KOMPAS.com - Konflik antara pemerintah China dengan Indonesia terkait Laut Natuna memiliki cerita panjang.
Konflik perebutan Natuna diketahui muncul sejak 2016 silam.
Selain masuknya kapal China ke Laut Natuna tanpa izin, perubahan nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara disebut menjadi latar belakang konflik tersebut.
Memanasnya hubungan Indonesia dengan China, membuat Inggris pun ikut bersuara.
Melalui Menteri Inggris untuk Asia Pasifik, Heather Wheeler mengungkapkan negara-negara yang terlibat konflik Laut China Selatan seharusnya patuh terhadap hukum.
“Kami yakin bahwa seluruh pihak yang terlibat harus mematuhi hukum laut internasional,” kata Wheeler di Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Rabu (16/1/2020) seperti dikutip dari Antara.
Ketertarikan China soal Laut china Selatan, imbuhnya mengakibatkan negara Tirai Bambu ini bukan hanya berkonflik dengan Indonesia saja.
China tercatat menerima sejumlah protes dari sejumlah negara lantaran ia menjadi satu-satunya pihak yang berpedoman pada Nine dash Line.
"Kami mengharapkan pihak-pihak terkait agar mengambil langkah hukum yang tepat serta tidak ada lagi masalah pengambilan lahan yang tidak patut. Namun, sekali lagi, masalah yang terjadi harus diselesaikan melalui mekanisme hukum," ujar Wheeler menegaskan.
Baca juga: Kapal Asing Masih Berkeliaran, Kenapa Mereka Suka Mencari Ikan di Natuna?
Sembilan garis
Sembilan garis putus-putus yang dipercayai China merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China sendiri tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS).
Sebelumnya, Indonesia bukanlah bagian dari pihak yang bersengketa dengan China soal Laut China Selatan.
Adapun, pihak yang sebelumnya bersengketa adalah Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Taiwan.
Namun, masih dari sumber yang sama, Indonesia dan China terlibat silang pendapat usai 50 perahu nelayan China yang dilindungi kapal penjaganya memasuki Laut Natuna karena menganggap Natuna bagian dari perairan tradisionalnya.
Indonesia kemudian mengajukan nota protes yang dilayangkan ke pihak Beijing. Protes tersebut ditanggapi dengan penyebutan dari pihak Beijing bahwa ada tumpang tindih otoritas di perairan Natuna.
Menanggapi hal itu, Kementerian Luar Negeri secara tegas menegaskan tak ada “overlapping yurisdiction” di perairan Natuna.
Natuna bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sebagaimana diatur dalam UNCLOS.
Baca juga: Menyelisik Klaim China atas Laut Natuna...
Sikap rivalitas
Sementara itu, pakar geopolitik asal Jepang Kunihiko Miyake menilai seharusnya Indonesia bisa membangun kerja sama dengan negara-negara lain yang sama-sama menghadapi masalah klaim China.
“Kita tidak seharusnya mengkonfrontasi China sendiri-sendiri karena China negara yang terlampau kuat. Negara yang dia anggap seimbang, menurut saya, sejauh ini hanya Amerika Serikat,” kata Miyake dalam sebuah acara diskusi yang diadakan di Universitas Indonesia.
Mantan diplomat Jepang tersebut menyampaikan perselisihan dengan China sebaiknya tak diselesaikan dengan sikap rivalitas.
“Konfrontasi adalah hal terakhir yang kita inginkan. Yang dapat dilakukan saat ini adalah adanya upaya kolektif (collective effort) untuk mengimbangi dominasi China,” tambahnya.
Upaya kolektif tersebut disebutnya bisa dilakukan dengan kerja sama Indo-Pasifik sebagai pengingat bahwa dominasi dan hegemoni terhadap kawasan perairan tertentu bukanlah tujuan yang dikehendaki bersama.
Baca juga: Plus Minus Pembangunan Pangkalan Militer di Natuna...
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.