Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisakah Pelaku Pemalsuan Tanda Tangan Dipidana?

Baca di App
Lihat Foto
Freepik
Ilustrasi tanda tangan palsu yang dilakukan oknum polisi atas laporan tukang bubur Wahidin yang ditipu mantan Kapolsek Mundu Cirebon.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Wahidin, seorang tukang bubur asal Cirebon mengalami penipuan dari oknum polisi yang menjanjikan agar anaknya bisa menjadi polisi.

Dilansir dari Kompas.com, Selasa (20/6/2023), mantan Kapolsek Mundu AKP SW berjanji akan meluluskan anak Wahidin menjadi anggota polisi berpangkat Bintara pada masa penerimaan anggota Polri 2021/2022.

SW pun meminta uang sebesar Rp 310 juta secara bertahap kepada Wahidin. Uang tersebut dititipkan melalui NY, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Mabes Polri.

Sayangnya, anak Wahidin tetap tidak lulus seleksi bintara Polri. Tidak terima karena ditipu, Wahidin lalu membuat meminta keadilan ke SW.

Baca juga: Perbedaan Hukum Pidana dan Perdata

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun, SW lantas membuat laporan palsu bahwa NY menipu Wahidin. Kenyataannya, selama 2 tahun, kasus Wahidin tetap tidak diusut.

Dalam menjalankan aksinya, SW meminta bantuan penyidik Polsek Mundu, Cirebon, Jawa Barat, Aipda H.

Aipda H terbukti memalsukan tanda tangan Kepala SPK Polsek Mundu dalam laporan yang disampaikan korban pada 2021 atas perintah AKP SW.

Baca juga: Berapa Lama Sidang Perkara Pidana Berlangsung?

Berdasarkan kasus tersebut, bisakah pelaku pemalsuan tanda tangan mendapatkan sanksi pidana?


Penjelasan pakar hukum

Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Muchamad Iksan menegaskan bahwa pelaku pemalsuan tanda tangan dapat dipidana.

"Iya, pemalsuan tanda tangan untuk dokumen resmi termasuk tindak pidana," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (22/6/2023).

Ia menjelaskan, pelaku pemalsu tanda tangan dapat ditindak menggunakan KUHP karena adanya penganjuran untuk melakukan pemalsuan surat.

Pelaku akan mendapatkan sanksi sesuai Pasal 263 (1) KUHP jo Pasal 55 (1) KUHP.

Baca juga: Perbandingan Jenis Sanksi Pidana di KUHP Lama dan KUHP Baru

Pasal 263 (1) KUHP bertuliskan sebagai berikut:

"Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun".

Sementara Pasal 55 (1) KUHP menuliskan bahwa seseorang dapat dipidana sebagai pelaku tindak pidana jika:

  1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan
  2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan

"Ancamannya penjara paling lama 6 tahun," tambah Iksan.

Baca juga: Perbedaan Hukum Pidana dan Perdata

Pidana dan hukuman kode etik

Terkait pemalsuan tanda tangan yang dilakukan Aipda H, Iksan mengungkapkan bahwa pelaku bisa mendapatkan hukuman sesuai kode etik profesinya serta sanksi pidana.

"Antara kode etik dengan proses pidana adalah 2 hal yang beda. Jadi walaupun sudah dijatuhi sanksi kode etik, tetap bisa diproses hukum pidana," jelasnya.

Sementara itu, aduan korban seharusnya tidak menjadi syarat agar suatu tindakan pidana dapat diproses oleh pihak kepolisian.

Baca juga: Aturan Penghinaan Presiden dalam KUHP Baru, dari Denda hingga Hukuman Penjara

Iksan tetap menganjurkan korban atau orang yang mengetahui tindak pidana tersebut agar melapor kepada polisi.

"Mestinya dilaporkan oleh korbannya, supaya prosesnya lebih cepat dan pasti," tegasnya.

Mesti begitu, ia menjelaskan, Pasal 263 KUHP yang bisa disangkakan dalam kasus ini termasuk delik biasa atau non-aduan.

Hal ini membuat penyidik dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan sebelum atau tanpa laporan dari korban.

Baca juga: Banjir Kasus Oknum Polisi, Ke Mana Warga Harus Melapor?

Menjalani sidang etik

Atas kesalahannya, Aipda H sedang menjalani sidang kode etik yang digelar Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Cirebon Kota sejak pekan lalu.

"Memang ada satu anggota berinisial H kaitannya perkara disiplin. H dinilai tidak profesional dalam menangani suatu pengaduan. Keputusan dari sidang disiplin itu adalah surat teguran tertulis dan penempatan di tempat khusus selama 21 hari,” ujar Kasi Propram Polres Cirebon Kota, Iptu Sukirno, dikutip dari Kompas.com, Rabu (21/6/2023).

Sidang disiplin tersebut memutuskan H menjalani penempatan khusus selama 21 hari dan mendapat teguran tertulis.

Baca juga: Sejarah Hukum Pidana di Indonesia, dari Sebelum Penjajahan hingga Berlakunya KUHP Warisan Belanda

Sementara itu, SW dan NY telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penipuan dan penggelapan.

SW telah mengembalikan uang milik Wahidin. Sementara tukang bubur itu sepakat berdamai dan mencabut laporan polisi di Polres Cirebon Kota.

Meski begitu, tahapan penyidikan untuk kasus penipuan ini masih berlanjut.

Baca juga: Bisakah Hakim Jatuhkan Pidana Lebih Tinggi atau Rendah dari Tuntutan JPU?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi