KOMPAS.com - Ketua Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan (65), divonis dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Putusan tersebut dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Simalungun, Sumatera Utara, Rabu (14/8/2024) sore.
Di luar ruangan sidang, puluhan warga adat yang mengenakan kain ulos kompak memprotes putusan hakim yang dianggap mengkriminalisasi perjuangan hak tanah adat.
Baca juga: Media Asing Soroti Suku Pedalaman Halmahera Keluar Hutan, Temui Pekerja Tambang
Status tanah ulayat disebut masih usulan
Sorbatua didakwa atas dugaan perusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, yang izin konsesinya dipegang PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Diberitakan Kompas.com, Rabu, dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Sorbatua diduga melakukan penebangan pohon eukaliptus dan pembakaran kayu di lahan konsesi PT TPL.
Dia pun didakwa dengan Pasal 78 ayat (3) dan/atau ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Tim pengacara Sorbatua, Hendra Sinurat mengatakan, masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan menduduki lahan lebih kurang 815 hektar yang dikelola secara turun-temurun.
Lokasi lahan terletak di Kampung Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Simalungun, berdampingan dengan area hutan produksi tetap PT TPL.
Selain permukiman, kata dia, masyarakat juga mengelola lahan dengan menanami tanaman jagung dan cabai.
"Lahan itu sekitar 815 hektar dan masyarakat melangsungkan kehidupan di situ, ada ritual adat dan kehidupan di situ," kata Hendra.
Sementara itu, dalam pertimbangannya, Hakim Ketua Dessy Ginting mengatakan, klaim tanah ulayat atau tanah bersama milik masyarakat hukum adat yang dijelaskan terdakwa Sorbatua tidak terbukti berdasarkan keterangan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Guna mendudukkan perkara ini, hakim menilai harus ada legal formal sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan.
"Menimbang bahwa status tanah ulayat yang dimohonkan masih sebatas usulan," ujar Hakim Dessy, dilansir dari Kompas.com, Kamis (15/8/2024).
Baca juga: Mengenal Suku Awyu dan Moi, Sosok di Balik Seruan All Eyes on Papua
Penangkapan Sorbatua dianggap bentuk "kriminalisasi" pejuang tanah adat
Konflik lahan antara masyarakat adat dan PT TPL memuncak saat Sorbatua Siallagan ditangkap anggota Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) pada Jumat, 22 Maret 2024.
Sejak itu, kakek yang juga bekerja sebagai tukang kayu tersebut mendekam di sel tahanan hingga menerima vonis pada Rabu lalu.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menduga, penangkapan Sorbatua adalah bentuk "kriminalisasi" di tengah perjuangan masyarakat atas tanah adat mereka.
"Cara-cara ini selalu dipakai oleh perusahaan menggunakan institusi kepolisian supaya menghalau, agar masyarakat adat berhenti berjuang untuk tanahnya," kata Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak, seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (3/4/2024).
Sorbatua hanya satu dari puluhan orang dari berbagai komunitas adat di sekitar Danau Toba yang pernah diperiksa sebagai saksi, ditetapkan sebagai tersangka, hingga divonis penjara imbas konflik lahan di wilayah sekitar operasional PT TPL.
Dalam menangani kasus-kasus ini, Hengky menuding penegak hukum tidak mempertimbangkan perspektif masyarakat adat.
Hal tersebut semakin diperburuk dengan tidak adanya pengakuan pemerintah atas hak tanah masyarakat adat.
"Kalau cara ini tidak kami protes dan tidak kami suarakan, akan banyak masyarakat adat yang menjadi korban," kata Hengky.
Menurut catatan AMAN Tano Batak, masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan adalah keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan yang telah menempati wilayah sejak tahun 1700-an.
Masyarakat yang saat ini mendiami wilayah tersebut tercatat sebagai generasi ke-11.
Selama turun-temurun, mereka memiliki hukum adat sendiri dalam mengelola hutan lindung atau dalam bahasa mereka disebut sebagai Tombak Raja.
Setelah Indonesia merdeka, sebagian kawasan hutan masyarakat Ompu Umbak Siallagan berfungsi sebagai hutan lindung.
"Masyarakat merasa keberatan karena kuburan leluhur Ompu Umbak Siallagan masuk dalam kawasan hutan yang diklaim sepihak oleh pemerintah,” kata Lasron Sinuran dari AMAN, Kamis (28/3/2024).
Hingga pada 1983, pemerintah memberikan izin konsesi kepada PT Toba Pulp Lestari, yang dulu bernama PT Inti Indorayon Utama untuk menggarap hutan industri di sekitar wilayah ini.
Secara keseluruhan, PT TPL mengelola 184.486 hektar hutan industri. Namun, 500 hektar dari total 815 hektar wilayah Kampung Dolok Parmonangan masuk ke wilayah konsesi perusahaan.
"Masuknya perusahaan tidak pernah mendapat persetujuan dari komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan,” jelas Lasron.
Baca juga: Suku Pedalaman Hutan Amazon Tiba-tiba Keluar, Ada Apa?
Kasus Sorbatua Siallagan diklaim tindakan kriminal murni
Di sisi lain, Juru Bicara PT TPL Salomo Sitohang menyatakan, kasus Sorbatua Siallagan adalah tindakan kriminal murni.
PT TPL melaporkan Sorbatua pada 16 Juni 2023 atas tuduhan perusakan, penebangan pohon eukaliptus, dan pembakaran lahan yang ditanami perusahaan.
Dari kacamata perusahaan, Sorbatua dan masyarakat di Dompu dinilai tidak berhak berkegiatan di wilayah itu karena merupakan bagian dari area konsesi perusahaan.
Salomo mengatakan, komunitas Ompu Umbak Siallagan tidak pernah ada dalam daftar klaim tanah adat yang diajukan masyarakat.
"Sampai saat ini TPL hanya menerima sepuluh klaim tanah adat dan sudah diselesaikan dengan Kemitraan Pola Perhutanan Sosial. Dari daftar sepuluh klaim tanah adat dimaksud, nama Ompu Umbak Siallagan tidak pernah ada," tutur Salomo.
Oleh karena itu, Salomo menganggap kasus ini sebagai tindakan kriminal murni yang dilakukan individu.
Klaim perusahaan tersebut menuai kritik dari AMAN yang menilai tidak semestinya masyarakat yang hadir lebih dulu harus meminta-minta hak kepada perusahaan.
Namun, terlepas dari perspektif masyarakat adat, polisi saat itu tetap memproses kasus yang menjerat Sorbatua Siallagan.
Kepala Bidang Humas Polda Sumut Kombes Pol Hadi Wahyudi menyebut, Sorbatua dan komunitasnya menguasai lahan milik PT TPL seluas kurang lebih 162 hektar.
"Sorbatua tidak memiliki dasar atau hak apa pun dalam mengerjakan atau menduduki kawasan hutan yang merupakan area konsesi milik PT TPL," kata Hadi.
Baca juga: 5 Suku Paling Terisolasi di Bumi, Ada dari Indonesia?
Kuasa hukum pertimbangkan banding
Kuasa hukum Sorbatua, Boy Raja Marpaung mengungkapkan berniat mengajukan banding terhadap vonis hakim.
"Kita pertimbangkan ini karena masih ada upaya banding sebab putusan itu ada dissenting opinion. Karena salah satu hakim menyatakan Sorbatua tidak bersalah,” ujarnya kepada awak media, Rabu.
Menurut Boy, pihaknya lebih dulu bicara dengan pihak keluarga Sorbatua sebelum melakukan upaya hukum atas putusan hakim tersebut.
"Kita akan tetap melakukan upaya hukum. Tadi, sempat bisik-bisik dengan Pak Sorbatua, katanya ‘satu bulan pun saya dihukum, saya tetap lawan’,” tuturnya.
Sementara itu, salah satu putri dari Sorbatua, Jerni Elida Siallagan mengaku kecewa dengan putusan hakim karena tidak mengadili perkara ini secara teliti.
Dia juga menyebut pemerintah lalai karena tak kunjung mengesahkan Undang-undang Masyarakat Adat.
"Jadi harapan kami supaya pemerintah segera mengesahkan Undang-undang Masyarakat Adat, supaya masyarakat adat tidak merasakan hal seperti ini dan Bapak saya segera dibebaskan," pungkasnya.
Sejumlah masyarakat juga menuntut pembebasan Sorbatua Siallagan dengan menggelar petisi bertajuk "Bebaskan Sorbatua Siallagan".
Sejak diluncurkan pada 1 April hingga Kamis pagi, petisi dengan alamat change.org/BebaskanSorbatuaSiallagan tersebut telah ditandatangani oleh 4.700 orang lebih dari target awal 5.000 tanda tangan.
(Sumber: Kompas.com/Teguh Pribadi | Editor: Farid Assifa, Rachmawati)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.