KOMPAS.com - Sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti dua dekade terakhir menyebut bahwa Bumi kini tidak seterang dulu.
Artinya, Bumi telah meredup dalam bukti nyata yang ditemukan beberapa tahun terakhir.
Dikutip dari CNN, Senin (4/10/2021), para peneliti dari Big Bear Solar Observatory telah melakukan pengukuran setiap malam selama 20 tahun terakhir untuk mempelajari siklus Matahari dan tutupan awan.
Pengukuran ini dilakukan menggunakan teleskop yang dapat diperoleh secara umum.
Menurut NASA, mereka melakukan pengukuran ini dengan mengukur "cahaya Bumi" yang terjadi ketika bagian gelap Bulan menangkap cahaya yang dipantulkan Bumi dan mengembalikan cahaya itu
Jumlah cahaya Bumi akan bervariasi dari malam ke malam dan musim ke musim.
Baca juga: Ada yang Mencapai 70 Derajat Celsius, Ini 10 Tempat Terpanas di Bumi
Bumi kian meredup
Adapun metode pengukuran yang dilakukan oleh para peneliti ini memanfaatkan fenomena Earthshine.
Earthshine adalah fenomena yang terjadi ketika cahaya dari Matahari dipantulkan dari Bumi ke sisi gelap Bulan. Kemudian, Bulan memantulkan sebagian kecil cahaya itu kembali ke Bumi.
Mereka yang tinggal dan melihatnya dari Bumi melihat hal ini sebagai pemandangan remang-remang dari sisi gelap Bulan.
Waktu terbaik untuk melihat fenomena Earthshine adalah pada hari-hari di sekitar bulan baru selama bulan-bulan musim semi.
Sementara, tempat yang cocok untuk menyaksikan fenomena ini adalah di belahan Bumi utara.
"Anda melihat seperempat Bulan. Anda dapat melihat seluruh bulan karena tiga perempatnya diterangi dalam cahaya hantu ini," ujar seorang peneliti di Institut Teknologi New Jersey dan penulis utama studi tersebut, Philip Goode.
Goode mengatakan, setelah 20 tahun memantau "cahaya hantu" itu, mereka menemukan bahwa sinar Bumi memudar.
"Ini sebenarnya sinar Matahari yang dipantulkan dari Bumi, dan itulah yang semakin redup," lanjut dia.
Baca juga: 10 Tempat di Bumi yang Jarang dan Tak Terjamah Manusia
Penyebab cahaya Bumi meredup
Penyebab mengapa cahaya Bumi meredup dari tahun ke tahun dijelaskan bahwa Bumi saat ini memantulkan sekitar setengah watt lebih sedikit cahaya per meter persegi, jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu.
Artinya, angka ini setara dengan penurunan 0,5 persen dalam reflektansi Bumi, di mana Bumi memantulkan sekitar 30 persen sinar Matahari yang menyinarinya.
"Banyak dari hal-hal ini yang menjadi kejutan untuk Anda, ini adalah salah satu kejutan itu," ujar Goode.
Ia mengatakan, selama 17 tahun pertama, data terlihat kurang lebih sama, sampai pada titik di mana para peneliti hampir membatalkan sisa penelitian.
"Kami agak enggan untuk melakukan data tiga tahun terakhir karena terlihat sama selama 17 tahun, tetapi akhirnya kami memutuskan untuk kembali mengamati karena kami sudah berjanji pada diri sendiri untuk melakukan hal ini pada 20 tahun data, dan kami mendapatkan hal yang tidak terduga," ucap Goode.
Dalam tiga tahun terakhir, penelitian mereka menunjukkan bahwa cahaya tanah telah turun secara dramatis. Bahkan begitu banyak penurunan, dan mereka pikir data mereka cacat.
"Ketika kami menganalisis data tiga tahun terakhir, itu terlihat berbeda," kata Goode.
"Pantulan telah turun dan turun secara nyata. Jadi kami pikir kami telah melakukan sesuatu yang salah. Jadi kami mengulanginya beberapa kali dan ternyata itu benar," lanjut dia.
Mereka melihat data tidak berkorelasi dengan kecerahan Matahari yang bervariasi karena siklus Mataharinya, yang berarti penyebabnya pasti sesuatu yang lain.
Baca juga: Asteroid Bennu Berpotensi Menabrak Bumi, Ini Kemungkinan Waktunya
Bumi juga semakin panas
Selanjutnya, mereka memperhatikan penurunan tutupan awan. Sinar Matahari dipantulkan dari puncak awan dan dipantulkan kembali ke angkasa.
Ketika ada penurunan tutupan awan, lebih banyak sinar Matahari yang diizinkan masuk.
“Bumi semakin panas karena cahaya yang dipantulkan berkurang, sehingga semakin banyak sinar matahari yang masuk, dalam spektrum yang terlihat,” kata Goode.
Penurunan tutupan awan terbesar terjadi di pantai barat Amerika Utara dan Selatan.
Wilayah yang sama di mana suhu permukaan laut meningkat, akibat pembalikan kondisi iklim yang disebut Pacific Decadal Oscillation (PDO).
PDO adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada fluktuasi suhu laut jangka panjang di seluruh Samudera Pasifik.
Saat lautan menghangat dan mendingin di tempat yang berbeda, hal itu memiliki dampak langsung pada jalur aliran jet.
Pergeseran aliran jet ini berdampak langsung pada kondisi cuaca dan iklim jangka panjang, terutama di pantai barat Amerika Utara dan Selatan.
"Di lepas pantai barat Amerika, awan dataran rendah terbakar habis dan lebih banyak sinar Matahari masuk, jadi seperti yang kita lihat, pantulan Bumi telah turun," kata Goode.
Ia mengatakan, hal itu akan berdampak langsung pada pemanasan Bumi yang lebih cepat.
Akibatnya, Bumi akan mendapatkan setengah watt ekstra per meter persegi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.