Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bayang-bayang Konflik di Laut China Selatan dan Urgensi Penguatan Diplomasi Regional

Baca di App
Lihat Foto
AFP/TED ALJIBE
Penjaga pantai China berjaga di atas perahu karet di samping penghalang terapung menuju Scarborough Shoal yang dikuasai China di Laut China Selatan pada 22 September 2023.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Pada 2017, Indonesia mengambil langkah penting dengan mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara.

Laut Natuna Utara mencakup sejumlah bagian Laut China Selatan yang masih berada di dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut Indonesia.

Perubahan nama tersebut sekaligus memperbarui peta Indonesia yang sebelumnya menampilkan Laut China Selatan membentang hingga mendekati Laut Jawa.

Langkah berani Indonesia ini pun menuai protes dari China yang menganggapnya sebagai langkah tak masuk akal.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagi China, perubahan Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara tidak sesuai dengan upaya standarisasi penyebutan wilayah internasional.

Meski tak mengubah situasi, perubahan ini menegaskan kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara.

Baca juga: Filipina Ganti Komandan Militer di Laut China Selatan

Daya tarik Laut China Selatan

Apa yang terjadi di Laut China Selatan, tak lepas dari nilai strategis bagi negara-negara yang beririsan dengan kawasan ini.

Untuk diketahui, Laut China Selatan berbatasan dengan tujuh negara, yakni Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam, China, dan Taiwan.

Menjadi salah satu jalur perdagangan penting dunia, Laut China Selatan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Tak hanya itu, kawasan tersebut juga disebut memiliki potensi yang beragam, termasuk sumber daya alam hayati dan non-hayati.

Berdasarkan data Lembaga Informasi Administrasi Energi Amerika Serikat (AS), Laut China Selatan menyimpan 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam.

Fakta senada juga pernah diungkapkan oleh perusahaan minyak asal Filipina, Philex Petroleum Corp.

Mereka bahkan memperkirakan, kandungan gas alam di kawasan itu mencapai 20 triliun kaki kubik atau lima kali lebih banyak dari perkiraan sebelumnya.

Dengan kondisi tersebut, potensi konflik antarnegara di Laut China Selatan pun terus berkembang setiap waktu.

Baca juga: China Larang Penangkapan Ikan di Laut China Selatan, Vietnam dan Filipina Protes

Agresivitas China

China menjadi negara yang paling agresif dalam upaya untuk menguasai Laut China Selatan.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Nur Rahmat Yuliantoro mengatakan, ambisi China tersebut bukan tanpa alasan.

Pasalnya, kawasan Laut China Selatan merupakan bagian dari wilayah negara menurut peta sejarah yang mereka klaim.

"Ini sesuai dengan pilar politik luar negerinya, yaitu memastikan kedaulatan wilayah terjaga sepenuhnya," kata Rahmat saat dihubungi Kompas.com, Jumat (31/5/2024).

Peta itu memuat batas wilayah perairan China yang dikenal dengan nama Nine Dashed Line. Dampaknya, sejumlah negara pun kehilangan sebagian wilayah perairannya, termasuk Indonesia.

Salah satu langkah paling signifikan dalam menjalankan ambisinya adalah membangun tiga pangkalan militer berskala besar di Laut China Selatan.

Tak tanggung-tanggung, pangkalan itu disebut terdiri dari angkatan laut, udara, radar, dan fasilitas pertahanan rudal.

Hal ini tampak dari citra satelit yang dirilis pernah dirilis oleh Asia Martitim Transparency Initiative (AMTI), bagian dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC, AS pada 2017 silam.

Baca juga: China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

Objek sengketa dengan negara ASEAN

Ketegangan di kawasan ini banyak melibatkan antara China dengan negara-negara Asia Tenggara.

Filipina, misalnya, belakangan kerap bersitegang dengan China terkait sengketa di Laut China Selatan.

Pada Maret 2024, kapal-kapal dari kedua negara tersebut bahkan dilaporkan terlibat bentrok di Laut China Selatan.

Filipina menganggap China melakukan manuver berbahaya di dalam zona ekonomi eksklusif mereka. Sebaliknya, China menuduh Filipina melakukan pelanggaran wilayah.

Sementara, ketegangan China dengan Indonesia terkait Laut China Selatan paling menyita perhatian pada 2016.

Saat itu, Indonesia sempat mengajukan nota protes diplomatik kepada China usai adanya kapal ilegal yang masuk ke Laut Natuna Utara.

Di bawah komando Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Indonesia berencana untuk menangkap kapal tersebut.

Namun, proses penangkapan itu justru tak berjalan mulus usai kapal Coast Guard China ikut campur dan menabrak kapal patroli Indonesia.

"Indonesia bukanlah negara pengeklaim dalam konflik LCS, tetapi ia bersitegang dengan China di Laut Natuna Utara," ujar Rahmat.

Baca juga: Sebut China Bangun Pulau Buatan di Laut China Selatan, Filipina Kerahkan Kapal

Bayang-bayang "perang dingin" AS-China di LCS

Meski tak memiliki perbatasan langsung dengan Laut China Selatan, AS mengeklaim berkepentingan untuk memastikan kawasan itu menjadi terbuka dan milik bersama.

Dengan begitu, lalu lintas militer dan komersial akan sejalan dengan kepentingan nasional AS.

Salah satu upaya AS dalam mengintervensi ketegangan di Laut China Selatan adalah meningkatkan kerja sama di berbagai bidang dengan negara Asia Tenggara.

Berdasarkan data Council on Foreign Relations pada 2015, Filipina dan Indonesia menjadi negara Asia Tenggara yang paling banyak mendapat bantuan keamanan dari AS.

Ketegangan AS-China pun di Laut China Selatan pun beberapa kali terjadi.

Terbaru, kapal perang China dan AS sempat berada di kawasan itu secara bersamaan pada awal tahun.

Pada 4 Januari 2024, kapal perang AS melakukan latihan bersama selama dua hari dengan angkatan laut Filipina.

Merespons hal itu, China mengerahkan angkatan laut dan udaranya untuk melakukan patroli di kawasan tersebut. Mereka mengutuk kehadiran kapal perang AS dan menyebutnya sebagai tindakan provokatif.

Baca juga: Risiko Keamanan Tinggi, Presiden Taiwan Tak Disarankan Kunjungi Laut China Selatan

Penguatan diplomasi di level regional

Atas dasar itu, Rahmat menilai upaya diplomatik perlu terus dilakukan untuk menjaga ketegangan tidak meluas.

"Memastikan peningkatan dan perluasan aktivitas diplomatik di level regional maupun internasional," ujarnya.

Tak hanya itu, ia menegaskan pentingnya Indonesia dalam menjaga kedaulatan di Laut Natuna Utara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.

Menurutnya, hal ini penting dilakukan agar integritas wilayah terlindungi dan dapat dipertahankan.

"Perlu mendayagunakan sumber daya di Laut Natuna Utara sebagai bukti kehadiran negara adalah langkah-langkah penting untuk menjaga kedaulatan Indonesia di kawasan," jelas dia.

"Di samping itu, secara militer Indonesia juga harus bersiap diri dengan kekuatan yang ia miliki," tutupnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi