KOMPAS.com - Warganet menyoroti sejumlah aplikasi dan situs pemerintah yang diberi nama nyeleneh dan cenderung saru atau tidak senonoh.
Hal tersebut pertama kali diungkapkan melalui akun Instagram @bigalphaid, Selasa (2/7/2024).
Dalam akunnya, pengunggah mendata setidaknya ada 11 aplikasi atau laman resmi yang dikeluarkan pemerintah daerah dan diberi nama dengan konotasi negatif.
Berikut daftar aplikasi dan laman tersebut:
- SiPEPEK dari Kabupaten Cirebon
- SITHOLE dari Kota Semarang
- SISKA KU INTIP dari Provinsi Kalimantan Selatan
- SIMONTOK dari Kota Surakarta
- SISEMOK dari Kabupaten Pemalang
- SI CANTIK dari Kabupaten Bogor
- SIGANTENG dari Provinsi Jawa Tengah
- SIPEDO dari Kabupaten Sumedang
- Mas Dedi Memang Jantan dari Kota Tegal
- i-Pubers Petani dari Kabupaten Demak
- JEBOL YA MAS dari Kota Bengkulu.
Baca juga: Platform StopNCII.org Disebut Bantu Hapus Foto Porno Editan dari Internet, Ini Kata Pakar
Nama aplikasi menyalahi etika
Kepala Departemen Ilmu Komputer, Prodi Teknik Informatika, FMIPA, Universitas Padjadjaran (Unpad) Setiawan Hadi menyebut, seorang pemrogram atau app developer seharusnya membuat situs atau aplikasi dengan nama yang sesuai fungsinya.
Aplikasi atau situs yang dipermasalahkan warganet memang menggunakan nama dari singkatan atau akronim suatu program pemerintah daerah.
Contohnya, SiPEPEK yang akronim dari Sistem Pelayanan Program Penanggulangan Kemiskinan dan Jaminan Kesehatan.
"Sesuai dengan fungsionalisasinya tapi juga jangan mengarah ke hal-hal vulgar, SARA, dan lain-lain," ujarnya saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (10/7/2024).
Menurut Setiawan, penamaan aplikasi atau situs yang baik menjadi bagian dalam etika profesi dalam ilmu teknik informatika. Etika penamaan tersebut yakni:
- Etika penamaan yang sopan dan jangan dipaksakan
- Upayakan penamaan yang mudah diingat dan fungsional namun tetap perhatikan syarat nomor satu
- Pihak pengelola bisa meminta pemrogram mengubah nama aplikasi karena tidak berkaitan dengan hak cipta
Setiawan menambahkan, penamaan aplikasi tidak memiliki syarat harus sesuai dengan teknologi yang dipakai.
"Kayak kita ngasih nama orang kan nggak mau kita kasih nama yang kurang enak didengar atau tidak lazim," lanjutnya.
Dia menegaskan, hal tersebut tentu dengan asumsi penamaan situs atau aplikasi yang fungsinya baik atau bukan situs atau aplikasi aneh.
"Harus etis dan memenuhi kriteria tidak menyinggung atau menimbulkan persepsi atau hal-hal yang negatif," imbuh Setiawan.
Baca juga: Warganet Soroti Kepolisian yang Gercep soal Video Porno Kebaya Merah
Kemunduran dari masa Orde Baru
Hal ini akan memudahkan orang mengingat nama suatu aplikasi atau situs. Kemudian, mereka menjadi lebih mudah menggunakannya.
Kunto mengungkapkan, budaya memberi singkatan atau akronim terhadap suatu hal banyak ada di Indonesia pada masa Orde Baru. Contohnya, Pusat Kesehatan Masyarakat yang disebut sebagai Puskesmas.
"Puskesmas ada familiaritas. Ada 'pus' di situ walau 'kesmas' nggak terlalu familiar. Itu membantu orang untuk mengingat dan menggunakan nama itu," kata Kunto pada Kompas.com, Rabu.
Sebaliknya, suatu hal yang diberi nama dengan istilah yang sangat asing akan menyulitkan orang untuk mengingat serta menggunakannya.
Sayangnya, Kunto menilai, situasi Indonesia sekarang ini menunjukkan kemunduran dari masa Orde Baru.
Sebab, akronim yang ada saat ini terutama dari pemerintah lebih banyak mengarah kepada obyektifikasi perempuan atau pikiran jorok pejabat.
"Ini menunjukkan cara pandang pejabat-pejabat kita yang masih mengobyektifikasikan perempuan. Cara berpikirnya sangat misoginis. Ini yang menurut saya menjadi permasalahan," ungkap Kunto.
Cara pandang tersebut membuat para pejabat melihat aplikasi itu dianggap sama maupun punya sifat-sifat dan atribut seperti perempuan.
Akibatnya, aplikasi-aplikasi tersebut diberi nama dengan akronim yang artinya buruk, menjurus ke hal-hal jorok, dan menunjukkan objektifikasi tubuh perempuan.
Padahal, menurut Kunto, aplikasi atau situs milik pemerintah daerah yang menggunakan nama-nama "saru" menimbulkan konotasi negatif.
"Kita justru kehilangan atau mundur dari apa yang dikerjakan Orde Baru dalam membuat singkatan. Mungkin karena terlalu banyak, singkatannya habis jadi lebih mengarah ke obyektifikasi perempuan atau pejabatnya saja yang otaknya ngeres," pungkas Kunto.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.