KOMPAS.com - Tanda pagar (tagar) Kawal MK dan peringatan darurat muncul di media sosial x pasca-pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada Selasa (20/8/2024).
Dalam putusannya, MK menegaskan batas syarat batas usia minimal ketika seseorang maju sebagai calon kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota.
Putusan tersebut dinilai menjegal langkah putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang hendak maju Pilkada Jawa Tengah 2024.
Mahkamah juga mengatur syarat ambang batas atau threshold bagi partai politik atau gabungan partai politik yang ingin mengusung calon kepala daerah pada Pilkada tahun ini.
Putusan MK tersebut dinilai sejumlah pihak membawa angin segar bagi Anies Baswedan yang sempat diperkirakan gagal maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta.
Namun, ada upaya dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menolak putusan MK dengan merevisi Undang-Undang (UU) Pilkada.
Baca juga: Daftar Partai yang Bisa Ajukan Calon Sendiri di Pilkada Jakarta 2024 Menurut Putusan MK
Poin-poin putusan MK soal Pilkada
Setidaknya ada tiga putusan MK yang dinilai mengubah peta politik jelang Pilkada serentak 2024 terkait syarat mengusung dan pendaftaran calon kepala daerah.
Berikut poin-poin putusan MK soal Pilkada:
1. Ambang batas pencalonan kepala daerahMK mengatur ulang ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Dilansir dari Antara, Selasa, lewat putusan tersebut partai politik yang tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bisa mengusung calon kepala daerah.
Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan.
Dalam putusannya, MK mengatur bahwa partai politik dapat mengusung calon kepala daerah jika:
- Mengusung calon gubernur dan wakil gubernur:
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai dengan 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di provinsi tersebut
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai dengan 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di provinsi tersebut.
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di provinsi tersebut.
- Mengusung Calon bupati/calon wakil bupati dan calon wali kota/calon wakil wali kota:
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di kabupaten/kota tersebut
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu sampai dengan 500 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di kabupaten/kota tersebut.
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500 ribu sampai dengan 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di kabupaten/kota tersebut.
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di kabupaten/kota tersebut.
Baca juga: Dampak Serius jika Putusan MK soal Pilkada Diabaikan, Pembangkangan Konstitusi dan Melawan Hukum
2. Mantan kepala daerah tidak bisa mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah di wilayah yang samaMelalui Putusan Nomor 73/PUU-XXII/2024, MK menolak gugatan supaya mantan gubernur, bupati, atau wali kota mencalonkan diri sebagai wakil gubernur, bupati, atau wali kota di wilayah yang sama.
Menurut MK, norma tersebut tidak dapat dikatakan sebagai upaya menghalangi keinginan seseorang untuk mengikuti pilkada.
Norma itu hanya membatasi mantan gubernur, bupati, dan wali kota untuk menjadi wakil gubernur, bupati, dan wakil wali kota di wilayah yang sama.
(Jika pemohon) benar-benar ingin berpartisipasi membangun daerah dengan cara mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah atau wakil kepala daerah, para pemohon seharusnya berupaya mencari calon wakil kepala daerah yang tidak terhambat oleh ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf o UU 10/2016 (tentang Pilkada)," kata Hakim MK Saldi Isra dikutip dari Kompas.com, Selasa.
Baca juga: Respons Sejumlah Partai soal Putusan MK yang Ubah Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah
3. Syarat batas usia minimal calon kepala daerahMK juga membacakan Putusan Nomor 70/PUU-XXII.2024 terkait syarat batas usia minimal ketika seseorang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
MK memutuskan syarat usia calon kepala daerah dihitung ketika seseorang ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh KPU.
Dilansir dari Kompas.com, Selasa, putusan MK tersebut berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 24P/HUM.2024.
Dalam putusan MA, syarat usia calon dari sebelumnya dihitung dalam Peraturan KPU (PKPU) saat penetapan pasangan calon menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih.
Adapun, syarat usia minimal maju sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah 30 tahun dan calon bupati/calon wakil bupati dan calon wali kota/calon wakil wali kota adalah 25 tahun.
Baca juga: PDI-P Laporkan Hasil Pilpres 2024 ke PTUN Usai Putusan MK, Apa Efeknya?
Putusan MK bersifat final
Menurut ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Oce Madril, putusan MK bersifat final dan mengikat.
Putusan MK juga mempunyai kekuatan eksekutorial setelah dibacakan oleh Hakim MK.
Oce menambahkan, putusan MK juga memiliki sifat erga omnes yang artinya mengikat untuk semua pihak tanpa terkecuali.
Ia mengingatkan, bila putusan MK tidak dipatuhi, akan ada dampak serius yang menanti, seperti potensi pelanggaran hukum pada pilkada.
"Maknanya tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan untuk mengubah putusan MK, termasuk oleh DPR," katanya dikutip dari Kompas.com, Selasa.
"Apabila ada pihak-pihak yang tidak mematuhi putusan MK, maka tindakan tersebut termasuk perbuatan melawan hukum," katanya.
(Sumber: Kompas.com/Vitorio Mantalean, Diva Lufiana Putri | Editor: Ihsanuddin, Diamanty Meiliana, Ahmad Naufal Dzulfaroh).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.