KOMPAS.com - Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang saat ini masih dalam proses penggodokan, sudah saatnya masuk dalam prioritas.
Melansir jurnal Politik Hukum dan Muatan Pengaturan Dalam Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset (2023) karya Noverdi Puja Saputra, tujuan utama UU Perampasan Aset adalah bagaimana cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara.
Adanya RUU Perampasan Aset ini juga bertujuan memaksimalkan pengembalian kerugian negara akibat kejahatan luar biasa.
Dalam buku Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi (2020) oleh Panggabean, kejahatan luar biasa seperti Korupsi, Narkoba, Terorisme, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Baca juga: 4 Unsur Tindak Pidana Korupsi yang Bisa Merugikan Negara
Lantas apa itu RUU Perampasan Aset Tindak Pidana?
Definisi perampasan aset tindak pidana
Menyadur buku Pengantar Ilmu Hukum: Teori dan Penerapannya di Indonesia (2023) oleh Muhamad Abas dan teman-teman, dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menyusun draf RUU Perampasan Aset.
Namun, hingga kini RII tersebut tak kunjung mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 RUU Perampasan aset, yang dimaksud perampasan aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.
Adapun aset tidak pidana dalam Pasal 1 angka 2 RUU Perampasan Aset diartikan setiap aset yang diperoleh atau diduga dari tindak pidana, atau kekayaan tidak wajar yang dipersamakan dengan aset tindak pidana.
Sedangkan, dalam Pasal 1 angka 1 RUU Perampasan aset mendifinisikan aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai ekonomis.
Sementara itu dalam Peraturan Jaksa Agung No. Per013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset juga memuat pengertian perampasan aset.
Dalam Pasal 1 angka 18 peraturan tersebut, bahwa perampasan aset adalah tindakan paksa yang dilakukan oleh negara untuk memisahkan hak atas aset berdasarkan putusan pengadilan.
Secara sosiologis, pembentukan UU Perampasan Aset dimaksudkan untuk membentuk aturan baru mengenai mekanisme dalam melakukan perampasan aset milik seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Baca juga: Mengenal 3 Jenis Korupsi: Dari yang Sepele hingga Merusak Demokrasi
Contoh aset tindak pidana yang dapat dirampas
Dalam dokumen RUU Perampasan Aset Tindak Pindana dilansir dari laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum, aset tindak pidana yang dapat dirampas diatur dalam Pasal 5 ayat 1.
Adapun aset tindak pidana yang dapat dirampas, yakni:
- Aset hasil tindak pidana atau Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau Korporasi, baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
- Aset yang diketahui atau patut diduga ndigunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana;
- Aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti Aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara; atau
- Aset yang merupakan barang temuan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
Baca juga: Faktor Penyebab Korupsi: Internal dan Eksternal
Selain Aset sebagaimana dimaksud pada ayat 1, berdasarkan ayat 2 aset yang dapat dirampas berdasarkan Undang-Undang ini, meliputi:
- Aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan Aset Tindak Pidana yang diperoleh sejak berlakunya Undang-Undang ini; dan
- Aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
Adapun, seperti diatur dalam Pasal 6, aset tindak pidana yang dapat dirampas sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat 1 terdiri atas:
- Aset yang bernilai paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
- Aset yang terkait dengan tindak pidana yang diancamdengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Sementara dalam Pasal 7 ayat 1 menjelaskan perampasan aset dilakukan dalam hal:
- Tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya; atau
- Terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Perampasan aset sebagaimana yang dimaksud ayat 1 dapat juga dilakukan terhadap aset yang:
- Perkara pidananya tidak dapat disidangkan; atau
- Terdakwa telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat Aset Tindak Pidana yang belum dinyatakan dirampas.
Baca juga: Korupsi: Pengertian, Penyebab dan Dampaknya
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.