KOMPAS.com - Istilah YOLO kerap muncul dan digunakan oleh masyakarat, terutama mereka dari kalangan anak muda.
Istilah ini ramai digunakan di media sosial sejak beberapa tahun lalu.
"Kalian tipe org yg menjalankan gaya hidup YOLO gasih?" tulis akun @city*****.
"Gaya hidup YOLO ini enggak punya kesadaran sosial. Bodoamat sama pandemi. Hidup cuma sekali, yang penting happy," kata @whitewa******.
Lantas, apa itu gaya hidup YOLO?
Baca juga: Ramai di Medsos, Apa Arti Frugal Living?
Pengertian YOLO
YOLO adalah istilah yang kerap digunakan oleh anak muda milenial, yakni mereka yang lahir di rentang tahun 1980-1997.
Dilansir dari Cambridge Dictionary, YOLO adalah singkatan dari "you only live once".
Istilah ini ramai digunakan di media sosial dan dikaitkan dengan kehidupan bebas yang mengasyikkan.
YOLO pertama kali muncul dan populer ketika digunakan oleh artis musik hip hop Kanada, Drake melalui lagunya berjudul "The Motto".
Pada 2011 silam, Drake sempat mempopulerkan istilah tersebut melalui akun Twitternya.
Tanda pagar YOLO membanjiri Twitter sehari setelah diunggah oleh penyanyi hip hop itu.
Baca juga: Arti Malam Satu Suro, Makna, dan Tradisinya...
Slogan YOLO jadi andalan milenial
Istilah YOLO kemudian berkembang menjadi slogan yang digunakan oleh milenial.
Dalam buku You Only Live Once: The Roadmap to Financial Wellness and A Purposeful Live Jason Vitung (2016), slogan YOLO menjadi ekspresi ketidakpastian masa depan.
Slogan YOLO mengajarkan seseorang untuk meraih kesempatan dan hidup secara bebas.
Dikutip dari buku YOLO: Exploring the Cultural Salience of Twitter (2014), YOLO menjadi moto hidup dan budaya di kalangan anak muda Amerika pada 2011-2012.
Gaya hidup YOLO kerap dikaitkan dengan cara menikmati hidup yang maksimal dan bebas. Namun, gaya hidup ini juga bisa membahayakan bagi masa depan.
Baca juga: Apa Itu Kembar Mayang dalam Pernikahan Adat Jawa? Ini Arti, Makna, dan Filosofinya
Dampak gaya hidup YOLO
Dalam perjalanannya, YOLO memiliki konotasi negatif terkait literasi keuangan yang minim.
Gaya hidup YOLO mendorong seseorang untuk menikmati hidup secara bebas dan semaksimal mungkin.
Mereka mengadopsi konsep bahwa hidup hanya sekali, maka harus dinikmati.
Akibatnya, penganut moto hidup YOLO cenderung akan bertindak konsumtif dalam hal-hal yang sifatnya bukan kebutuhan primer, misalnya liburan dan experience buying.
Gaya hidup itu juga diikuti dengan ketidakpedulian terhadap masa depan.
Banyak yang mengaitkan kebahagiaan dengan perilaku konsumtif yang berimbas pada munculnya hedonisme.
Baca juga: Apa Arti Kata Skena yang Ramai di TikTok? Berikut Penjelasan Pakar Bahasa
Cara mengatasi gaya hidup YOLO
Untuk mengatasi gaya hidup YOLO yang berimbas pada perilaku konsumtif, Anda bisa menerapkan management financial baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dengan management financial yang baik, Anda bisa mengelola uang dengan tepat dan menganggarkannya untuk masa depan.
Dikutip dari Milenial Cerdas karya Fitri Alfaqrina, untuk mengatasi sikap konsumtif yang berlebihan, Anda bisa mengalokasikan pendapatan ke dalam beberapa presentasi.
Misalnya, 20 persen untuk pendidikan, 2,5 persen untuk sedekah, 10 persen untuk menabung, 60 persen untuk biaya makan dan keperluan bulanan, serta 6,5 persen untuk keperluan tidak terduga.
Ada banyak cara yang bisa membantu Anda untuk mengalokasikan pendapatan melalui presentasi. Anda bisa memilih konsep seperti apa yang cocok dengan kondisi dan situasi Anda sendiri.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.