KOMPAS.com - Dugaan kebocoran data pribadi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, viral di media sosial dalam beberapa hari ini.
Hal itu setelah beredar foto dokumen kependudukan milik Susi, yakni surat permohonan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang menjadi bungkus gorengan.
Warganet kemudian mempertanyakan keamanan data pribadi dan khawatir kemudian disalahgunakan.
Baca juga: Viral, Foto Dokumen Dukcapil Susi Pudjiastuti Jadi Bungkus Gorengan
Pengelolaan dokumen masih kurang
Pengamat teknologi informasi (TI) yang juga pakar forensik digital, Ruby Alamsyah, mengatakan, menurutnya kebocoran dokumen kependudukan yang menimpa Susi merupakan kesalahan dari pihak penyimpan data tersebut.
Menurut Ruby, pihak penyimpan dokumen kependudukan milik Susi itu tidak memusnahkan dengan benar data yang sudah tidak diperlukan.
"Kesalahan dokumen Bu Susi itu adalah kesalahan pihak yang menyimpan data tersebut. Lalu data tersebut, misalnya, sudah tidak dipakai lagi, mereka buang saja ke tempat sampah atau ke mana gitu," ujar Ruby, saat dihubungi Kompas.com, Senin (27/12/2021).
"Padahal kan ada dumpster collection tuh, mendapatkan data-data pribadi dari tempat sampah, kertas-kertas gitu kan. Nah, mestinya kalau ada SOP yang benar seperti tadi tuh, dia akan men-destroy (menghancurkan) data tersebut pakai shredder (pencacah)," katanya lagi.
Ruby mengatakan, permasalahan semacam ini seharusnya dapat dicegah jika rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) disahkan menjadi UU.
Baca juga: Dokumen Kependudukan Susi Pudjiastuti Jadi Bungkus Gorengan dan Perlindungan Data Kita...
Tanggung jawab penyimpan data
Menurut Ruby, karena UU PDP masih belum disahkan, maka terkesan seolah tanggung jawab penyimpanan data-data pribadi adalah tanggung jawab warga itu sendiri.
"Tetapi nanti kalau undang-undang itu sudah ada, pihak mana pun yang menyimpan dan memproses data-data pribadi masyarakat itu, mereka harus tanggung jawab juga," jelas dia.
Ruby mengatakan, seyogianya pihak-pihak yang menyimpan data pribadi masyarakat harus melindung data tersebut semaksimal mungkin.
"Dan kalau mau menghapus atau merusak data-data lama, itu diperlukan SOP yang tepat untuk menghancurkan data pribadi tersebut," kata Ruby.
Ia menyebutkan, penghapusan data pribadi harus dilakukan dengan cara yang tepat.
"Kalau di komputer atau secara digital, itu harus menghapus dengan teknik wiping. Kalau data pribadi masyarakat itu berbentuk fisik, SOP-nya adalah harus dirusak secara penuh dan tidak bisa dibaca atau direkonstruksi," jelas dia.
Baca juga: Tanggapi Dokumen Pribadi Jadi Bungkus Gorengan, Susi Pudjiastuti: Harus Protes ke Mana, ke Siapa?
Regulasi pengelolaan dokumen
Terpisah, Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi mengatakan, pengaturan tata cara pengelolaan data pribadi dalam sistem elektronik telah diatur melalui beberapa ketentuan.
Ia menyebutkan, beberapa ketentuan yang mengatur tentang hal tersebut, antara lain:
- UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta perubahannya
- PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
- Peraturan Menteri Kominfo No. 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik
Dedy mengatakan, ketentuan-ketentuan tersebut mengatur hal-hal terkait prosedur pemrosesan data pribadi, penyimpanan data pribadi, hingga pemusnahan data pribadi.
"Selain ketentuan di atas, pengaturan pengelolaan data pribadi dalam sistem elektronik juga turut diatur oleh beberapa regulasi sektoral yang diatur oleh Kementerian/Lembaga terkait," kata Dedy, melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (27/12/2021).
Menurut Dedy, beberapa instansi pemerintah telah menerbitkan regulasi sektoral terkait pemrosesan, penyimpanan, hingga pemusnahan data pribadi.
"Sebagaimana yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk penyelenggara jasa keuangan, dan Kementerian Kesehatan untuk para tenaga kesehatan dan pengelola fasilitas pelayanan kesehatan," ujar Dedy.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.