KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) angkat bicara terkait permintaan dari Komite Warisan Dunia UNESCO, yang meminta pemerintah Indonesia menghentikan pembangunan proyek pariwisata di Taman Nasional Komodo.
Menurut Komite Warisan Dunia UNESCO, pembangunan proyek pariwisata di Taman Nasional Komodo oleh pemerintah Indonesia, berpotensi mengancam kelestarian kawasan tersebut.
Hal tersebut terungkap dalam dokumen Komite Warisan Dunia UNESCO bernomor WHC/21/44.COM/7B yang diterbitkan setelah konvensi online pada 16-31 Juli 2021.
Baca juga: Mengenal Taman Nasional Komodo...
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno mengatakan, pemerintah sudah memenuhi permintaan dari UNESCO untuk memperpaiki dokumen Enviromental Index Assesment (EIA) atau AMDAL proyek pariwisata di Pulau Rinca, yang merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo.
"Posisinya (EIA) sudah final dan akan segera dikirimkan kepada Komite Warisan Dunia," kata Wiratno saat dihubungi Kompas.com, Senin (2/8/2021) malam.
Wiratno mengatakan, pihaknya juga berencana mengundang perwakilan dari UNESCO untuk datang dan meninjau langsung ke lokasi.
"Mereka (UNESCO) ingin saya ajak nanti, Agustus atau September, berkunjung sendiri, melihat dan menyaksikan sendiri," kata Wiratno.
Baca juga: Kasus Penyelundupan Satwa Sepanjang 2019, dari Komodo hingga Ayam Aduan
Pembangunan diklaim tidak menggangu konservasi
Wiratno mengatakan, yang menjadi kekhawatiran utama dari UNESCO adalah dampak pembangunan proyek pariwisata terhadap Nilai Universal Yang Luar Biasa (OUV) yang ada di Taman Nasional Komodo, yakni kelestarian satwa langka komodo.
Wiratno mengklaim, pembangunan proyek pariwisata yang saat ini tengah dikerjakan justru akan berdampak positif terhadap upaya konservasi komodo.
"Kita memantau. Pembangunan sarana-prasarana (pariwisata) itu kan sebetulnya di wilayah yang dulu ada sarana-prasarananya tapi ditingkatkan," ujar Wiratno.
"Yang dibangun kan dermaganya. Pengunjung nanti akan langsung berjalan di atas elevated deck, di atas tanah semua, menuju ke satu pusat informasi. Jadi di situ, orang nantinya bisa melihat komodo dari jauh," lanjutnya.
Baca juga: Sudah Dibuka, Berikut Link Daftar Online Wisata Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo
Menurut Wiratno, pembangunan proyek pariwisata di Taman Nasional Komodo (TNK) tidak berdampak besar terhadap upaya konservasi yang selama ini sudah berlangsung.
Dia menambahkan, KLHK juga selalu mengawasi proses pembangunan yang sedang berlangsung, dan bergerak cepat ketika ada kendala yang menyangkut konservasi.
Salah satunya, ketika beberapa waktu lalu terjadi peristiwa seekor komodo berhadapan dengan alat berat yang tengah digunakan untuk pengerjaan konstruksi.
"Itu langsung kita tutup. Semua yang untuk pembangunan itu dipagar, sehingga komodo tidak bisa bersentuhan dengan para pekerja, dan para pekerja juga pekerjaannya tidak terganggu," kata Wiratno.
Baca juga: Trending #SaveKomodo, Ini Sederet Fakta Seputar Komodo
Pengunjung bisa lebih dikontrol
Wiratno mengklaim, pembangunan proyek pariwisata di Taman Nasional Komodo justru membuat kontrol terhadap pengunjung yang datang bisa lebih mudah dilakukan.
Wiratno mengatakan, pada 2019, tercatat ada 123.000 wisatawan yang mengunjungi Taman Nasional Komodo.
"Pusat konsentrasi kunjungan ada di Loh Buaya, di Loh Liang, dan di Pulau Padar yang untuk selfie itu. Itu pengunjungnya 123.000," kata Wiratno.
Wiratno mengatakan, tren kunjungan ke Taman Nasional Komodo terus mengalami peningkatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Baca juga: Melihat Deretan Proyek Jurassic Park di Kawasan Taman Nasional Komodo...
Ia mengatakan, pembangunan proyek pariwisata ini akan mempermudah kontrol terhadap pengunjung yang datang.
"Justru dengan adanya model pembangunan yang ini, kita akan kontrol. Mulai dari jumlah pengunjung, pemusatan pengunjung, hingga perilaku pengunjung," kata Wiratno.
"Kalau di Rinca nanti dia (pengunjung) tidak bisa dekat dengan komodo. Dia harus lihat dari jauh, dan itu yang paling bagus," lanjutnya.
Wiratno mengatakan, nantinya pengunjung akan bisa mengamati komodo dari elevated deck yang langung terhubung dengan dermaga. Fasilitas itu juga akan mendukung wisatawan difabel.
"Karena ini elevated deck, jadi komodo dan kerbau dan satwa lain bisa melintas," ujar Wiratno.
Baca juga: Ramai Soal Jurassic Park, Ini Sejarah Komodo dan Taman Nasional Komodo
Upaya komersialisasi Taman Nasional Komodo
Terpisah, Direktur Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamahu mengatakan, pembangunan proyek pariwisata "Jurassic Park" menunjukkan bahwa pemerintah lebih fokus meningkatkan jumlah wisatawan ke Taman Nasional Komodo ketimbang pada upaya konservasi.
Umbu mengatakan, rencana pemerintah yang baru akan mengundang perwakilan UNESCO untuk meninjau langsung pembangunan proyek pariwisata tersebut, juga menunjukkan bahwa selama ini tidak ada koordinasi di antara keduanya.
"Kan seharusnya diundang sebelum pembangunan-pembangunan ini dijalankan, kan begitu. Bukan pembangunan sudah berjalan, sudah menimbulkan keriuhan di publik, sudah ada keterancaman terhadap ekosistem komodo, baru ngundang UNESCO," kata Umbu saat dihubungi Kompas.com, Selasa (3/8/2021).
Lebih lanjut, ia juga menyoroti model pariwisata yang saat ini tengah dikembangkan oleh pemerintah di Taman Nasional Komodo.
Umbu menilai, pemerintah saat ini tengah mencoba untuk membangun objek pariwisata yang eksklusif dan menihilkan pelibatan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.
Baca juga: Mengintip 6 Destinasi Wisata yang Jadi Hadiah Greysia Polii/Apriyani Rahayu
Wisata eksklusif
Salah satu yang ia soroti adalah pembangunan elevated deck, yang menurut KLHK memudahkan wisatawan untuk mengamati komodo, sekaligus meminimalkan kemungkinan kontak langsung antara manusia dengan komodo.
Akan tetapi, Umbu mengatakan, konsep tersebut justru menihilkan peran pemandu atau ranger lokal, yang selama ini sudah menjalankan tugasnya dengan baik.
Ia menduga, pembangunan elevated deck itu adalah agar lebih banyak wisatawan bisa datang berkunjung ke Taman Nasional Komodo.
Baca juga: Potret Singa di Kebun Binatang Sudan: Kelaparan, Kekurangan Gizi dan Mati
Kebun binatang
Menurut Umbu, selama ini jumlah wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Komodo selalu dibatasi, menyesuaikan jumlah pemandu atau ranger yang ada di lapangan.
Dengan membangun fasilitas pendukung pariwisata yang meminimalkan peran ranger, maka ia menduga pemerintah berencana membuka Taman Nasional Komodo agar dapat dimasuki oleh sebanyak mungkin wisatawan.
"Logika yang dipakai kan biar wisatawan bisa lihat dari jauh. Artinya enggak butuh ranger lagi kan," ujar Umbu.
"Kalau mau cuma lihat begitu ya kita pindahkan saja komodo ke kebun binatang," imbuhnya.
Baca juga: Nasib Kebun Binatang Indonesia Saat Pandemi Virus Corona...
Pariwisata sudah ada dan baik-baik saja
Umbu mengatakan, model pariwisata yang menurutnya saat ini sedang dibangun oleh pemerintah, justru menjauhkan wisatawan dari nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di kawasan Taman Nasional Komodo.
Karena apabila konsep pariwisata yang saat ini dibangun terwujud, maka praktis wisatawan hanya akan datang untuk menyaksikan komodo serta menikmati keindahan alam, tanpa ada interaksi dengan masyarakat setempat.
Baca juga: Soal Karhutla dan Kabut Asap, Walhi: Ini Bencana Ekologis
Pariwisata berbasis kerakyatan
Umbu mengatakan, selama bertahun-tahun kepentingan pariwisata di Taman Nasional Komodo sudah dapat berjalan, termasuk pariwisata berbasis kerakyatan.
Ia mengakui, masih ada beberapa kekurangan dalam hal tersebut, namun kekurangan itu bukan sesuatu yang mustahil untuk diperbaiki.
"Pariwisata kerakyatan sudah jalan, dan itu baik-baik saja selama ini. Bahwa ada kekurangan di sana-sini yang perlu diperkuat lagi, memang benar. Tapi bukan berarti mengambil jalan pintas dengan memberikan ruang besar kepada ranah privat atau ranah swasta untuk mengkapitalisasi ruang-ruang hidup komodo di sana," kata Umbu.
Baca juga: Dari Cikini Pindah ke Ragunan, Kisah Kebun Binatang Pertama di Indonesia