“IDEALISME adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda” – Tan Malaka (1897 – 1949).
Membaca selarik kalimat di atas, kerap menjadi tanya dan ragu dalam benak saya melihat kehidupan dewasa ini. Setiap masa, kita selalu dipacu untuk menjadi yang terpandai dalam setiap babak pendidikan.
Begitu usai menamatkan pendidikan, kita dihela terus untuk mendapat pekerjaan dan kedudukan. Hidup ternyata tidak seindah cerita dongeng sebelum bobo malam. Hidup begitu keras di era materialisme adalah segalanya dan kedudukan harus direbut walau harus “menginjak” dan “menyogok”.
Sukses dalam kehidupan selalu dicitrakan harus kaya, wangi, punya kedudukan dan dipuja. Mungkin saya sedikit beruntung, karena hidup dalam tempaan kemiskinan tetapi bisa bangkit untuk mencapai tahap kemandirian.
Baca juga: Sejarah dan Isi Sumpah Pemuda, WR Supratman Tampilkan Lagu Indonesia Raya
Saya begitu muak dengan periode zaman Orde Baru yang saya lewati. Menyaksikan hedonisme hidup, di mana “bento” merajalela. Kekayaan dan kedudukan bersumber di lingkar kuasa rezim tiran.
Ketika kuasa arus informasi dipusatkan di satu rezim, ketika pusaran ekonomi dimiliki oleh satu grup dan kuasa politik dikangkangi rezim, maka rakyat dan saya yang hidup ketika itu menjadi terbelenggu.
Jatuhnya rezim “daripada” Soeharto menjadi titik kulminasi harapan dan perubahan akan segera terjadi. Rentetan peralihan zaman, dari Habibie, Gus Dur, Megawati hingga SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) harus kita lalui agar kita mendapatkan masa gilang gemilang.
Di zaman yang diagung-agungkan dengan revolusi mental pun, ternyata jauh panggang dari api. Kita masih terus bergulat dengan persoalan bangsa yang tiada habisnya, yakni kurangnya keteladanan.
Bagaimana kita bisa beroleh keteladanan jika sosok yang mengaku bisa diteladani ternyata masih butuh direvolusi mentalnya ? Bagaimana bisa korupsi diberantas jika digunakan sapu yang kotor untuk membersihkan lantai yang jorok ?
Bagaimana penyalahgunaan narkoba bisa ditumpas habis jika pak polisinya malah menukar barang bukti narkoba dengan tawas lalu di”lego-nya” dengan harga mahal? Masih relevankah nilai-nilai Sumpah Pemuda 1928 dalam konteksual zaman sekarang ini?
Pendidikan yang dikatakan maju dengan program belajar merdeka, harus diakui belum membebaskan kreativitas anak didik. Dunia kerja yang semakin “syusah” dicari dan didapat, juga diciptakan karena rezim yang berkuasa tidak bisa menciptakan lapangan kerja alternatif
Memaknai Sumpah Pemuda 1928Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat, hingga menghasilkan Sumpah Pemuda.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng, Jakarta. Dalam taklimatnya, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda.
Baca juga: 5 Fakta Menarik Sumpah Pemuda yang Mungkin Belum Anda Ketahui
Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, Jakarta, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia” karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres.
Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia, berbunyi (Museumsumpahpemuda.kemendikbud.go.id) :
Pertama
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia,
Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe,
Tanah Indonesia.
Kedoea.
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia,
Mengakoe Berbangsa Jang Satoe,
Bangsa Indonesia.
Ketiga.
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia,
Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean,
Bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda yang diucapkan para pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan pada tanggal 28 Oktober 1928 tersebut bukan hanya mampu menggerakkan para pemuda untuk menggapai kemerdekaan tetapi juga mengokohkan jatidiri bangsa Indonesia sebagai sebuah negara.
Sumpah Pemuda 1928 adalah rentetan jalannya sejarah panjang dari sebuah bangsa untuk ingin lepas dari cengkeraman kolonial. Dari babad perjuangan awal abad 20, bisa dirunut dari lahirnya organisasi pergerakan nasional pertama Budi Oetomo di tahun 1908.
Lahirnya Budi Oetomo memantik munculnya gairah membuat organisasi kepemudaan lokal seperti; Tri Koro Dharmo atau Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lain-lain.
Dengan gagasan perjuangan yang berbeda-beda, beragam kelompok kepemudaan daerah memiliki tujuan yang sama yakni kemerdekaan bangsa. Lahirnya beragam organisasi tersebut juga menjadi cikal bakal berdirinya organisasi politik yang bertujuan memperjuangkan kemerdekaan melalui jalan politik.
Kongres Pemuda I yang diadakan di Jakarta, 30 April – 2 Mei 1926 sebagai cikal bakal dihelatnya Kongres Pemuda II berhasil menanamkam kesadaran kerja sama antar perhimpunan yang mulai tumbuh di mana-mana karena gairah ingin merdeka.
Peneguhan akan cita-cita persatuan Indonesia, terus membuncah sejak saat itu.
Relevansi Sumpah Pemuda 1928 dengan Era KekinianHarus diakui, semangat dan elan persatuan di kalangan anak muda kita sangat ini harus terus dirawat dan diruwat. Dampak globalisasi, hedonisme, hilangnya keteladanan, terkikisnya nilai-nilai kebinekaan ditambah tidak meratanya pendidikan, kemiskinan dan lain-lain menjadi “pekerjaan rumah” dari siapa pun yang peduli dengan rasa ke-Indonesia-an.
Begitu prihatin, hanya karena senggolan, sejumlah taruna saling baku pukul usai acara pelantikan terpadu perwira transportasi Kementerian Perhubungan di Monas, Jakarta, pada 25 Oktober 2022. Kejadian yang memalukan tersebut terjadi di kalangan pemuda yang dididik dengan baik di institusi pemerintah.
Korsa dan semangat taruna-taruni menjadi hilang hanya karena persoalan sepele (Kompas.com, 26/10/2022).
Baca juga: Sejarah Sumpah Pemuda dan Lahirnya Bahasa Indonesia
Mau adu nyali, cobalah datang ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Setiap saat kita begitu khawatir dengan aksi pembusuran dari anak-anak muda yang “iseng” membidik secara random orang yang berlalu lalang di jalanan Kendari. Terakhir, Rian (28) warga Jatimekar, Kendari dibusur atau dipanah oleh remaja tanggung karena persoalan teguran.
Sejak Juli hingga Oktober 2022, kurang lebih 10 kasus pembusuran secara random terjadi di Kendari, seakan yang dipanah bukan sebagai sesama anak bangsa.
Tengoklah Papua dan Papua Barat, aksi-aksi kekerasan masih kerap terjadi. Perbedaan keriting rambut dan legamnya kulit seharusnya tidak menjadi pembeda. Merekalah adalah saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
Saat mengunjungi Pos Lintas Batas Negara di Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang menjadi pintu masuk perbatasan Indonesia dengan Sarawak, Malaysia, pertengahan Oktober 2022 lalu, saya begitu bangga dengan prajurit-prajurit muda dari Batalyon Infanteri 645/Garda Tama Yudha. Begitu besar pengabdiannya mempertahankan setiap jengkal wilayah NKRI.
Mereka bertugas selama 12 bulan, mengamankan garis batas Temajuk hingga Guna Banir yang memanjang dari Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang hingga Kabupaten Sanggau.
Ketika saya melihat kiprah anak muda bernama Mauludin Wamoi asal Kaimana, Papua Barat yang menamatkan pendidikan di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, Riau yang terus berkelana menyebarkan pemahaman literasi di kalangan muda di seantero negeri, saya masih berkeyakinan, semangat Sumpah Pemuda itu terus ada.
Melihat semangat kiprah alumni Jurusan Perpustakan dan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo, Kendari, Erviana Hasan asal Konawe Selatan yang selalu menebarkan puisi-puisi keindahan, kerja sosial dan membagi pengetahuan kekalangan duafa, saya semakin yakin masih ada anak-anak muda yang peduli dengan kondisi masyarakatnya.
Dan, saya semakin optimis ketika ada sosok perempuan yang bernama Sitya Giona Nur Alam yang peduli dengan politik dan “berani” bertarung dalam dominasi maskulinitas politik. Sitya ingin mewakafkan dirinya dan mau melepaskan kemapanannya dengan menjadi Calon Walikota Kendari.
Bukan materi yang dia cari tetapi tekadnya untuk memperbaiki Kendari, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara agar menjadi kota yang bisa mengayomi segala perbedaan demi perbaikan kehidupan warga.
"Jikalau aku misalnya diberikan dua hidup oleh Tuhan, dua hidup ini pun akan aku persembahkan kepada Tanah Air dan bangsa".
Jika Bung Karno saja rela berkorban untuk bangsa dan negaranya, masih adakah pemuda-pemudi kita terlena dengan buaian materi, keterkenalan, hedonisme dan ego pribadi serta golongan? Perjalanan sejarah bangsa ini begitu panjang, sayang kita berbelah hanya demi kepentingan sesaat.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.