwes Dekker membuka mata dunia tentang tanam paksa yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Berkat buku tersebut, akhirnya sistem tanam paksa dihapuskan.
Terbentuknya Indische Partij
Karena menganggap Budi Utomo terbatas pada masalah kebudayaan, Douwes Dekker tidak banyak terlibat di dalamnya. Sebagai seorang Indo, Douwes Dekker terdiskriminasi oleh orang Belanda murni.
Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi kunci pemerintah karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji lumayan tinggi.
Baca juga: 3 Program Politik Etis atau Politik Balas Budi
Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada pribumi.
Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena pemerintah kolonial mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo.
Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah.
Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku.
Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.
Baca juga: Dampak Positif Pembangunan Sekolah di Masa Politik Etis bagi Indonesia
Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, Douwes Dekker menyampaikan gagasan suatu Hindia baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang.
Ironisnya, di kalangan Indo Douwes Dekker mendapat sambutan hangat hanya di kalangan kecil saja, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum Indo direndahkan oleh kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih dapat dilayani oleh pribumi.
Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912 Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij.
Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung.
Baca juga: Partai Politik Indonesia dalam Volksraad
Partai ini sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal.
Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD dan Cipto mendukung Suwardi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.