KOMPAS.com - Jemaah haji asal Indonesia akan kembali secara bertahap setelah menyelesaikan rangkaian ibadah haji 2024 di Arab Saudi.
Di Indonesia, kepulangan para jemaah tidak hanya disambut ucapan syukur, tetapi juga perubahan panggilan menjadi "Pak Haji" atau "Bu Hajah".
Panggilan tersebut lazim disematkan untuk menandai muslim yang telah menjalankan rukun Islam kelima.
Lantas, apakah muslim yang baru pulang dari ibadah haji wajib dipanggil Haji?
Baca juga: Asal-usul Gelar Haji, Hanya Ada di Indonesia, Warisan Belanda untuk Tandai Pemberontak
Panggilan Haji untuk orang yang selesai berhaji
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Miftahul Huda menjelaskan, dalam syariat agama Islam, sebenarnya tidak ada gelar khusus untuk orang yang telah berhaji.
Haji dalam Islam merupakan bagian dari rukun Islam, tepatnya rukun kelima. Orang yang menjalankan empat rukun Islam lain pun tidak memiliki gelar atau panggilan khusus.
"Orang yang selesai melaksanakan puasa Ramadhan satu bulan penuh kan tidak pernah dipanggil Bapak Shaum (puasa)," jelasnya, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (25/6/2024).
Demikian pula dengan orang yang sudah membayar zakat, tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan Bapak Muzakki.
Meskipun, menurut Miftahul, dalam dunia zakat memang ada istilah muzakki yang memiliki arti "orang yang menunaikan zakat".
Namun, Miftahul melanjutkan, ibadah haji mempunyai makna tersendiri dalam budaya muslim Indonesia.
Gelar atau panggilan Haji bukan sekadar mengandung makna kebanggaan, tetapi juga mencerminkan pencapaian spiritual yang besar dalam kehidupan seorang muslim.
"Dalam masyarakat Indonesia, orang yang dipanggil Pak Haji atau Ibu Haji, tidak hanya sebagai penghormatan terkait status sosial yang tinggi dan dihargai, tetapi juga menandakan bahwa orang tersebut telah melakukan perjalanan spiritual yang sangat penting dalam agama Islam," terangnya.
Baca juga: 1.301 Jemaah Haji Meninggal, Arab Saudi Bantah Gagal Jadi Tuan Rumah Ibadah Haji 2024
Sisi positif dan negatif gelar Haji
Sekretaris Komisi Fatwa MUI ini menilai, panggilan Haji di Tanah Air memiliki sisi positif dan negatif, terutama bagi orang yang baru saja melaksanakan rukun Islam kelima.
Sisi positifnya, gelar Haji secara khusus akan mengingatkan jemaah untuk terus menjadi teladan dalam kebaikan.
Dengan demikian, secara tidak langsung, panggilan Pak Haji atau Bu Hajah merupakan salah satu cara mempertahankan nilai-nilai budaya dan agama dalam masyarakat.
Sisi negatifnya, panggilan Haji mungkin akan menjerumuskan muslim dalam sifat yang merugikan, seperti sifat membanggakan diri.
"Akhirnya kesombongan dapat merusak jiwa hajinya yang semestinya orang yang sudah berhaji harus semakin rendah hati dan tidak merasa tinggi hati pada orang lain," tutur Miftahul.
Baca juga: 3 Cara Cek Estimasi Keberangkatan Haji, Ada 221.000 Kuota untuk 2025
Asal-usul gelar Haji, pemberian Belanda sebagai penanda
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri mengungkapkan, penyematan gelar Haji semula hanya ada di Indonesia.
"Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (24/5/2023).
Gelar Haji kemudian berkembang di daerah Melayu, terutama di Brunei Darussalam dan Malaysia.
Syamsul menerangkan, panggilan Haji dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sudah ada jauh sebelum Hindia Belanda mengesahkannya.
Kendati demikian, penyematan gelar ini secara resmi dan formal baru dilakukan pada 1916, dengan dasar aturan Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad Tahun 1903.
"Jadi bedakan gelar formal Haji sekarang pakai H, dengan Haji sebagai panggilan. Kalau panggilan, sejak zaman kuno pun sudah ada," ungkapnya.
Menurut Syamsul, pemerintah kolonial menyematkan gelar Haji untuk menandai mereka yang kemungkinan terkontaminasi paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme.
Pan-Islamisme merupakan sebuah ideologi politik yang mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
Konsep dasar Pan-Islamisme ini dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani pada akhir abad ke-19 Masehi.
Paham ini bersumber dan menyebar dari Tanah Suci, tempat muslim menggelar ibadah haji.
Apalagi, kata Syamsul, orang beribadah haji pada zaman dulu menghabiskan waktu sangat lama hingga bertahun-tahun.
"Karena di sana sambil mengaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara," ujarnya.
Seiring menguatnya paham Pan-Islamisme kala itu, pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda.
"Musuh Belanda dua, komunis dan Pan-Islam, yang membahayakan kolonial. Para Haji dicurigai terkontaminasi pikiran Pan-Islamisme ketika di Mekkah, maka gelar Haji menjadi penting bagi Belanda," paparnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.