MEDIA sosial belakangan ini penuh dengan julukan terhadap sekelompok anak muda seperti “jamet kuproy”, “anak skena”, “the naufals”, “ngabers”, dan “anak senoparty”.
Sebutan-sebutan tersebut viral secara bergantian. “The nuruls" relatif ramai dibahas dengan lebih 3.400 konten video di TikTok.
Sebutan-sebutan tersebut umumnya identik dengan gaya hidup, seperti “anak senoparty” yang menikmati kehidupan malam di kawasan Senopati, Jakarta Selatan.
Kebalikannya adalah "the nuruls" disebut-sebut menyukai kafe live music yang tidak menyediakan minuman beralkohol.
"Jamet kuproy" bergaya busana khas celana jins sobek dan kaus oversized, serta menikmati genre house music.
Sedangkan "anak skena" identik dengan musik indie dan fesyen khas celana kargo, kaus oversized, sepatu sneakers yang sedang menjadi tren.
Pilihan gaya hidup, selera musik, atau baju tersebut sebetulnya adalah ekspresi anak muda yang disebut oleh sosiolog Talcott Parsons sebagai youth culture atau budaya muda yang muncul.
Generasi ini membangun identitas berdasarkan pilihan gaya hidup seperti musik dan selera fashion.
Ekspresi anak muda tersebut sebetulnya muncul tanpa nama. Pertanyaannya, siapa yang memberikan sebutan tersebut dan mengapa ada julukan yang bernada merendahkan, tapi ada juga yang memiliki asosiasi positif?
"Cybertyping", identitas anak muda di dunia maya
Lisa Nakamura dalam bukunya "Cybertypes: Race, ethnicity, and identity on the Internet" mengagas istilah cybertyping, yakni bentuk penciptaan dan penyebaran stereotip berdasarkan gender, usia, seksualitas, dan lokasi geografis yang dibuat oleh kelompok dominan di dunia maya.
Internet awalnya menjanjikan kebebasan berekspresi dan menciptakan identitas baru menggunakan teknologi digital seperti media sosial.
Namun, menurut Lisa, faktanya kelompok yang terpinggirkan di dunia nyata kembali termarjinalkan di dunia maya. Mereka tetap dibelenggu oleh stereotip sama yang ada di dunia nyata.
Kelompok dominan di internet berusaha mengekang kebebasan mereka yang marjinal itu dengan strategi othering, yakni menentukan siapa yang berada pada in-group dan out-group.
Pakar analisis wacana T.A. van Dijk mengatakan, strategi othering biasanya diteruskan dengan wacana rasis, yakni penggambaran negatif tentang mereka yang dianggap out-group dan sebaliknya representasi positif terhadap in-group.
Caranya dengan menciptakan cemoohan dan julukan yang menunjukkan superioritas dalam hal ekonomi, tingkat pendidikan, atau lokasi geografis.
Seperti apa kelompok yang dominan di dunia maya?
Kelompok dominan dapat diidentifikasi dengan melihat siapa yang memiliki akses terhadap internet dan seperti apa kualitas akses tersebut untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari dunia digital.
Data riset BPS dan APJII, dan Statista mengenai demografi pengguna internet di Indonesia menunjukkan mereka yang memiliki akses besar terhadap internet di Indonesia adalah kalangan urban, berpendidikan tinggi, berlatar belakang keluarga penghasilan menengah ke atas, serta terkonsentrasi di pulau Jawa, Bali, dan Sumatera.
Sedangkan, menurut data Kementerian Kominfo (2014), kelompok yang tingkat adopsi internetnya rendah adalah masyarakat yang tidak memiliki perangkat digital, tidak mampu membayar koneksi internet, bahkan tidak punya akses ke jaringan internet.
Hal ini sesuai dengan argumen Nakamura, mereka yang tidak memiliki akses di internet adalah kelompok yang sama yang terpinggirkan di dunia nyata.
Data-data tadi memberikan jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang mengelompokkan dan memberi julukan terhadap identitas budaya muda di media sosial?”
Yakni kelompok dominan di internet yang berasal dari kalangan urban, berpendidikan tinggi, dan kelas ekonomi menengah ke atas yang mampu membeli perangkat digital dan membayar akses internet.
Kelompok dominan tadi yang kemudian menggolongkan identitas mana yang dianggap positif dan negatif.
Sebagai contoh, pada sebutan "anak skena" dan "jamet kuproy" ada stereotip yang merujuk pada pilihan gaya busana street style dan selera musik.
"Anak skena" dilekatkan selera musik indie, pilihan busana celana kargo dan oversized t-shirt, sepatu sneakers yang sedang tren, serta membawa laptop Apple MacBook penuh stiker digambarkan sebagai gaya kelas atas.
Sebaliknya pilihan baju "jamet kuproy" diidentikkan dengan house music pop, kaus berukuran besar dan celana jins belel atau robek, berambut gondrong ditata kerucut seperti piramida.
Digambarkan sebagai gaya busana yang lusuh, berselera kelas bawah sehingga muncul istilah kuproy yang adalah kependekan dari “kuli proyek” sebagai penegasan gaya yang dipakai oleh pekerja kasar.
Contoh lainnya adalah kontras antara "anak senoparty" dan "the nuruls" dalam hal gaya busana dan tempat nongkrong.
"Anak senoparty" dalam beberapa konten media sosial digambarkan sebagai bagian dari gaya hidup kelas atas yang menikmati klub malam dan fine dining.
Gaya busana branded mereka internasional. Kalaupun memakai merek lokal, maka disebut sebagai pendukung local pride.
Sebaliknya mereka yang dijuluki "the nuruls" digambarkan berjoget mengikuti live music di kafe, punya gaya busana khas memadukan hijab dengan cardigan.
Disebut sebagai gaya fesyen berselera rendah yang “norak” dan “outfit kabupaten” yang mengesankan daerah pinggiran dan bukan bagian dari kota besar.
Julukan dan stereotip gaya hidup tersebut menunjukkan kelompok dominan tengah menjalankan othering dan wacana rasis yang membuat internet tidak lagi demokratis.
Seperti ditulis Nakamura, ketika kelas bawah berupaya mengekspresikan diri antara lain di media sosial, mereka menjumpai diskriminasi dan prasangka, serta segera disadarkan oleh kelompok dominan supaya kembali kepada kenyataan kelas mereka yang penuh keterbatasan.
Apakah cybertyping berbahaya?
Cybertyping melahirkan julukan dan cemoohan yang biasanya bersifat halus dan kadang tidak langsung sehingga publik sering tidak merasa ada masalah.
Namun bentuk wacana rasis seperti ini tetap berisi ancaman terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup mereka yang dianggap berbeda.
Othering, bukan saja berisi prasangka dan pengucilan berdasarkan identitas, tetapi juga menumbuhkan ketimpangan dan bisa berujung pada persekusi.
Jadi cybertyping adalah risiko daring baru yang muncul antara lain akibat adanya kesenjangan akses terhadap internet atau biasa disebut dengan istilah digital divide.
Praktiknya lebih halus dan tidak kentara seperti kejahatan digital atau ujaran kebencian, tetapi ada potensi memicu konflik, diskriminasi, hingga persekusi.
Maka mengatasi digital divide, menurut Nakamura, perlu pendekatan pada dua lapisan, yakni teknologi dan budaya.
Lapisan teknologi biasanya lebih banyak dibahas, yakni dengan meningkatkan akses terhadap internet seperti penyediaan internet gratis atau penyediaan perangkat.
Namun cara tersebut juga harus disertai dengan pendekatan pada lapisan budaya, yakni penyusunan kebijakan tentang internet termasuk panduan komunitas penggunaan internet perlu memperhatikan dampak cybertyping.
Literasi media digital juga perlu menyertakan persoalan cybertyping sehingga pengguna media sosial lebih bijak dalam membuat konten agar tidak diskriminatif terhadap kelompok tertentu.
Lalu mereka berpotensi menjadi korban dari konten media sosial perlu diperlengkapi cara menghadapinya agar semua kelompok masyarakat tetap bisa beraktivitas dengan aman di internet dan memperoleh benefit secara optimal dari internet.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.