KOMPAS.com - Jika kamu berkesempatan mengunjungi Candi Borobudur saat Hari Raya Waisak, kamu akan menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat sakral.
Ratusan bahkan ribuan umat Buddha berjalan perlahan mengelilingi candi searah jarum jam, membawa dupa, bunga, air suci, dan bendera, dalam suasana penuh ketenangan.
Ritual ini dikenal sebagai Pradaksina, salah satu bentuk penghormatan spiritual tertinggi dalam ajaran Buddha.
Namun, apa yang dimaksud dengan Pradaksina, dan apa saja yang kita lakukan saat Hari Waisak hingga ritual ini menjadi bagian penting dari perayaan? Untuk mengetahuinya, yuk simak penjelasan berikut ini!
Baca juga: Apa Itu Waisak? Ini Jadwal dan Kegiatan Peraayaannya
Pengertian ritual Pradaksina
Pradaksina adalah sebuah aktivitas Puja Bhakti yang dilakukan dengan cara berjalan mengelilingi objek suci seperti candi, rupang Buddha, atau pohon Bodhi dari kiri ke kanan, atau searah jarum jam.
Biasanya dilakukan sebanyak tiga kali putaran dengan penuh kesadaran, sembari membaca paritta (doa-doa suci) dan menunjukkan sikap anjali (tangan dirangkap di dada).
Menurut Hesti Nur A'mala dalam Studi tetang Ritual Pradaksina di Maha Vihara Mojopahit Desa Bejijong Trowulan Mojokerto (2018), secara etimologis, ritual Pradaksina berasal dari kata Padakkhina dalam bahasa Pali.
Sementara, dalam bahasa Sanskerta terdiri dari dua kata: pra (maju atau ke depan) dan daksina (kanan atau selatan).
Gerakan searah jarum jam ini memiliki makna mendalam yang mewakili arah pergerakan matahari, simbol keberuntungan, harmoni, dan jalan menuju masa depan yang lebih cerah.
Konsep ini bahkan memiliki hubungan filosofis dengan simbol Swastika, yang mewakili keseimbangan dan keberuntungan dalam ajaran Buddha.
Baca juga: Senin 12 Mei 2025 Libur Apa? Ini Sejarah dan Makna Hari Raya Waisak
Sejarah ritual Pradaksina
Ritual Pradaksina adalah tradisi yang sudah ada sejak masa hidup Buddha Gautama.
Setelah mencapai Penerangan Agung di bawah pohon Bodhi, Sang Buddha dihampiri oleh Brahma Sahampati, yang kemudian mengelilinginya sebanyak tiga kali sebagai bentuk penghormatan. Aksi simbolis ini menjadi awal dari ritual Pradaksina.
Setelah Buddha wafat dan mencapai Parinibbana di Kusinara pada tahun 483 SM, murid-muridnya, termasuk Yang Arya Maha Kassapa, melakukan penghormatan terakhir dengan cara yang sama.
Mereka mengelilingi jenazah Buddha sambil membacakan paritta-paritta, mantra suci yang berkaitan dengan ajaran Dhamma.
Sejak saat itu, Pradaksina menjadi bentuk ritual yang melekat dalam praktik keagamaan umat Buddha di seluruh dunia.
Baca juga: Mengenal Wihara, Tempat Ibadah Umat Buddha
Rituan Pradaksina saat waisak di Candi Borobudur
Candi Borobudur bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga merupakan tempat spiritual utama bagi umat Buddha di Indonesia.
Menurut Tri Yanto dalam jurnal berjudul Multikultur dan Moderasi Lintas Budaya di Candi Borobudur (2022), setiap tahun, Hari Raya Waisak dipusatkan di sini.
Bangunan megah yang menggambarkan ajaran Buddha dalam bentuk seni visual ini menjadi ruang sakral yang membangkitkan emosi religius umat.
Saat perayaan Waisak, umat Buddha memadati area candi. Mereka berjalan tanpa alas kaki, mengenakan pakaian putih sebagai lambang kemurnian.
Tidak hanya melakukan meditasi dan pembacaan Dhamma, mereka juga melaksanakan ritual Pradaksina dengan membawa berbagai persembahan yang memiliki makna filosofis mendalam.
Baca juga: Perkembangan Agama Hindu-Buddha di Nusantara
Makna di balik persembahan dalam ritual pradaksina
Dalam pelaksanaan ritual Pradaksina, setiap elemen yang dibawa memiliki arti spiritual yang kuat.
Menurut Hesti Nur A'mala dalam Studi tetang Ritual Pradaksina di Maha Vihara Mojopahit Desa Bejijong Trowulan Mojokerto (2018), berikut ini beberapa benda penting yang selalu hadir dalam prosesi:
- Dupa: Digunakan untuk menyucikan batin dan lingkungan sekitar. Dibakar selama prosesi, juga ditancapkan di tempat-tempat tertentu seperti bawah pohon suci.
- Lilin dan obor: Menandai rute berjalan, sebagai simbol penerangan batin.
- Air suci: Diletakkan dalam kendi yang dibungkus bendera Buddhis. Digunakan untuk memulai meditasi dan melambangkan pemurnian.
- Buah-buahan: Melambangkan ketidakkekalan hidup. Umumnya disajikan buah seperti pisang, jeruk, kelapa, hingga apel.
- Kue-kue: Termasuk kue apem warna-warni dan makanan kering sebagai simbol persembahan penuh cinta kasih.
- Bunga: Digunakan dalam bentuk bunga tujuh rupa atau bunga sedap malam. Nampan berisi kelopak mawar dan melati juga turut dibawa dalam prosesi.
Selain itu, umat juga membawa bendera Merah Putih dan bendera Buddhis sebagai bentuk penghormatan terhadap tanah air dan simbol toleransi.
Keberadaan dua bendera ini mencerminkan bagaimana nilai-nilai spiritual dan kebangsaan dapat berjalan seiring.
Baca juga: Bendera Sang Saka Merah Putih: Sejarah dan Makna Warnanya
Jadi, apa yang dimaksud dengan Pradaksina bukan hanya tentang berjalan mengelilingi candi. Itu adalah perjalanan spiritual. Setiap langkah mencerminkan ketulusan, penghormatan, dan harapan akan pencerahan batin.
Di tengah khusyuknya suasana Hari Raya Waisak, Pradaksina mengajak setiap umat untuk lebih dekat pada Dharma, lebih sadar akan keberadaan, dan lebih murni dalam hati.
Dengan mengikuti ritual Pradaksina, umat Buddha tidak hanya mengingat ajaran Sang Buddha, tetapi juga menjadikan tubuh, ucapan, dan pikirannya sebagai bagian dari praktik spiritual.
Maka, saat kita bertanya kembali apa saja yang kita lakukan saat Hari Waisak, salah satu jawabannya adalah: kita melakukan Pradaksina sembari bedoa dan membiarkan langkah kita menuntun pada kedamaian.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.