KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) pernah dan hampir dibubarkan oleh dua presiden.
Tindakan dan rencana pembubaran DPR terjadi ketika presiden yang tengah berkuasa berseberangan dengan parlemen.
DPR pernah dan hampir dibubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta Dekrit Presiden 23 Juli 2001.
Lantas, siapa saja presiden yang pernah dan hampir membubarkan DPR?
Baca juga: Kata Media Asing soal Demo Kawal Putusan MK, Sebut Rakyat Marah dan Krisis Konstitusional
Presiden yang pernah dan hampir membubarkan DPR
Soekarno dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah dua presiden yang pernah dan hampir membubarkan DPR sepanjang sejarah Indonesia.
Berikut kilas balik Soekarno dan Gus Dur yang pernah dan hampir membubarkan DPR.
Baca juga: Masih Adakah Peluang DPR Mengesahkan Revisi UU Pilkada?
1. Soekarno bubarkan DPR karena tidak sejalan dengan pemerintahSoekarno yang menjadi tokoh penting dalam proses kemerdekaan Indonesia pernah mengambil keputusan membubarkan DPR pada 1960.
DPR dibubarkan setelah Indonesia menggelar pemilihan umum (pemilu) untuk pertama kalinya pada 1955 di bawah Kabinet Burhanuddin Harahap.
Dilansir dari Kompaspedia, Jumat (22/3/2024), Pemilu 1955 digelar sebanyak dua kali.
Pemilihan pertama untuk memilih anggota DPR dan pemilihan kedua untuk memilih anggota konstituante.
Pemilu 1955 dimenangkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan perolehan 8.434.653 suara pada pemilihan anggota DPR dan 9.070.218 suara pada pemilihan anggota konstituante.
Meski PNI menuai kesuksesan, Soekarno memutuskan membubarkan DPR pada 1960 setelah menerbitkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Baca juga: DPR Batal Sahkan Revisi UU Pilkada, Ini Putusan MK yang Berlaku
Salah satu isi dekrit tersebut adalah pembubaran konstituante dan DPR hasil Pemilu 1955 masih dapat bertugas sesuai UUD 1945.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi DPR, yaitu menyetujui seluruh perubahan yang dijalankan pemerintah sampai anggota DPR yang baru terpilih.
Dilansir dari Kompas.com, Jumat (17/3/2023), salah satu tuntutan pemerintah kepada DPR adalah penerapan sistem demokrasi terpimpin.
Sistem tersebut membuat pimpinan berada di tangan presiden, dalam hal ini Soekarno, sebagai kepala negara.
Lembaga negara seperti DPR, MPR, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) tidak mendapat proporsi yang seharusnya jika sistem demokrasi terpimpin diimplementasikan.
Tak sampai di situ, Soekarno juga menghendaki penghapusan sistem multipartai. Korban dari kebijakan tersebut adalah Masyumi karena partai ini dihapuskan.
Baca juga: Hiruk Pikuk Putusan MK, Sempat Dianulir DPR, Selamat berkat Kawalan Garuda Biru
Masyumi tidak tinggal diam melihat kepemimpinan Soekarno. Partai ini kemudian memprovokasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1961 yang dibuat presiden ke parlemen.
DPR akhirnya memutuskan RAPB tersebut, namun keputusan dewan ditentang oleh Soekarno.
Sang Proklamator balik melawan DPR dengan membubarkan dewan setelah dinilai tidak menjalankan kehendak presiden.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 1960 mengatur, Soekarno membubarkan DPR karena:
- DPR Hasil Pemilu 1955 tidak dapat membantu pemerintah
- Tidak sesuai dengan UUD 1945, Demokrasi Terpimpin, dan tujuan politik.
Sebagai gantinya, ditekenlah Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960 untuk membentuk DPR Gotong Royong atau DPR-GR.
Merujuk catatan Kompaspedia, Selasa (17/8/2021), demokrasi terpimpin yang dijalankan Soekarno mengarah kepada pemerintahan diktator.
Anggota DPR-GR juga ditunjuk sendiri oleh Soekarno, termasuk perwira militer mendapat jabatan di DPR, kepala daerah, dan posisi lainnya.
Baca juga: Belum Tentu Batal, Revisi UU Pilkada Berpeluang Dilanjutkan DPR Periode 2024-2029
2. Gus Dur hampir bubarkan DPRGus Dur pernah mengeluarkan Dekrit Presiden 23 Juli 2001 yang bertujuan menjaga stabilitas negara karena gejolak politik dan untuk mempertahankan masa jabatannya sebagai presiden.
Sebelum dekrit tersebut keluar, hubungan Gus Dur dengan DPR sudah memanas karena gaya kepemimpinannya yang dinilai kontroversial.
Dilansir dari Kompas.com, Rabu (3/4/2024), Panitia Khusus DPR pernah melaporkan dugaan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar 4 juta dollar AS.
Gus Dur juga disebut memakai dana bantuan Sultan Brunei darussalam sebesar 2 juta dollar AS.
Gus Dur akhirnya dianggap melanggar Pasal 9 UUD 19455 megenai sumpah jabatan dan Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN.
MPR yang merasa berang dengan kepemimpinan Gus Dur akhirnya menjadwalkan Sidang Istimewa untuk melengserkan presiden.
Baca juga: Saat Jokowi Bahas Tambang dengan Ketum PBNU ketika Ada Demo di DPR Hari Ini...
Dalam Dekrit Presiden 23 Juli 2001, Gus Dur menunjukkan bahwa ia tidak mengakui pelanggaran yang dituduhkan MPR.
Ia juga menolak Sidang Istimewa MPR yang prosesnya sejak awal disebut ilegal.
Karena Gus Dur tidak menghendaki Sidang Istimewa MPR, ia mengeluarkan dekrit beberapa jam sebelum sidang digelar.
Dekrit diterbitkan di Istana Merdeka, Jakarta pada 23 Juli 2001 pukul 01.30 WIB.
Ada tiga hal yang dimuat Gus Dur dalam dekritnya, yakni
- Membekukan MPR dan DPR
- Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun
- Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan MA.
Namun, dekrit tersebut dinyatakan tidak berlaku setelah MPR menggelar Sidang Istimewa yang dipimpin oleh Amin Rais.
23 Juli 2001 menjadi akhir perjalanan Gus Dur sebagai presiden setelah ia dimakzulkan oleh MPR, meski tuduhan pelanggaran hukum yang disangkakan kepadanya tidak terbukti.
Baca juga: Ini Alasan DPR Batal Mengesahkan Revisi UU Pilkada
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.