Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presidential Threshold, Alasan Penerapan dan Potensi Lahirnya Oligarki

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS
Ilustrasi
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Presidential threshold adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Alasan penerapan presidential threshold

Dikutip dari Kompaspedia, aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold itu diberlakukan dengan sejumlah tujuan.

Salah satunya yang pertama adalah mmemperkuat sistem presidensial.

Dalam sistem presidensial, presiden dan wakil presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat akan memiliki kedudukan yang kuat secara politik.

Hal itu membuat presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan secara mudah karena alasan politik.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan kedua, penerapan presidential threshold adalah demi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Jika sistem itu tidak diterapkan, bisa saja presiden dan wakil presiden yang terpilih diusung oleh partai atau koalisi partai politik yang jumlah kursinya bukan mayoritas di parlemen.

Jika hal itu terjadi, maka kemungkinan besar presiden dan wakil presiden sebagai lembaga eksekutif bakal kesulitan dalam menjalankan pemerintahan karena bakal diganggu oleh koalisi mayoritas di parlemen.

Terakhir, alasan penerapan presidential threshold adalah demi menyederhanakan sistem multipartai melalui seleksi alam.

Baca juga: Pengertian Presidential Threshold dan Alasan Penerapannya

Gugatan presidential threshold

Sejak Pemilu 2019, sistem pencalonan presiden menganut presidential threshold yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dalam Pasal 222, disebutkan bahwa pencalonan presiden mensyaratkan 20 persen kursi DPR atau 25 persen total perolehan suara sah nasional berdasarkan pemilu sebelumnya.

Artinya, partai yang mendapatkan suara sah nasional di bawah 25 persen, tak bisa mencalonkan presiden.

UU ini pun berkali-kali digugat ke Mahkamah Konsititusi (MK). Namun, tak ada satu pun yang berhasil.

Terbaru, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menggugat presidential threshold karena membatasi gerak mereka untuk membentuk koalisi.

Selain menghambat penentuan koalisi, PKS menilai sistem ambang batas itu menyulitkan warga negara yang ingin maju sebagai calon presiden.

Lantas, apa dampak penerapan sistem ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ini pada demokrasi?

Baca juga: PKS Gugat Presidential Threshold ke MK, Akui Tak Leluasa Bentuk Koalisi

Kartel politik

Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan, sistem presidential threshold menurutnya menimbulkan keistimewaan bagi partai-partai tertentu.

Sebab, hanya partai-partai yang memenuhi ambang bataslah yang bisa berkompetisi secara langsung dalam pemilihan presiden.

Menurutnya, previlege ini yang melahirkan kartel politik.

"Buruknya bagi demokrasi adalah menghilangkan kompetisi yang setara bagi semua calon potensial untuk ikut dalam pemilihan presiden," kata Bivitri saat dihubungi Kompas.com, Selasa (12/7/2022).

Selain itu, tiket pencalonan yang berasal dari pemilu sebelumnya juga dinilai tak logis.

Sebab konfigurasi politik adalah hal yang dinamis. Karena itu, sangat mungkin untuk berubah tidak hanya dalam waktu lima tahun, tapi juga satu tahun.

Baca juga: Gugatan PBB soal Presidential Treshold Ditolak, Yusril: MK Kini Guardian of The Oligarchy

Lahirnya oligarki

Bivitri menuturkan, adanya kartel politik tersebut kemudian membawa para pemodal besar untuk masuk ke lingkaran pemerintah.

Para pemodal ini yang menurutnya bisa memberi dukungan dana kepada calon yang harus melobi partai politik yang memiliki tiket.

"Padahal kan enggak ada gratisan. Orang-orang yang memberi modal ini akan mengharapkan balas budi kalau orang yang didukung sudah terpilih jadi presiden," ujarnya.

"Di sinilah terbukanya peluang besar untuk lahirnya oligarki," lanjutnya.

Baca juga: Koalisi Parpol Diprediksi Tak Banyak Berubah meski Uji Materi soal Presidential Threshold Dikabulkan MK

Warga hanya penonton

Ia menjelaskan, sistem ambang batas ini juga dapat membatasi pilihan warga.

"Kita jadi hanya disodorkan orang-orang yang mendapatkan tiket karena alasan-alasan yang sebenarnya juga tidak rasional, misalnya siapa yang kuat," jelas dia.

Bagi Bivitri, akan sulit bagi pihak yang tidak memiliki modal besar dan akses kuat untuk bisa bernegosiasi dengan ketua-ketua partai politik yang memiliki tiket untuk maju.

"Jadinya kita-kita ini warga biasa seperti penonton saja, nanti tinggal disodorin siapa yang cocok," ujarnya.

Menurutnya, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerapkan sistem ambang batas ini.

Oleh karena itu, Bivitri menilai penghapusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden harus dihapus.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi