KOMPAS.com - Kasus penipuan berkedok penggandaan uang kembali terjadi.
Aksi tersebut dilakukan oleh MA (55) warga Desa Girik, Kecamatan Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur.
Diberitakan Kompas.com, Selasa (30/3/2021) sebanyak tiga orang menjadi korban penipuan MA. Mereka adalah warga Mojokerto berinisial DS (46), DWN (44), dan S (46).
Baca juga: Hati-hati Penipuan, Jangan Berikan Kode OTP kepada Siapa Pun!
Dari keterangan Kapolres Lamongan AKBP Miko Indrayana, pelaku mengiming-imingi korban dengan pring petuk (bambu kembar), yang dipercaya dapat memberikan rezeki serta melipatgandakan uang.
Untuk mendapatkan pring petuk itu, masing-masing korban diminta menyetorkan sejumlah uang. DS menyetorkan uang tunai senilai Rp 65 juta, sedangkan DWN memberikan Rp 35 juta.
Sementara korban berinisial S, menyetorkan uang sebanyak Rp 107 juta kepada MA.
Pelaku berjanji akan melipatgandakan uang ketiga korban dan memberikan pring petuk. Namun hingga tenggat waktu yang dijanjikan, MA tak kunjung membuktikan janjinya.
"Hingga saat ini, tersangka tidak menyerahkan pring petuk seperti yang diceritakan. Mereka (korban) hanya diberikan bambu semacam ini (bambu biasa yang lazim dijumpai), merasa tertipu mereka kemudian lapor ke polisi," kata Miko.
Baca juga: Ramai soal Penipuan COD di Medsos, Bagaimana Mengantisipasinya?
Perdaya korban dengan uang mainan
Diketahui, pelaku sudah ditangkap oleh jajaran kepolisian Lamongan.
MA dijerat dengan pasal 372 KUHP tentang penggelapan, serta pasal 378 KUHP tentang penipuan, dengan ancaman hukuman empat tahun penjara.
Dari penyelidikan serta penggeledahan yang dilakukan di rumah tersangka, ditemukan uang mainan pecahan 100.000 sebanyak Rp 3,3 miliar.
Uang inilah yang digunakan pelaku dalam memperdaya para korban.
"Kami juga mengamankan kain khusus, yang biasa digunakan oleh tersangka pada saat melakukan ritual. Kami sita sebagai barang bukti," kata Miko.
Baca juga: Viral Unggahan Modus Penipuan Nomor Telepon +1500888 Atas Nama BCA
Modus serupa sudah sering terjadi
Kasus penipuan dengan modus penggandaan uang sudah beberapa kali terungkap.
Salah satu yang paling terkenal adalah kasus pendiri Padepokan Dimas Kanjeng di Probolinggo, Jawa Timur, yakni Taat Pribadi.
Diberitakan Kompas.com, 30 September 2016, sejak 2015-2016, setidaknya ada tiga laporan terkait Taat Pribadi ke Polda Jawa Timur atas dugaan penipuan.
Pertama, dengan kerugian Rp 800 juta, kemudian Rp 900 juta, dan terakhir Rp 1,5 miliar.
Ada pula laporan yang masuk ke Bareskrim Polri. Korban mengaku tertipu hingga Rp 25 miliar.
Baca juga: Tips untuk Cegah Rekening Dibobol melalui Modus Penipuan Online
Setelah adanya laporan itu, Bareskrim Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan memanggil sejumlah saksi, yakni pihak pelapor dan beberapa warga Probolinggo.
Ternyata, modus operasinya seperti jaringan Multi Level Marketing (MLM). Korban yang direkrut, menyetorkan uang kepada Taat Pribadi.
Jika ingin uangnya berlipat ganda, korban tersebut harus mengajak beberapa orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Agar korbannya percaya, setelah uang disetor, Taat Pribadi memberikan satu kotak berisi baju, dan cincin yang disebut bisa berubah menjadi emas.
Selanjutnya, akan muncul uang jika korban ikhlas dan meyakini bahwa uang itu bisa berlipat ganda.
Baca juga: Sering Terima SMS Penawaran atau Penipuan? Ini Cara Melaporkannya...
Mengapa sebagian masyarakat masih percaya penggandaan uang?
Dosen Pendidikan Sosiologi Antropologi Universitas Sebelas Maret Nurhadi mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat sebagian masyarakat Indonesia bisa terjebak penipuan bermodus penggandaan uang.
"Saya rasa yang paling dominan adalah persoalan dengan lemahnya literasi pada masyarakat kita. Jadi ada kecenderungan memang, masyarakat kita ini kurang suka membaca informasi atau pesan, itu secara utuh," kata Nurhadi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (31/3/2021).
Nurhadi mengatakan, masyarakat masih lebih mengandalkan pesan-pesan yang bersifat lisan, terutama yang dalam penyampaiannya menarik minat, seperti penawaran hadiah besar.
"Dan literasi yang lemah itu tidak melulu menjadi monopoli masyarakat kelas bawah. Bahkan sebagian dari masyarakat yang tergolong kalangan atas pun juga ikut tertipu atau berada di dalam pusaran itu," kata dia.
Baca juga: Viral Unggahan soal Modus Penipuan dengan Pemberian Nomor ATM, Ini Penjelasannya...
Kondisi psikologis
Faktor kedua, menurut Nurhadi, adalah kondisi psikologis masyarakat yang terus dihadapkan dengan ketidakpastian.
Kondisi tersebut, ditambah dengan kemampuan mencerna informasi yang kurang baik, akhirnya membuat sebagian orang menyandarkan kepercayaan pada harapan yang tidak masuk akal.
"Barangkali sebagian orang berpersepsi ekonomi sekarang tidak menentu, masa depan juga masih di dalam bayang-bayang atau tidak ada kepastian," kata Nurhadi.
"Sehingga di tengah-tengah ketidakpastian itu ada semacam harapan yang dapat mereka peroleh, dan sayangnya, seringkali harapan yang mereka ingingkan itu tidak dibarengi dengan kemampuan untuk mencerna informasi," katanya lagi.
Menurut Nurhadi, jika orang tersebut (korban penipuan) mampu mencerna informasi dengan baik, serta berpikir secara logis, maka kasus penipuan bisa tercegah.
Baca juga: Catat, Ini yang Harus Dilakukan jika Alami Penipuan Ojek Online
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.