KOMPAS.com - Thailand sedang mengerjakan megaproyek land bridge atau jembatan darat yang menghubungan dua pelabuhan di selatan wilayahnya.
Megaproyek kanal ini disebut akan mematikan jalur perdagangan laut tiga negara, meliputi Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
Sebab, jembatan tersebut diklaim menjadi alternatif Selat Malaka, salah satu jalur laut tersibuk di dunia yang menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Bahkan, jembatan darat sepanjang 90 kilometer ini secara signifikan dinilai membantu mengurangi waktu pengiriman dan biaya saat melintasi Selat Malaka.
Sejak menjabat pada Agustus 2023, Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin berfokus merevitalisasi perekonomian setelah satu dekade mengalami pertumbuhan lesu imbas kesalahan manajemen militer dan diperburuk pandemi Covid-19.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah memprioritaskan penandatanganan perjanjian perdagangan bebas, dengan Srettha yang berkeliling dunia mencari investasi asing.
Baca juga: Kapal Harus Bayar Miliaran Rupiah Sekali Lewat, Apa Keistimewaan Terusan Panama?
Jembatan darat alternatif Selat Malaka
Dilansir dari CNA, Srettha pun menjadi pendukung utama gagasan lama untuk membangun jembatan darat yang melintasi Tanah Genting Kra.
Tanah Genting Kra atau Isthmus of Kra adalah jembatan darat sempit yang menghubungkan Semenanjung Melayu dengan daratan Asia.
Di sebelah barat tanah genting ini adalah Laut Andaman yang menjadi bagian dari Samudera Hindia, serta Teluk Thailand yang terletak di Samudera Pasifik pada sisi timur.
Rencana tersebut diiringi pembangunan pelabuhan laut dalam di Provinsi Chumphon di sisi Teluk Thailand, serta pelabuhan di Provinsi Ranong pada sisi Laut Andaman.
Kedua pelabuhan itu direncanakan akan dihubungkan oleh jalan raya, jalur kereta api, serta jaringan pipa sepanjang 90 kilometer.
Baca juga: Jembatan Baltimore Runtuh Usai Ditabrak Kapal Kargo, 20 Korban Diduga Tenggelam
Kapal-kapal yang membawa barang buatan Asia Timur Laut, seperti Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, dan China, akan menurunkan muatannya di Chumphon.
Selanjutnya, barang-barang akan dibawa ke sisi lain menuju Pelabuhan Ranong dengan truk dan kereta api.
Serupa, kapal-kapal yang memuat barang-barang dari kawasan Asia Barat dan Eropa akan melakukan hal yang sama di Ranong untuk dikirimkan ke Chumphon.
Jembatan darat Kra pertama kali diusulkan oleh Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 2005. Namun, dibatalkan setahun kemudian ketika dia digulingkan dalam kudeta militer.
Ironisnya, setelah kudeta lain pada 2014, pihak militer menghidupkan kembali gagasan tersebut pada 2020.
Sayangnya, gagasan tersebut lagi-lagi gagal mendapat dukungan karena dislokasi ekonomi global yang disebabkan oleh pandemi ini.
Baca juga: Ratusan Kapal Terjebak Macet di Terusan Panama karena Kekeringan
Bawa keuntungan bagi perekonomian
Kini, pembangunan jembatan darat penghubung Samudera Hindia dan Pasifik dinilai memiliki sejumlah manfaat bagi Thailand.
Pertama, dengan tidak melewati Selat Malaka yang padat, perusahaan pelayaran menghemat waktu berlayar tiga hingga empat hari, sehingga mengurangi biaya transportasi sebesar 15 persen.
Kedua, pembangunan jembatan darat akan memberikan keuntungan sebesar 1,3 triliun baht atau sekitar Rp 568 triliun bagi perekonomian.
Langkah ini juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,5 persen dan menyediakan lapangan kerja bagi 280.000 orang.
Ketiga, jembatan darat turut menempatkan posisi Thailand di jantung rantai pasokan Asia Tenggara.
Baca juga: Berkaca dari Kasus Evergreen di Terusan Suez, Jepang Pertimbangkan 3 Opsi Rute Baru
Ancam jalur perdagangan negara lain
Terpisah, Rektor Malaysia University of Science and Technology, Premkumar Rajagopal mengungkapkan, jembatan yang diperkirakan akan selesai pada 2039 ini mempunyai implikasi potensial bagi perekonomian dan posisi strategis tiga negara lain di kawasan Selat Malaka.
"Setelah selesai dibangun, jembatan tersebut berpotensi mengalihkan pelayaran dari Malaysia dan Singapura karena bertujuan menciptakan jalur perdagangan baru yang menghubungkan Samudera Hindia dan Pasifik," ujarnya.
Pakar yang berpengalaman dalam rantai pasokan selama 13 tahun ini mengatakan, megaproyek senilai kurang lebih 1 triliun baht atau sekitar Rp 437 triliun tersebut juga diklaim akan mempersingkat waktu pengangkutan melalui Selat Malaka selama beberapa hari.
"Pengiriman dari pelabuhan Ranong ke India, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa mungkin memakan waktu tujuh hingga 30 hari," kata Premkumar.
"Perjalanan dari China Selatan ke Pelabuhan Ranong akan memakan waktu tidak lebih dari lima hari," sambungnya.
Baca juga: Proyek Ambisius Israel, Berencana Bangun Tandingan Terusan Suez yang Lewati Gaza
Di sisi lain, para kritikus jembatan darat berbondong mempertanyakan kelayakan ekonomi proyek tersebut.
Melewati Selat Malaka mungkin akan mengurangi waktu berlayar. Namun, menurunkan muatan barang di satu pelabuhan, mengangkutnya ke pelabuhan lain, kemudian memuatnya kembali bisa memakan waktu lama.
Imbasnya, perusahaan kapal mungkin justru akan mengalami peningkatan biaya transportasi.
Selain itu, jembatan darat pun berdampak negatif terhadap lingkungan serta merugikan industri pariwisata dan perikanan di Thailand selatan.
Belum lagi, jika menilik secara geopolitik, kepemilikan jembatan darat mungkin akan menyeret Thailand ke dalam pusaran persaingan Amerika Serikat-China, terutama jika Beijing mendanai pembangunannya.
Tidak terpengaruh oleh argumen-argumen tersebut, Srettha mengaku bertekad untuk menyelesaikan proyek tersebut, bahkan telah mengusulkan batas waktunya.
Baca juga: Kisah Kapal Selam Jerman yang Tenggelam gara-gara Kloset Rusak
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.