Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 31 Des 2018

Penulis, mantan wartawan; Doktor dalam bidang komunikasi, dan dokter yang tidak praktik lagi; pengamat masalah sosial, komunikasi dan kesehatan.

Mengapa Mesti Mudik Jika Risikonya Begitu Besar?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/FARIDA
Pengetatan pra mudik di titik check point Tanjungpura, Karawang, Selasa (27/4/2021).
Editor: Heru Margianto

Di tengah centang-perenangnya penularan wabah COVID-19, umat Islam di Indonesia tengah sibuk menyiapkan Hari Raya Lebaran atau Idul Fitri. Ini tahun kedua kita menyambut tradisi mudik di tengah wabah terbesar dalam sejarah manusia.

Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan aturan pelarangan mudik, juga untuk kedua kalinya. Hanya bedanya dengan tahun lalu, kali ini pemerintah tampak lebih sigap: buru-buru melarang sejak awal bulan Ramadan – semula diberlakukan antara 6-17 Mei, kemudian rentang waktunya diperpanjang mulai 22 April hingga 24 Mei.

Tujuannya jelas: mencegah naiknya angka transmisi, yang biasanya selalu melonjak acap kali pasca-liburan panjang, sebagaimana terjadi pada awal tahun 2021.

Ambil contoh, pada 27 Januari 2021, sebulan setelah libur panjang Tahun Baru, kasus positif di Indonesia mencapai rekor lebih dari satu juta jiwa orang. Padahal sebulan sebelumnya, sekitar akhir Desember 2020 angkanya masih berkisar 600-an ribu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesigapan pemerintah itu patut digarisbawahi, khususnya mewaspadai penyebaran beberapa varian baru hasil mutasi virus corona seperti virus corona B117, yang sering lebih menular ketimbang "induk" Sang Virus. Baca juga: Menilik Varian B117, Mutasi Virus Corona yang Diyakini Lebih Mudah Menular

Juga, yang sangat mengerikan, adalah bencana lonjakan angka penularan di India, sampai-sampai pasien harus dirawat di tepi jalan di luar rumah sakit, berhubung fasilitas kesehatan negeri Sungai Gangga itu tak lagi bisa menampung mereka. Baca juga: Tsunami Corona di India: 117 Orang Meninggal Per Jam, Anak Buang Ibunya di Jalan

Walaupun ada pihak-pihak yang keberatan pada pelarangan itu, ahli epidemiologi menganggap kebijakan mudik sebagai “tepat secara saintifik”. Jika tidak ada blokade itu, diperkirakan 80 jutaan orang akan bepergian ke kampung halamannya selama liburan panjang ini.

Tahun lalu, “embargo” itu berhasil menurunkan 70-an persen pemudik dibandingkan 2019. Berkat pelarangan mudik sekarang ini, diduga sekitar 19 jutaan orang akan tetap mudik.

Tak pelak, Presiden Jokowi pun mewanti-wanti para kepala daerah soal ini. Tahun lalu, meski ada pembatasan, kasus Covid sesudah lebaran naik 93 persen. Baca juga: Jokowi: Saya Betul-betul Masih Khawatir soal Mudik Lebaran...

Tentu saja di antara kepala daerah itu, yang paling sibuk adalah pemerintah ibukota DKI Jakarta, asal jumlah pemudik paling banyak (maklum saja, Jakarta kan dipenuhi jutaan pendatang).

Sejatinya, Pemda DKI sudah mencoba menerapkan pembatasan perjalanan yang sangat ketat, termasuk misalnya melalui kebijakan Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) sejak Mei 2020, bagi semua orang yang hendak keluar atau masuk Jakarta.

Lewat SIKM ini pemudik harus memperoleh izin dari lingkungan (RT dan RW) sekitar tempat tinggal mereka.

Karuan saja kebijakan itu membawa hasil bagus. Selama Ramadan tahun lalu Jakarta berhasil menekan jumlah kasus penularan, berkat SIKM yang memang dimaksudkan untuk mencegah penularan secara lebih efisien.

Walakin, tidak lama kemudian Pemda DKI mesti meninjau kembali SIKM itu, berhubung kurangnya dukungan dari pemerintah pusat, yang lebih mengkhawatirkan dampak ekonomi. Akibatnya, kasus transmisi memburuk kembali.

Lebih mudah mencegah di tahap awal

Belajar dari kejadian tahun lalu, kali ini selayaknya kita perlu mempertimbangkan kembali kebijakan semacam SIKM itu, mengingat dampak positif yang dihasilkannya.

Walakin, jika mau menerapkan hal itu, maka ia harus dilaksanakan segera. Secepatnya. Sebelum jumlah pemudik memuncak di hari-hari menjelang lebaran nanti – agar nasi tidak keburu menjadi bubur.

Tahun lalu, sementara ahli menganggap pelarangan pemerintah itu terlambat berhubung ia diterapkan sesudah banyak pemudik sampai di kampung halaman. Baca juga: Jokowi Larang Mudik, Ahli: Kebijakan yang Tepat Meskipun Terlambat

Sementara itu ada hal lain yang patut disayangkan: pemerintah tampak masih setengah hati dalam usaha menekan jumlah penularan. Di satu sisi terdapat larangan mudik, tetapi di sisi lain tempat-tempat wisata dibuka.

Katanya sih, lokasi wisata itu diperuntukkan bagi warga lokal, bukan pemudik. Tetapi, siapa bisa melarang orang yang datang, di tengah menurunnya disiplin menjaga protokol kesehatan yang satu di antaranya disebabkan sikap “terlalu optimis” setelah menerima vaksinasi?

Jika hendak menerapkan pencegahan yang lebih efektif, jalan terbaik adalah melakukannya pada awal siklus perjalanan, sebagaimana kebijakan SIKM atau yang serupa itu.

Pasalnya, jika orang sudah meninggalkan rumahnya, sudah berada di tengah perjalanan, maka sulit sekali meminta mereka putar balik.

Setelah usaha besar menyiapkan perjalanan setahun sekali, setelah mimpi-mimpi bergembira bersama handai-tolan dibangun, dan ketika kampung halaman berada di depan mata, kini Anda ingin saya mundur kembali? Mustahil.

Enerji tidak akan tersia-siakan bila penghentian perjalanan itu dilakukan ketika orang masih di rumahnya. Orang akan lebih sadar bahwa memang kondisi yang ada mengharuskan mereka memenuhi segala persyaratan di depan, misalnya melalui izin pelepasan dari lingkungan setempat.

Bila segala alasan disosialisasikan secara luas jauh sebelum Hari-H, kita yakin bahwa sebagian besar warga (kalau tidak semuanya) bisa lebih memaklumi pembatasan itu.

"Jika saya tidak dapat izin pergi, maka saya tidak akan beli tiket; saya tak perlu melakukan berbagai persiapan yang sangat menyita tenaga dan waktu."

Ketahuilah, perjalanan merupakan aktivitas yang sering kali disertai persiapan berat dan beban. Itu sebabnya dalam Islam, seorang musafir boleh merangkap (jama’) dan meringkas (qosor) solatnya, bahkan bisa menukar puasanya pada hari lain.

Mungkin sulit pada mulanya, walakin mereka yang akhirnya memenuhi syarat untuk musafir lebaran ini akan mudik dengan nyaman, tidak perlu khawatir dicegat polisi di tengah jalan, atau kucing-kucingan mencari jalan tikus.

Berhubung niat, motivasi atau rencana -- yang merupakan alasan utama dilakukannya sebuah tindakan -- dapat hilang atau diurungkan, maka yang dapat dilakukan pemerintah adalah menggenjot sosialisasi secara besar-besaran adanya bahaya luar biasa yang mengancam pada perjalanan ke luar kota dan kumpul-kumpul – jika kita tak ingin menjadi seperti India.

Bukankah lebih mudah mencegah bara ketika api baru menyala ketimbang memadamkannya setelah api menjalar hingga ujung perkampungan?

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi