KOMPAS.com - Sebuah unggahan berisi informasi mengenai adanya beberapa barang bekas dalam kondisi kotor yang dijual di e-commerce viral di media sosial pada Minggu (22/1/2023).
"Dunia udah gila," tulis pengunggah dalam twitnya.
Adapun barang bekas yang tertera dalam unggahan yakni masker jogging pendek, kaus kaki, stocking bekas pakai pribadi, hingga celana dalam wanita kondisi pernah pakai.
Diketahui, barang-barang yang dijual masih dalam kondisi belum dicuci, dan kotor.
Selain itu, harga yang ditawarkan oleh penjual dinilai cukup mahal yakni mulai Rp 80.000 sampai Rp 350.000 per barang.
Hingga Jumat (27/1/2023), twit itu sudah dikutip sebanyak 3.261 kali dan disukai sebanyak lebih dari 26.300 kali oleh pengguna Twitter lainnya.
Lalu, apa pemicu seseorang mau menjual barang bekas mereka dalam kondisi kotor dan tanpa dicuci?
Dan apa yang membuat orang lain ada yang mau membeli barang bekas kotor tersebut?
Baca juga: Viral, Video Satelit Amerika Falconsat-3 Melintas di Gunung Merapi, Apa Dampaknya?
Penjelasan psikolog
Ada dua sisi yang harus dilihat dari fenomena jual beli barang bekas dalam kondisi kotor, yakni dari sisi penjual dan pembeli.
Psikolog sosial dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Hening Widyastuti mengatakan, untuk sisi penjual ada sejumlah pemicu atau hal yang membuat mereka menjual barang-barang kotor.
"Ini jelas penjual mengedepankan ekonomi, dalam artian hanya keuntungan semata yang mereka kedepankan," ujar Hening saat dihubungi Kompas.com, Jumat (27/1/2023).
"Penjual juga tidak mencuci barang yang dijual mereka karena nanti mereka mengeluarkan modal/uang lagi, jadi bagi mereka adalah suatu pengeluaran uang," lanjut dia.
Menurut Hening, hal itu sangat disayangkan karena penjual seharusnya memperhatikan kebersihan.
Namun, karena penjual mungkin hanya mengedepankan keuntungan, sehingga penjual mengabaikan nilai-nilai moral yang seharusnya.
"Jadi mereka pun mengabaikan nilai-nilai moral yang harusnya, soal mereka memikirkan kebaikan juga termasuk hygiene kepada pembelinya, tapi itu mereka abaikan, seolah-olah tidak ada hati nuraninya ya," ucap Hening.
Baca juga: Ramai soal Jualan Pakaian Dalam Bekas Pakai di E-commerce, Psikolog Singgung “Fetish”
Etika vs demand
Sementara itu, psikolog klinis dari Ohana Space, Veronica Adesla mengatakan menjual barang dalam kondisi tidak layak pakai kemungkinan bisa karena beberapa hal, seperti:
1. Orang yang menjual tidak tahu etika ini sehingga asal menjual, siapa tahu ada yang mau beli dan dapat uang.
2. Tahu etikanya tapi tidak ada salahnya coba-coba, kalau ada yang beli syukur kalau tidak ya sudah.
3. Ada permintaan (demand) di pasar yang mau beli barang seperti demikian, entah misalnya karena preferensi atau minat yang aneh dan tidak wajar, atau karena untuk kepentingan lainnya seperti misalnya properti membuat film.
Baca juga: Viral Orang dengan Fetish Serbet Dapur Beraksi di Media Sosial, Ini Kata Seksolog
Meski begitu Vero pun mempertanyakan, apakah menjual barang bekas tidak layak pakai seperti itu merupakan tindakan yang wajar.
"Biasanya barang bekas pakai masih layak pakai yang dijual dengan harga mahal itu adalah barang-barang milik aktor/aktris/public figure yang memiliki nilai tinggi," ujar Vero saat dihubungi secara terpisah oleh Kompas.com, Jumat (27/1/2023).
Selain itu, Vero menambahkan, demand (permintaan) penjualan barang-barang bekas tidak layak pakai itu kemungkinan menyangkut pemikiran yang aneh dan tidak wajar.
"Antara ada demand yang aneh enggak wajar atau bisa juga karena yang menjual memliki pemikiran yang aneh dan enggak wajar sehingga menjual barang demikian," kata dia.
Terlepas apakah itu kelainan kejiwaan atau tidak, tidak ada salahnya melakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait kondisi psikologis atau kesehatan mentalnya.
Baca juga: Ramai soal Duck Syndrome, Terlihat Bahagia padahal Jiwa Teraniaya
Dari sisi pembeli barang bekas kotor
Hening menjelaskan mengenai faktor yang membuat pembeli mau membayar dengan harga cukup mahal untuk barang bekas kondisi kotor.
Pertama, pembeli menginginkan barang yang branded atau bermerek meski itu kotor sekali pun. Sebab, barang branded bekas memiliki harga jual yang jauh lebih murah ketimbang harga barunya.
"Jadi mereka ingin mengejar sebuah gengsi/brand yang notabene adalah barang impor dan bekas, yang berisiko tinggi bagi kesehatan dan sangat berbahaya karena bisa menularkan bakteri dan virus, tapi mereka tetap membeli," ujar Hening.
Kemudian dalam suatu kasus, ada komunitas atau kelompok yang memakai barang-barang branded. Inilah yang memicu faktor kedua, yakni karena lifestyle atau gaya hidup.
"Bisa juga karena lifestyle atau ikut-ikutan teman, kalau dia tidak memakai barang brand itu kepercayaan dirinya rendah," ujar Hening.
"Jadi, untuk menyiasati isi kantongnya yang sedikit, akhirnya mereka memaksakan diri membeli barang bekas yang secara kesehatan berisiko tinggi menularkan berbagai macam penyakit," imbuh dia.
Terkait fenomena ini, Hening menganjurkan kepada masyarakat untuk bijak dalam membeli.
Jika ada barang bekas seperti daleman yang tidak cuci sebaiknya tidak usah dibeli, atau kita harus upayakan untuk mencucinya terlebih dulu menggunakan desinfektan khusus.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.