KOMPAS.com - Hari ini 74 tahun yang lalu, tepatnya 29 November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat resolusi untuk menyelesaikan konflik di Palestina.
Majelis Umum PBB menyarankan pembagian negara-negara Arab dan Yahudi, dengan Yerusalem sebagai entitas terpisah.
Resolusi itulah yang dianggap oleh komunitas Yahudi di Palestina sebagai dasar hukum pendirian Israel.
Namun, konflik antara Palestina dan Israel tak kunjung terselesaikan.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Runtuhnya Jembatan Kartanegara, 23 Orang Tewas dan 13 Hilang
Akar permasalahan
Ketegangan antara Palestina dan Israel masih terjadi hingga kini.
Melansir Britannica, Senin (29/11/2021), semua berawal saat Palestina ada di bawah pemerintahan Inggris Raya sejak 1922.
Sejak saat itu, imigrasi Yahudi ke wilayah itu meningkat. Ketegangan antara orang-orang keturunan Arab dan Yahudi pun turut meningkat.
Pada April 1947, karena kelelahan akibat Perang Dunia II dan semakin berniat menarik diri dari kawasan Timur Tengah, Inggris merujuk masalah Palestina ke PBB.
PBB pun membentuk Komite Khusus untuk Palestina (UNSCOP), sebuah komite penyelidikan yang terdiri dari anggota dari 11 negara.
UNSCOP menyampaikan dua proposal. Mayoritas merekomendasikan adanya dua negara terpisah bergabung secara ekonomi. Sementara, sebagian mendukung pembentukan dwinegara tunggal yang terdiri dari wilayah otonomi Yahudi dan Aran.
Komunitas Yahudi menyetujui proposal pertama ini, sementara orang-orang Arab menentang keduanya.
Proposal untuk membagi Palestina berdasarkan versi modifikasi dari laporan mayoritas UNSCOP, diajukan ke pemungutan suara Majelis Umum pada 29 November 1947.
Setelah periode lobi yang intens, resolusi itu disahkan dengan 33 suara mendukung, 13 menentang, dan 10 abstain.
Resolusi itu jadi dasar Israel mendirikan negaranya sendiri. Sementara, ketegangan dengan Palestina belum terselesaikan.
Konflik masih terjadi
Belakangan, Palestina dan Israel kembali panas. Kali ini memperebutkan permukiman di dekat Yerusalem.
Melansir Al Jazeera, 25 November 2021, Israel telah memberikan persetujuan awal untuk rencana yang akan memperluas batas kota Yerusalem dengan membangun ribuan rumah pemukiman ilegal baru di Yerusalem Timur.
Daerah itu terjepit di antara lingkungan Palestina Beit Hanina, dan pos pemeriksaan militer Qalandiya, yang memisahkan Yerusalem dari kota pusat Palestina Ramallah.
Situs tersebut pernah menjadi rumah bagi bandara Qalandiya, tetapi ditutup setelah letusan Intifada kedua pada tahun 2000.
Rencananya, ada 3.000 rumah yang akan dibangun, dengan rencana pengembangan menambah 6.000 rumah.
Meski demikian, permukiman Israel ini dianggap ilegal menurut hukum internasional.
Berdasarkan Kesepakatan Oslo tahun 1993, bagian di wilayah Yerusalem Timur merupakan ibu kota Palestina yang terdiri dari Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sementara, Israel mengklaim seluruh kota Yerusalem sebagai ibu kotanya yang tak terpisahkan.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Charles Darwin Terbitkan Teori Asal-usul Spesies
Pembicaraan damai yang disponsori Amerika Serikat (AS) antara kedua pihak terhenti pada 2014. Sejak itu, AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, tanpa secara eksplisit mendukung klaimnya untuk semua kota.
Ada sekitar 700.000 orang Yahudi Israel tinggal di pemukiman di Tepi Barat yang diduduki dan Yerusalem Timur. Namun, Kedutaan Besar AS di Yerusalem tidak kunjung berkomentar.
Ekspansi permukiman Israel di Tepi Barat yang diduduki dan Yerusalem Timur ini terus berlanjut sejak 1967.
Namun, konstruksi dipercepat dalam beberapa tahun terakhir di bawah mantan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dengan ledakan signifikan selama Pemerintahan Trump di AS, yang dituduh oleh warga Palestina sebagai bias pro-Israel.
Hari Solidaritas Internasional untuk rakyat Palestina
Ketegangan Israel dan Palestina berimbas pada kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang menjadi korban konflik kedua negara tersebut.
Akhirnya, pada 29 November 1978, UNESCO menetapkan hari solidaritas internasional untuk rakyat Palestina.
Tanggal 29 November dipilih karena bertepatan dengan terbitnya resolusi 181.
Peringatan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat internasional untuk memusatkan perhatiannya pada fakta bahwa masalah Palestina masih belum terselesaikan dan bahwa rakyat Palestina belum mendapat hak-hak mereka.
Hak yang dimaksud yakni hak untuk menentukan nasib sendiri tanpa campur tangan pihak luar, hak atas kemerdekaan dan kedaulatan nasional, dan hak untuk kembali ke rumah dan harta benda mereka, dari mana mereka telah dipindahkan.
UNESCO mengajak masyarakat dunia untuk bersama-sama melawan segala bentuk rasisme dan kebencian agar semua manusia bisa hidup dalam harmoni dan keamanan.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Badai di Kuba Tewaskan Lebih dari 3.000 Nyawa
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.