KOMPAS.com - Sebuah tangkapan layar dari channel di Telegram "Mari belajar cuping" viral di media sosial Twitter pada Kamis (25/3/2021).
Channel tersebut membagikan cara membuat Cuping atau Cute Typing dengan mengubah kata biasa menjadi Cuping.
Adapun contoh kalimatnya adalah sebagai berikut:
"Kamu jangan begitu! Aku nggak suka." Diubah menjadi, "Kkamu janan bwegituu ! Aku ndaa suka".
Akun @txtdarigajelas membagikan tangkapan layar tersebut sambil menulis "50rb orang aneh", karena channel telegram itu di-subscribe lebih dari 50.000 akun.
Baca juga: Viral Video Polantas Polres Sukoharjo Pasang Action Cam di Helm, untuk Apa?
Twit tersebut mendapat tanggapan beragam dari warganet. Ada yang tidak mempermasalahkan, ada juga yang menganggap bahasa yang digunakan terlalu berlebihan.
Hingga Kamis (25/3/2021) malam, twit tersebut telah disukai lebih dari 22.500 kali dan dibagikan ulang lebih dari 7.300 kali.
Sementara itu setelah viral di Twitter, channel tersebut menuliskan klarifikasi bahwa Cuping hanya digunakan oleh Role Player (RP), bukan untuk Real Life (RL).
Penggunaannya terbatas hanya kalangan atau komunitas tertentu yang ingin belajar Cuping.
Baca juga: Viral Video Meteor Jatuh di Banggai, Ini Penjelasan Lapan
Lantas, apakah Cuping bisa disebut bahasa atau bahasa slank?
Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Ridha M Wibowo menjelaskan, Cuping atau Cute Typing menurutnya sekadar ragam bahasa, bukan slank.
"Saat mengamati polanya saya kira cuping itu sekadar ragam bahasa yang memiliki kemiripan dengan ragam bahasa alay yang dulu pernah tren di kalangan anak muda," kata pria yang akrab disapa Bowo itu kepada Kompas.com, Kamis (25/3/2021).
Menurut Bowo, para pengguna Cuping berpikir bahasa yang digunakan sekarang tidak cukup mengekspresikan jatidiri mereka sebagai pengguna bahasa pradewasa.
Bowo melihat, pemakai Cuping didominasi oleh kaum hawa yang menganggap relasi subjektif antarwanita itu penting.
"Ungkapan kemanjaan yang menggunakan bentuk-bentuk kata ala anak-anak cukup menonjol di samping kelebayan pemakaian variasi huruf biasa, kapital, dan angka. Kreativitas ini selanjutnya berhadapan dengan arti yang sulit ditebak karena tidak ada standar/prosedur pembentukan yang jelas," kata dia.
Lanjutnya, itu sebabnya ragam ini dapat menjadi register tersendiri karena bersifat rahasia dan hanya orang tertentu yang mampu memakainya.
Baca juga: Viral Video Masinis Beli Makanan Saat Kereta Berhenti di Perlintasan, Ini Penjelasan PT KAI
Dia juga mengatakan, untuk sebagian orang yang belum berjumpa ragam alay, ragam ini tampak wah dan menggiurkan.
Tapi saat mereka menggunakannya boleh jadi muncul masalah, karena pemakaiannya yang tidak praktis dan potensinya untuk miskomunikasi.
Terkait seberapa lama suatu ragam bertahan, dia memberi gambaran. Menurut penelitian yang pernah dia lakukan, ragam bahasa alay bertahan sekitar 6 bulan dan setelah itu tak ada lagi gaungnya, meski secara sporadis masih ada pemakainya di sana-sini.
"Mari kita tunggu berapa lama ragam ini dapat bertahan," imbuhnya.
Baca juga: Video Viral Toyota Yaris Tabrak Motor Saat Menyalip di Tikungan, Ini Penjelasan Polisi
Konvensi masyarakat
Dia juga menjelaskan bahwa bahasa adalah konvensi masyarakat dalam komunikasi. Seperti mode, apa yang dulu pernah tren dan tenggelam sekarang muncul lagi saat kondisinya memungkinkan.
Menurut Bowo, boleh jadi beberapa pengguna cuping adalah pemakai bahasa alay yang dulu pernah berjaya, tetapi tidak populer lagi.
Dengan bantuan media sosial, mereka mengubah namanya menjadi 'Cute Typing' sekadar untuk kemasan yang lebih 'eye catching' daripada sekadar 'ragam alay' yang mungkin dianggap sudah kampungan.
"Bahwa ada inovasi sedikit di sana sini biasalah sekadar kemajuan zaman dan identitas 'baru'," tutur Bowo.
Baca juga: Viral Anak Kecil Tutup Perlintasan Kereta Api dengan Tali Rafia, Ini Penjelasannya
Dihubungi terpisah, Kaprodi Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Dwi Susanto juga menganggap Cuping atau cute typing bukan bahasa slank, tapi hanya ragam bahasa.
"Tertentu saja yang mengerti tidak semua paham. Kecuali itu sudah meluas baru bisa disebut slank," kata Dwi saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/3/2021).
Menurutnya munculnya fenomena ini bisa dipandang dari sisi positif maupun negatif.
Baca juga: Berikut 4 Aplikasi untuk Belajar Bahasa Saat Terjebak di Rumah
Sisi positifnya, ragam itu bisa memperkaya bahasa dan tidak berpengaruh signifikan terhadap Bahasa Indonesia yang baku.
"Kita anggap itu bukan sesuatu yang negatif tapi itu kekayaan bahasa satu jenis atau ragam yang lain, yang itu memperkaya ungkapan ekspresi kita," imbuh Dwi.
Sementara sisi negatifnya, bisa saja ragam tersebut merusak Bahasa Indonesia yang sudah baku jika digunakan secara massif oleh semua anak atau remaja.
"Tidak terlalu menyulitkan karena digunakan untuk komunitas tertentu saja
kecuali pemakaiannya massal, semua anak generasi sekarang memakai itu, tapi itu kan hanya tren sesaat," tutur Dwi.
Dia menambahkan kekayaan ragam bahasa itu bisa diimbangi dengan mengajarkan Bahasa Indonesia yang baku pada generasi muda.
"Saya kira tidak begitu mengkhawatirkan karena bahasa Indonesia sudah dilembagakan," kata Dwi.
Baca juga: Benarkah Mapel Bahasa Arab dan PAI Dihapus dari Kurikulum? Berikut Penjelasan Kemenag
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.