SETELAH ulat keket (Kompas.com, 31/12/2022), hewan selanjutnya yang dijadikan asosiasi terhadap manusia ialah kutu loncat.
Ungkapan ini muncul sebagai bentuk respons terhadap Immanuel Ebenezer yang dinilai relawan sebagai kutu loncat, namun tidak akan memengaruhi perjuangan relawan Ganjar Lainnya.
Immanuel Ebenezer sebelumnya memberikan pernyataan terkait pembubaran Ganjar Pranowo (GP) Mania yang diketuainya.
Teddy Mulyadi, Wakil Ketua Umum Seknas Ganjar Indonesia (SGI), menilai bahwa tindakan Immanuel sebagai tren baru dalam bidang politik.
“Bukan hanya di parpol saja, kutu loncat ternyata juga ada di relawan,” ujarnya (Indopos, 09/02/2023).
Berkaitan dengan ulat keket, jenis hewan ini berkonotasi positif dalam konteks menghasilkan sutra saat dewasa. Lantas, apa kontribusi kutu loncat sehingga diasosiasikan serupa?
Saat kita melakukan pencarian di Google dengan mengetikkan kata kunci “kutu loncat”, laman akan diarahkan pada gambar hewan mungil mengarah kecil. Hewan ini termasuk ke dalam jenis serangga anggota suku Psyllidae.
Bila serangga lain menjadikan daun sebagai konsumsi utamanya, kutu loncat ini menyasar cairan tumbuhan.
Perilaku mereka itulah yang menyebabkan gelar hama berbahaya disematkan pada suku mereka. Bahkan, banyak pihak yang gencar menjual racun pembasminya.
Pernyataan Teddy Mulyadi bahwa kutu loncat ini tidak hanya ada di partai politik saja, namun juga di relawan, mengingatkan kita pada habitat hidup si serangga ini.
Sesuai namanya, kutu loncat ini tidak bersayap sehingga bergerak dengan cara meloncat atau melompat. Lompatannya dapat mencapai 150 kali panjang badannya.
Dianalogikan dengan manusia yang bertinggi 170 cm, lompatan 150 kali panjang badan berarti dapat melompat sejauh 25,5m. Luar biasa! Bisa dikategorikan atlet lompat jauh ini.
Pantas saja bila orang-orang yang hanya berniat menjadikan parpol, maupun dalam konteks lain, sebagai batu loncatan dijuluki dengan kutu loncat.
Kebiasaannya menghisap cairan tumbuhan tentunya makin memperkuat sifat buruk serangga ini. Memang, kutu loncat tidak membahayakan manusia secara langsung, namun dia bisa menghisap darah selayaknya nyamuk. Individu yang "digigitnya" akan mengalami rasa gatal.
Parahnya, kutu loncat ini bisa menyebabkan penyakit huanglongbing (HLB) atau sering dikenal dengan CVPD pada tumbuhan jeruk.
Serangannya mengakibatkan tunas-tunas muda keriting dan pertumbuhannya terhambat. Apabila serangan parah, bagian tanaman terserang biasanya kering secara perlahan kemudian mati.
Penyakit ini belum ada obatnya. Jeruk yang terkena penyakit ini mengakibatkan hancurnya suatu kawasan jeruk (Balitjestro, 23/4/19).
Dapat dibayangkan jika kutu loncat ini dibiarkan hidup di dalam partai. Bahaya!
Seyogianya, kutu loncat tentunya diciptakan sebagai makanan bagi predator lain. Maksudnya, kutu loncat merupakan makanan bagi kumbang helm, parasitoid (Tamarixia radiata, Diaphorencyrtus aligarhensis), dan patogen serangga (Hirsutella sp., Metarrhizium sp., Beauvaria bassiana).
Nah, bagaimana dengan “kutu loncat” sebagai hama di dalam partai dan tempat-tempat lainnya? Tentu kita membutuhkan “kumbang helm-kumbang helm”, maupun parasitoid, dan patogen serangga untuk mengendalikannya.
Menurut KBBI, selain dimaknai sebagai hama tanaman, kutu loncat juga dimaknai dengan orang yang menggantungkan hidupnya dengan menumpang dari satu orang ke orang lain dan orang yang berpindah-pindah pekerjaan. Dua definisi ini bermakna kiasan.
Lantas, apakah orang-orang yang melihat adanya peluang di tempat lain dan memilih untuk hengkang dapat dilabeli kutu loncat?
Bukankah mereka juga berhak untuk kehidupan yang lebih baik jika di tempat lama tidak memberikan penghidupan yang cukup?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.