KOMPAS.com - Kasus virus corona di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap harinya. Per Sabtu, 21 Maret 2020, sebanyak 450 kasus telah dikonfirmasi dengan 38 kematian.
Semua kasus tersebut tersebar di 17 provinsi atau separuh dari jumlah provinsi di Indonesia. DKI Jakarta menyumbang angka tertinggi dengan 267 kasus.
Pemerintah Indonesia sendiri kerap menuai kritikan publik karena keengganannya dalam membuka informasi secara jelas dengan dalih menangkal kepanikan.
Baca juga: Viral Video Pria Gunakan Hand Sanitizer di Lengan, Leher, dan Perut
Kasus kematian yang meningkat dalam beberapa hari terakhir, menempatkan angka kematian akibat virus corona Indonesia sebesar 7,8 persen dan termasuk salah satu yang tertinggi di dunia.
Dilansir dari Asia Times, para pakar kesehatan menduga bahwa jumlah korban hampir pasti lebih tinggi.
Hal itu didasarkan pada tingkat morbiditas yang meningkat di antara orang usia lanjut yang menderita berbagai penyakit lain dan tidak diuji.
Longgarnya pembatasan
Di beberapa daerah, seperti Bali, sejumlah wisatawan asing masih bisa mengunjungi daerah itu dalam 12 hari pertama Maret.
Anggota komunitas diplomatik dan swasta pun tak memiliki gambaran tentang jumlah kasus baru sejak seorang wanita Inggris meninggal pada 11 Maret.
Para diplomat percaya bahwa pembatasan perjalanan baru yang diterapkan Singapura bertujuan untuk mencegah ancaman gelombang kedua infeksi virus corona.
Kebijakan tersebut dikeluarkan seiring meningkatnya kasus infeksi di antara orang Indonesia yang tiba di Singapura.
"Kami prihatin dengan negara-negara dengan kasus virus corona dan kami melihat kasus yang diekspor dari negara tersebut, termasuk negara-negara di sekitar kita," kata Menteri Pembangunan Nasional Singapura Lawrence Wong.
Di tengah angka kasus yang terus meningkat, Indonesia juga menerima 49 tenaga kerja asing dari China pada pertengahan Maret lalu.
Baca juga: Virus Corona, Jumlah Kematian Tertinggi di Italia, dan Lonjakan Kasus Baru di Thailand
Lebih fokus pada dampak ekonomi
Sejumlah kalangan khawatir bahwa Presiden Joko Widodo tampaknya lebih memperhatikan dampak Covid-19 terhadap ekonomi dibandingkan meningkatkan sistem kesehatan negara.
Kekhawatiran itu terlihat ketika presiden menolak memaksakan lockdown atau penguncian sebagian Jakarta dan Jawa Barat, meski ada ada desakan dari Gubernur Anies Baswedan.
"Kami percaya Jakarta seharusnya menghentikan kegiatan di ibu kota dan mencegah orang datang atau meninggalkan kota. Kita tidak bisa memutuskan ini sendiri, tetapi ada kebutuhuan untuk bertindak cepat," kata Anies.
Kendati ada penurunan aktivitas bisnis dengan banyaknya orang bekerja dari rumah, Jokowi lagi-lagi mengingatkan para pemimpin daerah bahwa kebijakan penguncian di tingkat regional atau nasional berada dalam wewenang pemerintah pusat.
Hanya 2.365 orang telah menjalani pengujian sejauh ini, jauh dibandingkan Korea Selatan yang melakukan pengujian lebih dari 10.000 per hari.
Baca juga: Corona Bisa Menular dari Orang Tanpa Gejala, Bagaimana Mengujinya?
Peralatan yang tak memadai
Meski ada sekitar 360 rumah sakit rujukan yang disediakan untuk menampung pasien Covid-19, pengujian khusus dan peralatan lain untuk menangani pandemi masih sangat terbatas.
Terbaru, Jokowi telah memerintahkan rapid test secara massal dan pembelian obat Avigan dari negara lain guna "menjinakkan" virus corona di Indonesia.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga telah menerbangkan pesawat ke China untuk mengangkut peralatan medis yang dibutuhkan.
Pemerintah juga telah menyiapkan kawasan wisma atlet sebagai ruang isolasi pasien Covid-19.
Sebelumnya, para diplomat diberitahu pada pertemuan singkat baru-baru ini bahwa hanya 2.000 tempat tidur "perawatan kritis" tersedia di Indonesia.
Dari jumlah itu, 40 persen telah digunakan untuk pasien non-virus corona, seperti pasien demam berdarah.
Baca juga: Viral, Foto Alcohol Swab untuk Membersihkan Ponsel dan Alat Makan dari Virus Corona