Oleh: Zen Wisa Sartre dan Fandhi Gautama
KOMPAS.com - Bisa dikatakan RUU TPKS merupakan angin segar untuk masyarakat Indonesia, khususnya perempuan. Pasalnya, Bintang Puspayoga, selaku Menteri PPPA, mengungkapkan terdapat 10.247 kekerasan terhadap perempuan yang 15,2 persennya adalah kekerasan seksual.
Kekerasan seksual sendiri adalah tindak kejahatan yang merusak harkat dan martabat manusia. Berdasarkan yuridis, kejahatan adalah perbuatan yang dilarang dan pelaku dapat dijatuhi hukuman yang diatur undang-undang.
Aiman Witjaksono, Jurnalis KompasTV, dalam siniarnya bertajuk “Berlindung dari Kekerasan Seksual dengan RUU TPKS” memaparkan dampak positif dari diresmikannya RUU TPKS.
Maraknya Kasus Kekerasan
Apakah RUU TPKS sudah sempurna? Tentu belum. Akan tetapi, RUU TPKS menjadi perwujudan peran negara dalam memberi proteksi semua warga negara yang sudah tertuang pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, khususnya pada alinea keempat.
Lahirnya RUU TPKS menjawab keresahan korban kekerasan seksual, seperti tidak adanya kedudukan hukum terkait keadilan dan perlindungan untuk korban. Dulu, korban kekerasan enggan melapor karena tak ada payung hukum yang melindungi mereka.
Padahal, Menteri PPA mengungkapkan ada begitu banyak kekerasan terhadap perempuan, baik yang terlapor dan tidak. Itu sebabnya, hal ini menjadi pemantik terbentuknya RUU TPKS.
Kenyataannya, kekerasan dan pelecehan yang merujuk pada seksualitas masih dianggap tabu dan aib oleh masyarakat. Tidak sedikit korban yang menerima kekerasan dan pelecehan seksual malah disalahkan, terutama perempuan.
Baca juga: Fenomena Dinasti Politik di Indonesia
Persepsi negatif atas perempuan sebagai korban kekerasan dan pelecehan seksual ini terkait dengan masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut budaya patriarki.
Budaya patriarki menempatkan perempuan di posisi inferior dibandingkan laki-laki. Inferioritas yang melekat pada perempuan ini menyebabkan laki-laki lebih mendominasi. Sementara itu, perempuan hanya dipandang melalui penampilannya.
Contohnya, perempuan yang bersolek dan tampil di publik dengan pakaian terbuka akan dianggap mengundang perilaku kekerasan dan pelecehan seksual. Pelabelan ini menjadi dasar atas masyarakat yang cenderung menyalahkan perempuan sebagai korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Pelabelan tersebut menunjukkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai perbedaan antara jenis kelamin dan gender yang memperparah keadaan.
Selalu Dinomorduakan
Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949) mengungkapkan bahwa perempuan tidak lahir sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan. Berdasarkan ungkapan Simone tersebut, perempuan lahir sebagai manusia yang kemudian dikonstruksi dengan pelbagai nilai dan moral sehingga menjadi perempuan.
Nilai dan moral “perempuan” ini salah satunya dapat terlihat pada pemaksaan pernikahan antara korban dan pelaku pemerkosaan.
Korban pemerkosaan dianggap aib sehingga masyarakat berpikir kalau menikah dapat menyelesaikan permasalahan. Sayangnya, pernikahan yang dipaksakan tidak membantu korban karena korban terus berada di sekitar pelaku sehingga psikisnya terus tertekan.
Tidak sedikit korban pemerkosaan yang menderita, depresi lalu melakukan bunuh diri. Salah satunya adalah perempuan asal Mojokerto, Jawa Timur, berinisial NW (23). Dia menenggak racun di atas pusara ayahnya, Kamis (2/12/2021). Tidak lama setelah itu, NW pun tewas.
Setelah diadakan penyelidikan, aksi bunuh diri tersebut disebabkan oleh rasa depresi karena telah diperkosa pacarnya yang berinisial RB (21). Mengetahui NW hamil, RB menyuruh untuk menggugurkan kandungannya.
Desakan juga muncul dari keluarga RB karena takut menghancurkan karier RB. Bahkan, NW dituding menjebak RB agar dinikahi.
Baca juga: Manfaat Tinggal di Desa
Oleh sebab itu, DPR RI, sebagai wakil rakyat, memang sudah seharusnya membuat Pasal 10 UU TPKS yang menyatakan bahwa pelaku tindak pidana pernikahan paksa terancam pidana 9 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta.
Dengan adanya RUU TPKS juga diharapkan masyarakat sadar bahwa kekerasan dan pelecehan seksual bukanlah sesuatu yang enteng dan tidak penting. Kekerasan dan pelecehan seksual sama jahatnya layaknya pembunuhan dan perampokan karena ada korban yang dirugikan, diambil haknya, dan menderita.
Selain itu, RUU TPKS juga merangkul korban kekerasan seksual secara verbal, seperti kalimat yang sifatnya merendahkan, membuat risih, dan tertekan.
Mungkin bagi beberapa orang hal itu adalah candaan. Akan tetapi, kalimat-kalimat tersebut menunjukkan adanya kecenderungan kepemilikan tubuh dan objektivikasi atas perempuan.
Dengarkan investigasi-investigasi eksklusif dan menarik lainnya yang dilakukan Aiman dalam siniar Aiman Witjaksono.
Ikuti siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap episode terbarunya. Akses sekarang juga episode “Berlindung dari Kekerasan Seksual dengan RUU TPKS” melalui tautan berikut.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.