KOMPAS.com - Media sosial dihebohkan dengan foto-foto seorang perempuan ditutup dengan kain hingga menutupi seluruh permukaan tubuhnya oleh suaminya.
Unggahan tersebut dibuat pada November 2020 silam di Facebook dan baru-baru ini menyebar di media sosial lain.
Seperti yang diunggah akun Instagram @smart.gram.
Dalam unggahan, terdapat foto yang memperlihatkan tubuh perempuan dalam kondisi terbalut berbagai kain berwarna putih hingga ungu.
Perempuan tersebut tertutup kain, mengenakan kerudung panjang, setelan blazer dan rok ala pekerja kantoran.
Pengunggah asli foto mengaku sebagai suami dari perempuan tersebut. Menurut dia, tidak ada yang dirugikan, karena yang bersangkutan adalah istrinya.
Unggahan itu pun mengundang reaksi beragam dari warganet. Sebagian berkomentar hal itu sebagai fetish, tetapi fetish yang aneh.
Sementara itu, foto asli yang diunggah oleh penggungah di Facebook telah dihapus seluruhnya.
Lantas, bagaimana penjelasan ahli mengenai fenomena tersebut?
Baca juga: Mengenal Apa Itu Fetish dan Bagaimana Bisa Muncul?
Parafilia
Menanggapi hal itu, psikolog sekaligus seksolog Dr. Baby Jim Aditya M.Psi., menyebut hal tersebut merupakan bentuk gangguan parafilia.
Parafilia adalah ketertarikan seksualitas seseorang pada obyek-obyek yang bukan merupakan obyek seksual.
"Itu kan gangguan parafilia, tertarik pada obyek-obyek yang bukan objek seksual, tetapi tertarik pada benda-benda non-seksual," kata Baby saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/6/2021).
Parafilia atau fetish sesungguhnya tidak menjadi masalah selama dilakukan atas persetujuan dua belah pihak dan tidak mengancam keselamatan jiwa pihak-pihak yang menjalaninya.
Baby mencontohkan ada orang yang memiliki ketertarikan pada telapak kaki, pakaian, dan lain sebagainya.
"Kalau misalnya masih dalam batas-batas yang enggak menyakiti, mengancam nyawa, ya oke-oke saja. Concent dulu nomor satu, baru safety," ujar Baby.
Namun, ada juga orang yang merasa tersulut gairahnya ketika melihat pasangannya kesakitan, disundut dengan puntung rokok, disayat-sayat kulitnya, dan lain sebagainya.
Itu lah yang tidak bisa dibiarkan dan bisa masuk dalam ranah pidana.
"Mungkin yang bungkus-bungkus itu sudah termasuk ekstrem ya, susah bernapas lho itu, itu juga prosesnya bermenit-menit kan sampai dibungkus sebadan begitu," sebut dia.
Baca juga: Ramai Pembahasan soal Fetish, Bagaimana Gejala, dan Penanganannya?
Bisa dialami lelaki dan perempuan
Baby tidak menampik jika parafilia bisa saja dimiliki oleh seorang perempuan, tetapi ia menyebut sebagian besar justru ada pada kaum laki-laki.
Hal itu bisa jadi karena pola asuh yang selama ini diterapkan pada seorang anak laki-laki.
Orangtua di Indonesia misalnya, masih mengajarkan agar anak laki-lakinya tidak boleh terlihat lemah, cengeng, lembut, dan sebagainya.
Sebaliknya, mereka mengajarkan agar anak laki-laki harus terlihat kuat, maskulin, dan sebagainya.
"Perasaan laki-laki dalam masyarakat seperti di indonesia ini kan selalu ditekan, dia harus selalu kuat, enggak boleh cengeng, sedih, harus keliatan maco, maskulin, tidak boleh mengekspresikan kelemahan, ketertarikan pada kelembutan. Sehingga mungkin dia ada tekanan-tekanan seperti itu," papar Baby.
Baca juga: Soal Gilang Bungkus, Apa Penyimpangan Seksual Fetish Bisa Disembuhkan?
Concent and save
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, izin dan faktor keamanan menjadi dua hal yang mutlak dipenuhi untuk membenarkan seseorang melampiaskan fetish-nya pada seseorang.
Jika pelaku adalah laki-laki, ia harus memastikan pasangannya memberinya izin, rela, dan setuju melakukan apa yang diminta, artinya tidak ada unsur paksaan apalagi ancaman atau tekanan.
"Si istri itu kan manusia ya, punya hak untuk menyetakan kesetujuannya atau ketidaksetujuannya. 'Yang dibungkus tubuh istri sendiri', kan istrinya bukan properti, dia manusia yang ada keberatannya, kehendaknya, persetujuannya," ucap Baby.
"Bukan berarti kalau dia istri sendiri terus boleh diapa-apain kan. Berarti analoginya kalau istri sendiri boleh dipukul-pukulin, ditendang-tendangin? Itu kayak memiliki properti yang enggak punya konsensual dong," tambahnya.
Baru setelah mendapat persetujuan, harus dipastikan kegiatan yang dilakukan tidak menyakiti atau mengancam keselamatan pasangan.
Baca juga: Ahli Sebut Fetish Tak Bisa Sembuh tapi Bisa Dikontrol, Bagaimana Caranya?
Pentingnya edukasi seksual
Terkait bagaimana laki-laki memandang perempuan sebagai objek yang bebas ia perlakukan sesuka hati, Baby menarik fakta ini pada bagaimana gaya edukasi seksual yang dilakukan oleh orangtua-orangtua kebanyakan, khususnya di Indonesia.
Pendidikan seksual dalam keluarga tidak dilakukan secara jelas dan transparan. Alih-alih tabu, masyarakat lebih nyaman menyederhanakan pendidikan seksual, dalam hal ini hanya merujuk hubungan yang melibatkan penetrasi seksual, pada kalimat sederhana "Tidak boleh, kecuali sudah menikah".
Hal itu disampaikan tanpa menyebut alasan dan penjelasan apapun.
"Tidak ada penjelasan dari orangtua yang clear, 'kamu kalau sudah mimpi basah, artinya kamu sudah bisa membuahi anak perempuan, menghamili', atau kalau anak perempuan (sudah pubertas) 'kamu sudah bisa dihamili' kan kata-katanya seperti itu ya, langsung jumping to conclusion," tutur Baby.
Yang ada, orangtua hanya menyampaikan peringatan jika anak sudah besar dilarang pulang larut malam, berbuat yang macam-macam. Namun sekali lagi, tanpa penjelasan.
Oleh karenanya, anak belajar tentang seksualitas, bahasa Baby, sambil terpentok-pentok.
Ada sebagian yang beruntung mendapat informasi yang tepat, namun sebagian yang lain terseok dan akhirnya merujuk pada referensi yang salah.
"Ada yang bisa mencari penjelasan yang benar, misalnya membaca buku yang benar, dapat dari jurnal, atau bertanya kepada ahli. Tapi ada juga yang kepentok-pentok dan merujuk referensi yang salah," sebut Baby.
Menurutnya, mengajarkan pendidikan seksual kepada anak bukan lagi sesuatu yang tabu, selama dilakukan secara tepat berdasarkan usianya.
Pendidikan seksual adalah sesuatu yang penting untuk diajarkan, bukan hanya membuat anak tahu dan paham mengapa suatu hal boleh dan tidak boleh dilakukan.
Namun, juga dapat membuat seorang anak menghormati tubuh orang lain.
"Di Indonesia kan diajarin sekedar ini dosa itu enggak dosa, tapi esensinya apa, alasannya apa tidak jelas. Itu lah pentingnya pendidikan seks yang benar, lengkap, dan tepat. Supaya memandang tubuh perempuan itu jangan sebagai objek tapi sebagai subjek," sebut Baby.
6 area kekerasan
Terakhir, Baby menjelaskan kekerasan itu dapat terjadi di 6 area berbeda. Keenam area tersebut dimulai dari area verbal, fisik, psikologis, seksual, ekonomi, dan penelantaran.
Mula-mula adalah kekerasan verbal, di mana orang dihujani dengan kata-kata yang negatif, direndahkan, sehingga ia merasa pantas diperlakukan buruk.
Kemudian selanjutnya kekerasan fisik ini bisa berupa pukulan, tendangan, tamparan, cubitan, atau hal lainnya yang terkait dengan fisik.
"Kekerasan fisik itu lah orang baru mikir itu lah kekerasan dan baru bisa dibuktikan dengan visum. (Padahal) Kekerasan verbal enggak bisa dibuktikan dengan visum kan, tapi orang rusak self esteem-nya karena kekerasan verbal," ungkap Baby.
Untuk kekerasan di ranah psikologis misalnya seseorang diperlakukan dengan tidak terhormat atau tidak bermartabat.
Lanjut ke kekerasan di ranah seksual, di mana seseorang dipaksa melakukan hubungan badan atau tidakan seksual lainnya.
Kelima adalah kekerasan di ranah ekonomi, di mana seseorang yang tidak memiliki penghasilan dibatasi aksesnya terhadap uang.
Terakhir adalah kekerasan berupa penelantaran. Misalnya saja seseorang yang sudah terikat dalam satu hubungan, namun ia ditelantarkan, tidak diurus, diperhatikan, dan tidak diperlakukan dengan layak.
"Jadi kalau fetish itu masuk ke ranah itu (6 area kekerasan) ya bisa masuk ranah pelanggaran dan dipidana juga," pungkas dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.